[caption id="attachment_644" align="alignleft" width="224"] Salah satu banda di pasawan di Joho. biasanya banda-banda serupa ini menjadi tujuan utama dalam "Pertangguak-an"[/caption]
Apa yang terbayang dan terkenang oleh engku dan encik sekalian pabila kami sebutkan kata “manangguak”?
Manangguak puyu, pantau, atau pabila beruntung akan dapat sapek. Ada pula yang pergi mamapeh baluk.[1] Manangguak ialah kebiasaan anak lelaki di kampung kita, sangat jarang kami dapat ada anak perempuan pergi manangguak. Walau kami tidak memungkiri bahwa ada juga beberapa anak perempuan yang melakoninya.
Biasanya manangguak ialah dikerjakan selepas pulang mengaji di surau. Kanak-kanak nakal di kampung kita pergi berkelompok dengan kawan sama gedangnya. Dengan bermodalkan tangguak dan ember plastik maka berangkatlah mereka. Tempat tujuan tentulah kawasan persawahan di kampung kita, sangatlah luas kawasan persawahan di kampung kita. Tujuan utama ialah banda saluran pengairan bagi sawah-sawah di kampung kita. Berikutnya ialah sawah-sawah yang sedang dilunyahi atau sedang menanti dalam masa selepas disabik.
Puyu dan pantau ialah buruan utama. Kumuh kaki mereka oleh lunau,[2] terkadang mereka pergi dengan bertelanjang kaki saja. Pakaian yang dipakai ialah pakaian paling buruk, sarawa[3] yang dikenakan ialah sarawa pendek sepaha, sungguh sexy sangat anak-anak nakal ini.
Di arena perburuan mereka berlomba (kompetisi) dalam menangguk, siapakah kiranya akan mendapat puyu paling banyak? Ember siapakah yang akan penuh lebih dahulu?
[caption id="attachment_645" align="alignright" width="300"] Persawahan yang sudah disabik di batubaraguang.
juga menjadi sasaran dalam manangguak[/caption]
Tak jarang dalam perburuan ini mereka bersua dengan ular di dalam banda. Apabila sudah demikian, maka anak-anak nakal ini akan pontang-panting berlarian menyelamatkan diri. Padahal si ular sendiri tengah kebingungan “Kenapa pula mereka lari..!” begitulah kira-kira.
Atau kena hariak[4] oleh yang punya sawah, karena sawahnya yang baru dilunyahi telah dimasuki pula oleh anak-anak tak tahu aturan ini. Pabila telah demikian maka mereka akan pergi menghindar sambil mendongkol dalam hati “Dasar.. tak boleh di dia awak menangguak di sini rupanya..!” kata mereka dalam hati. Maklumlah engku dan encik sekalian, kan masih kanak-kanak, akal mereka baru sampai di situ.
Atau ada juga yang membawa benang nilon berserta kail. Hendak menangkap belut, sudah payah mereka mencari lubang-lubang tempat bersembunyian belut. Jarang ada yang mendapat. Sebab kalau hendak berburu belut, hendaknya dilakukan pada malam hari. Namun kanak-kanak mana tahu tak hendak mahu tahu, sebab mereka tak berani keluar pada malam hari, pergi sawah mencari belut.
[caption id="attachment_646" align="alignleft" width="224"] Persawahan yang mengijau seperti ini hanya boleh dipandang saja. Tak boleh dimasuki sebab bisa rusak sawah orang.[/caption]
Apabila telah didapat, maka akan dibawa pulang untuk dimasak oleh ibunda. Atau kalau tidak, dijual ke Pakan Salasa di kampung kita. Kalau kami tak salah, dahulu semasa kami kanak-kanak harga satu galeh puyu ialah Rp. 1.500,- bisa lebih, bisa pula kurang. Uang sebesar itu sudah lebih dari cukup untuk bekal belanja[5] kanak-kanak ini.
Ada cerita perihal manangguang ini, yakni pantangan sekali pergi manangguak apabila hari hujan rinai. Sebab diyakini oleh orang kampung kita pada hari (cuaca) serupa ini ialah saat-saat dimana antu[6] aru-aru keluar mencari mangsa. Apabila sudah disuruak-an oleh antu aru-aru, maka alamat anak tersebut akan pandir selama hidupnya. Sebab diberi makan yang buruk-buruk seperti telur semut yang dalam pandangan mereka ialah nasi.
Begitulah engku dan encik sekalian, kami yakin bahwa engku dan encik sekalian menyimpan dan memiliki kisah tersendiri perihal manangguak ini. Namun sayang duhai engku dan encik sekalian, menurut kabar yang kami dapat, sangatlah jarang anak-anak zaman sekarang di kampung kita yang pergi manangguak. Sawah sudah lengang oleh gelak-tawa kanak-kanak, tidak serupa dahulu kiranya. Kata orang, mereka lebih senang main game di warnet, atau melakukan permainan yang lainnya.
