Masjid Al Wustha
[caption id="attachment_54" align="alignleft" width="300"] Masjid Wustha Sekarang[/caption]
Masjid Al Wustha atau Masjid Wusta lazim disebut oleh orang Kamang dengan sebutan Surau Ampang, merupakan masjid yang terletak di Kampuang Ampang (atau biasa disebut dengan sebutan Ampang saja oleh penduduk) tepatnya di depan bangunan Panti Asuhan Aisyiyah. Berbeda dengan masjid lainnya di Nagari Kamang yang dimiliki oleh masyarakat suatu jorong, maka Masjid Wustha dimiliki oleh masyarakat lima jorong. Adapun kelima jorong itu ialah Jorong Ampek Kampuang, Limo Kampuang, Pintu Koto, Nan Tujuah, dan Joho.
Al Wustha dalam Bahasa Arab berarti Tangah atau Tengah. Maksud dinamakan seperti ini karena masjid ini didirikan di Nagari Kamang Bagian Tengah. Menurut tutua orang tua-tua, sesungguhnya Nagari Kamang ini terbagi atas tiga patah yakni mudiak (Mudik), tangah (Tengah), dan hilia (Hilir). Yang dimaksud dengan Patah Mudiak ialah daerah yang masuk di dalamnya; Jorong Koto Panjang, Dangau Baru, Dalam Koto, Batu Baraguang, dan Bancah.
Kemudian Patah Tangah ialah daerah-daerah; Ampek Kampuang, Limo Kampuang, Pintu Koto, Nan Tujuan, dan Joho. Sedangkan untuk Patah Hilia ialah; Koto Nan Gadang, Balai Panjang, Koto Kaciak, Guguak Rang Pisang, Ladang Darek, Solok, dan Binu.
Adapun dari pada itu, Masjid Wustha sebelum didirikan di Ampang dahulunya bertempat di Kampuang Taluak yang terletak di Jorong Limo Kampuang. Lebih dikenal dengan nama “Masjid Taluak” yang merupakan salah satu masjid tertua di Kamang. Dimasa Perang Tahun Salapan[1] masjid ini menjadi pusat pelatihan bagi anak Nagari Kamang dalam mempersiapkan diri menghadapi perang melawan Belanda. Ketika perang meletus, Belanda membakar masjid yang dianggap menjadi pusat gerakan dari perlawanan rakyat Kamang. Kemudian masjid tersebut dipindah ke Kampuang Ampang yang terletak di Jorong Ampek Kampuang.
Saat ini bangunan Masjid Wustha berupa bangunan permanen terbuat dari bata berlantai dua dengan satu kubah. Dengan dua menara adzan pada bagian muka. Pada masa sebelumnya, masjid ini terbuat dari kayu, memiliki tiga kubah dengan satu kubah utama. Pada bangunan masjid yang lama ini juga memiliki dua lantai.
Pada tahun 1990-an, di halaman muka masjid terdapat tabek atau kolam yang dikelilingi oleh bangunan tempat berwudhu. Tabek ini selain digunakan sebagai tempat pembuangan air selesai berwudhu juga digunakan oleh beberapa orang penduduk sebagai tempat mencuci. Namun pertengahan tahun dekade 1990-an pihak pengurus berkeputusan untuk menimbun tabek ini. Sungguh sangat disayangkan tentunya. Sebab sudah menjadi ciri khas bagi surau-surau di Minangkabau, bahwa letaknya di tepi batang aia atau kalai tidak di tepian setiap surau tentunya memiliki tabek, apakah dihalaman muka, belakang ataupun samping.
Satuhal lagi yang sangat merisaukan bagi beberapa orang ialah bahwa bangunan lantai dasar dan lantai satu tertutup mati. Tidak ada secuilpun lubang yang menghubungkan ke dua lantai. Sehingga seringkali pada saat Shalat Idul Fitri ataupun ketika jama’ah sedang banyak, mereka enggan untuk shalat di lantai atas. Sebab sepengetahuan mereka, shalat berjama’ah hanya boleh dilakukan pabila imam dan makmum berada dalam satu ruangan yang sama.
Sekarang bangunan masjid semakin dipercantik dengan memasang pavin blok, plafon pada bagian dalam, mengganti lantai dengan keramik, memasang keramik pada dinding. Menurut sebagian orang indah, namun menurut sebagian lagi mengecewakan. Sekarang kita tidak dapat lagi membedakan antara masjid dengan kantor. Terutama semenjak dipasangi plafon pada bagian dalam…
[1] Hingga kini orang tua-tua di Nagari Kamang masih sering menyebut Perang Kamang 1908 dengan sebutan “Parang Tahun Salapan”
[…] ini ialah perayaan dirayakan serentak, kecuali pada beberapa aliran atau halaqah dalam Islam. Di Masjid Wustha tempat biasa kami shalat hari raya ramai dipenuhi jama’ah. Pihak pengurus masjid telah medirikan […]
BalasHapus