Labuh raya di bandar besar itu sangatlah ramai, amatlah payah bagi orang-orang nan hendak menyeberangi labuh itu. Para pengendara tiada hendak mengalah kepada orang-orang nan hendak menyeberang itu. Mereka semua sedang diburu waktu, mesti cepat sampai karena banyak hal nan mesti diurus. Pemandangan serupa itu tiada akan tuan dapati di kampung halaman kita.
Lepau nasi nan disebut orang "warung" di pulau ini telah silih berganti orang nan datang. Namun si empunya lepau terlihat tengah bersantai. Beberapa orang anak buahnya telah diarahkannya untuk bekerja, dia hanya melihat-lihat saja lagi.
"Tahukah engkau, apa perbedaan bandar ini dengan kampung kita?" tanya kawan kami disela-sela percakapan seputar kampung halaman nan teramat dirindukannya itu.
Kami terdiam, memandang hendak tahu. Tentulah banyak perbedaan kampung kami dengan bandar besar ini. Namun kami tiada hendak menjawab melainkan memasang roman bertanya kepada kawan kami itu.
"Dibandar ini, orang-orang hanya mematuhi hukum resmi nan berlaku di negara ini. Mereka tiada memiliki aturan adat, tiada punya alur dan patut, tiada berpagar negeri mereka.." jelas kawan kami ini.
Kami terdiam, suatu pemikiran nan telah lama mengawang-ngawang di benak kami namun enggan kami utarakan karena takut disangka orang gila. Jangankan aturan adat, aturan negara nan jelas-jelas mendapat sangsi nan sangat berat apabila dilanggar saja sudah berani dilanggar orang.
"Tapi, kami coba panadng-pandangi. Di kampung kita, adat itu tiada begitu diindahkan lagi. Adat hanya sebatas berkawin, mati, kelahiran, khatam kaji, batagak pangulu, atau yang dikatakan orang sekarang dengan ritual adat.." sambungnya
"Adat itu tak hanya prosesi atau ritual adat saja, melainkan juga aturan yang mengatur jalannya kehidupan kita. Adatlah nan mewarnai setiap langkah kita itu. Maka apabila ada nan janggal perbuatan kita, akan dikatakan orang tak beradat dimana perkataan itu merupaka lecutan nan amat menyakitkan bagi orang dahulu.." jelasnya
"Bagi sebagian besar orang adat itu sudah tiada laku lagi kawan, adat itu menghambat kemajuan kata mereka, dan bagi nan baru belajar agama dikatakannya adat itu berlawanan dengan hukum syari'at.." jawab kami.
"Cis, orang nan mengatakan adat itu berlawanan dengan hukum syari'at itu saja tiada becus menjalankan hukum syari'at. Munafiq mereka itu kawan, sok alim, sok faham agama, sok paling banyak amalnya. Padahal ilmu agama mereka belum seujung kuku lagi. Bahkan lebih bagus agama seorang Minang nan fahama adat dan faham pula agama. Tinggi raso jo pareso pada dirinya.." cercanya
"Sangatlah payah menghidupkan adat di negeri kita engku.." jawab kami lagi namun dengan segera dipotong oleh kawan kami ini.
"Ya kawan, faham awak ini. Zaman sekarang dipenuhi oleh orang-orang an haus akan dunia. Jangankan adat, syari'at saja mereka langgar. Mereka berlomba-lomba untuk tampil hidup mewah, megah, bergaya layaknya orang kaya di bandar besar. Mereka bathin mereka tiada lagi dihaluskan oleh adat, melainkan telah tinggal kerbaunya saja lagi.." tambahnya dengan gusa.
Ah, kenapa kawan kami ini? Mungkinkah karena selisih faham dirinya dengan sang mamak yang juga seorang penghulu itu. Sudah hampir dua tahun kejadiannya namun kami masih terdengar cerita dari orang-orang betapa kawan kami ini sangat kesal dengan sang mamak nan tiada pandai menjalankan amanah yang telah dipercayakan kepadanya. Bagi sang mamak, gelar "Datuk" itu hanyalah penghias pada awal namanya, sama dengan gelar "Raden" di pulau seberang atau "Datuk" di Tanah Semenanjung. Karena tiada dapat lagi menghadapi argumentasi sang kamanakan, sang mamak akhirnya berkata "Kalau di den hukum syari'at nan utamu. Kalau batantangan adat jo syari'at, syari'at nan den pacik.."
Dengan geram kawan kami ini menjawab "Mana nan bertentangan adat dengan syari'at!? Adat dan syari'at berbuhul mati di Minangkabau ini. Karena tiada faham, kurang pelajaran makanya mamak bercakap demikian. Pelajarilah adat dan syari'at beriringan maka akan bersua ia namun apabila kuat pada salah satu saja maka itulah ia orang-orang pandir nan mengatakan adat dan syari'at itu bertentangan.."
Kawan kami termasuk jenis orang berjenggot, bahkan pernah tersua oleh kami memakai sarawa senteng. Namun kesan pertama akan menipu apabila telah lama bergaul dengan dirinya. Faham Agama dan faham pula adat, padanya memang padu dan berbuhul mati keduanya.
Komentar
Posting Komentar