Rumah Gadang nan Lah Lapuak
[caption id="attachment_44" align="alignleft" width="300" caption="Salah satu rumah gadang lama di Jorong Dangau Baru"][/caption]
Pernahkah engku mendengar orang yang mengeluh “Ah..zaman sekarang sudah tak ada lagi Rumah Gadang di Ranah Minang. Ditukar dengan rumah batu yang tak ada bedanya dengan rumah-rumah yang terdapat di rantau. Kemana kekhasan Minangkabau hendak dicari? Ke Kabun Binatang di Bukittinggi atau ke Istano Basa Pagaruyuang di Batusangka..?”
Katakan tuan, apakah benar hal yang semacam itu yang sedang berlaku di negeri kita pada saat sekarang ini? Rumah gadang yang telah lapuk dibongkar lalu ditukar dengan rumah baru, rumah batu yang atapnya persegi tiga atau limas. Banyak memang alasan orang enggan mendirikan rumah gadang. Mulai dari susah atau banyaknya ritual adat yang harus dijalani, kemudian mahalnya upah membuat gonjong, atau tidak moderen menurut sebagian orang Minangkabau pandir yang salah mengartikan dari kemodereran itu sendiri.
Banyak sebenarnya engku, kalau menurut saya selain dari alasan di atas alasan lainnya ialah minimnya pengetahuan adat dari generasi Minangkabau zaman sekarang. Regenerasi pengetahuan adat boleh dikatakan tidak ada. Bersamaan dengan hilangnya generasi tua, maka hilang pulalah pengetahuan adat itu dibawanya ke liang kubur. Generasi sekarang tak menaruh minat, bagi mereka pelajaran sekolah jauh lebih berharga karena sangat menentukan masa depan mereka kelak.
Cobalah tengok tuan, di Nagari Kamang boleh dihitung rumah gadangnya. Memang pada zaman sekarang rumah kayu kurang menarik. Hampir tidak ada yang berminat mendirikan rumah kayu di Nagari Kamang. Tapi setidaknya cobalah bangun rumah bagonjong walaupun dengan menggunakan batu. Memang agak mahal, akan tetapi kan tidak harus langsung siap pembangunannya. Kalau engku memiliki rumah yang langsung siap, langsung jadi, memang banyaklah uang yang harus engku keluarkan. Akan tetapi jikalau berangsur-angsur, Insya Allah akan selesai juga dan jauh lebih menawah.
[caption id="attachment_45" align="alignright" width="300" caption="Salah satu rumah gadang batu yang dibangun di Jorong Ampek Kampuang"][/caption]
Jadi engku, jikalau engku punya uang bangunlah rumah gadang. Tak patut kita mengaku Orang Minangkabau kalau tidak memiliki rumah gadang, tidak memiliki harta pusaka, dan tidak memiliki gelar pusaka. Rumah gadang merupakan lambang kebesaran, tidak hanya kebesaran diri akan tetapi kebesaran keluarga. Percuma engku punya banyak uang, punya mobil mewah kalau tidak memiliki rumah gadang di kampung.
Fikirkanlah lagi engku-engku sekalian. Percuma engku sekalian menolak adat, sebab di zaman sekarang jika engku sama dengan orang lain, mengaku sebagai orang Indonesia dengan mengingkari keminangkabauan diri engku maka engku tak obahnya dengan orang kebanyakan. Kita berbeda makanya kita ada, kalau sama, maka tak ada artinya engku..
Assalamualaikum Tuan.. Saat ini saya dapat pesanan membuat desain rumah beton dengan atap gonjong dari salah seorang putra kamang yang tinggal di padang. Tapi saya masih ragu menerapkan atap gonjong pada desain tersebut mengingat ada beberapa perbedaan bentuk atap gonjong yang ada di ranah minang. Sketsa desain yang diberikan beliau memakai bentuk atap gonjong "gajah maharam" ( perpaduan bentuk limas dan gonjong) sedangkan foto rumah gadang di postingan tuan bentuk dasarnya adalah atap pelana (seperti Ustano Basa). Dapatkah tuan membantu saya memberikan sedikit pencerahan bentuk atap rumah gadang yang diterapkan masyarakat zaman dulunya.. Terima kasih.. Wassalam
BalasHapusWa'alaikum salam engku,
BalasHapusTerimakasih engku, sebenarnya kamipun tak pula begitu faham dengan perkara ini. Namun akan kami coba menjawab tanya engku sejauh yang kami ketahui.
Memanglah demikian di Minangkabau adanya, adapun di nagari Kamang dipakai oleh orang keduanya, hal ini karena di Kamang sistem adat yang dipakai ialah bercampur baur antara Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam struktur penghulu, kami memakai sistem KOto Piliang dimana kami memiliki empat orang Penghulu Pucuk. Seperti kata pepatah adat kita di Minangkabau:
Pisang Sikalek-kalek utan
Pisang Tambatu dan Babuah
Dikato Koto Piliang inyo bukan
Bodi Caniago inyo antah
Penggunaan bentuk gonjong hendaknya mempertimbangkan luas tanah yang hendak dipakai serta bentuk lantai rumah. Pada rumah yang memakai atap pelana seperti pada gambarpun ada beranega ragam pula. Ada yang diberi baanjuang pada pucuk rumah ada pula yang pada keduanya (pucuk dan pangkal) serta ada pula yang tidak memakai anjuang. Hal ini menandakan status sosial dari pemilik rumah. Bagi rumah yang beratap pelana ini biasanya lantai rumah pada bagian arah ke bilik (kamar) ditinggikan agak beberapa senti. Apabila memakai anjuang maka lantai pada anjuangpun ditinggikan sekitar dua buah anak tangga.
Sedangkan pada bentuk atap baginjong Gajah Maharam tidak memiliki anjuang serta lantai rumahnya sama datar antara arah ke bilik dengan arah ke halaman.
Di Nagari Kamang, kedua bentuk rumah gadang itu sama-sama dipakai engku. jadi tak masalah hendak dipakai yang mana..
Sekian dari kami & mohon maaf pabila kurang memuaskan..
Terima kasih encik, memang benar apa nan encik sampaikan dalam kedua tulisan encik itu. Salut kami dengan dunsanak kita di Solok, mereka masih memelihara rumah pusaka nan sangat indah itu, hampir kesemua rumah di Solok diberi ukiran nan indah-indah.. :-)
BalasHapusIya, Mamak. Saya hendak mencari di luar kota solok dan nagari selayo, koto baru... Di Saniangbaka Singkarak juga masih banyak. Saniangbaka Sinbgkarak merupakan camin koto piliang...
BalasHapus