Bagaimanakah ini engku dan encik sekalian..?
Apa yang terbayang dan terkenang oleh engku dan encik sekalian pabila kami sebutkan kata “manangguak”?
Manangguak puyu, pantau, atau pabila beruntung akan dapat sapek. Ada pula yang pergi mamapeh baluk.[1] Manangguak ialah kebiasaan anak lelaki di kampung kita, sangat jarang kami dapat ada anak perempuan pergi manangguak. Walau kami tidak memungkiri bahwa ada juga beberapa anak perempuan yang melakoninya.
Biasanya manangguak ialah dikerjakan selepas pulang mengaji di surau. Kanak-kanak nakal di kampung kita pergi berkelompok dengan kawan sama gedangnya. Dengan bermodalkan tangguak dan ember plastik maka berangkatlah mereka. Tempat tujuan tentulah kawasan persawahan di kampung kita, sangatlah luas kawasan persawahan di kampung kita. Tujuan utama ialah banda saluran pengairan bagi sawah-sawah di kampung kita. Berikutnya ialah sawah-sawah yang sedang dilunyahi atau sedang menanti dalam masa selepas disabik.
Puyu dan pantau ialah buruan utama. Kumuh kaki mereka oleh lunau,[2] terkadang mereka pergi dengan bertelanjang kaki saja. Pakaian yang dipakai ialah pakaian paling buruk, sarawa[3] yang dikenakan ialah sarawa pendek sepaha, sungguh sexy sangat anak-anak nakal ini.
Di arena perburuan mereka berlomba (kompetisi) dalam menangguk, siapakah kiranya akan mendapat puyu paling banyak? Ember siapakah yang akan penuh lebih dahulu?
[caption id="attachment_645" align="alignright" width="300"] Persawahan yang sudah disabik di batubaraguang.
juga menjadi sasaran dalam manangguak[/caption]
Tak jarang dalam perburuan ini mereka bersua dengan ular di dalam banda. Apabila sudah demikian, maka anak-anak nakal ini akan pontang-panting berlarian menyelamatkan diri. Padahal si ular sendiri tengah kebingungan “Kenapa pula mereka lari..!” begitulah kira-kira.
Atau kena hariak[4] oleh yang punya sawah, karena sawahnya yang baru dilunyahi telah dimasuki pula oleh anak-anak tak tahu aturan ini. Pabila telah demikian maka mereka akan pergi menghindar sambil mendongkol dalam hati “Dasar.. tak boleh di dia awak menangguak di sini rupanya..!” kata mereka dalam hati. Maklumlah engku dan encik sekalian, kan masih kanak-kanak, akal mereka baru sampai di situ.
Atau ada juga yang membawa benang nilon berserta kail. Hendak menangkap belut, sudah payah mereka mencari lubang-lubang tempat bersembunyian belut. Jarang ada yang mendapat. Sebab kalau hendak berburu belut, hendaknya dilakukan pada malam hari. Namun kanak-kanak mana tahu tak hendak mahu tahu, sebab mereka tak berani keluar pada malam hari, pergi sawah mencari belut.
[caption id="attachment_646" align="alignleft" width="224"] Persawahan yang mengijau seperti ini hanya boleh dipandang saja. Tak boleh dimasuki sebab bisa rusak sawah orang.[/caption]
Apabila telah didapat, maka akan dibawa pulang untuk dimasak oleh ibunda. Atau kalau tidak, dijual ke Pakan Salasa di kampung kita. Kalau kami tak salah, dahulu semasa kami kanak-kanak harga satu galeh puyu ialah Rp. 1.500,- bisa lebih, bisa pula kurang. Uang sebesar itu sudah lebih dari cukup untuk bekal belanja[5] kanak-kanak ini.
Ada cerita perihal manangguang ini, yakni pantangan sekali pergi manangguak apabila hari hujan rinai. Sebab diyakini oleh orang kampung kita pada hari (cuaca) serupa ini ialah saat-saat dimana antu[6] aru-aru keluar mencari mangsa. Apabila sudah disuruak-an oleh antu aru-aru, maka alamat anak tersebut akan pandir selama hidupnya. Sebab diberi makan yang buruk-buruk seperti telur semut yang dalam pandangan mereka ialah nasi.
Begitulah engku dan encik sekalian, kami yakin bahwa engku dan encik sekalian menyimpan dan memiliki kisah tersendiri perihal manangguak ini. Namun sayang duhai engku dan encik sekalian, menurut kabar yang kami dapat, sangatlah jarang anak-anak zaman sekarang di kampung kita yang pergi manangguak. Sawah sudah lengang oleh gelak-tawa kanak-kanak, tidak serupa dahulu kiranya. Kata orang, mereka lebih senang main game di warnet, atau melakukan permainan yang lainnya.
Bagaimanakah ini engku dan encik sekalian..?
Komentar
Posting Komentar