Perihal Penyelenggaraan Nagari
Beberapa waktu yang lalu kami menghadiri perhelatan pernikahan salah seorang ipa[1] kami, kami duduk bersebelahan dengan salah seorang inyiak-inyiak yang telah berusia sekitar 70 tahunan. Beliau merupakan urang sumando di Nagari Kamang. Namun begitu, tampaknya beliau telah menganggap bahwa Kamang sebagai nagari kedua atau nagari asalnya. Dalam percakapan kami, beberapa kali beliau menyebut “kalau di awak” atau “kalau di kampuang awak” atau “kalau di nagari awak”.
Sebagai orang tua, pengalamannya telah banyak dalam hal kepemimpinan serta permasalahan yang menyangkut di dalamnya. Salah satu pokok percakapan kami ialah mengenai permasalahan dan kepemimpinan di nagari kita. Pertama dalam arena perpolitkan nagari, yang kami maksudkan dengan perpolitikan di nagari bukanlah politik yang layaknya kita saksikan di media televisi ataupun yang terjadi di daerah. Melainkan konflik kepentingan yang menyangkut kekuasaan, pengaruh, dan wibawa dari masing-masing pemuka nagari. Apakah itu Walinagari, para penghulu, ataupun tokoh-tokoh cerdik pandai dan ulama yang ada di nagari kita.
Sudah berlangsung lama kiranya, dan kami yakin bahwa tuan-tuanpun sudah mengetahui bahwa tengah terjadi konflik antara beberapa penghulu di nagari kita. Akan sangat panjanglah jika kami terangkan semuanya, dan lagipula bukan perkara konflik itu yang hendak kami bahas dalam tulisan ini. Namun yang pasti, akibat dari konflik ini telah menimbulkan keresahan di kalangan anak nagari. Dalam perhelatan adat misalnya, terdapat beberapa orang datuk yang tidak datang dikarenakan konflik yang sedang terjadi. Anak kemenakan jua yang menanggung seso. Hanya karna kepentingan nafsu seseorang ataupun sekelompok orang, nagari kita jadi bahan tertawaan bagi orang lain.
Ada yang mengatakan kalau sesungguhnya di Kamang ini banyak terdapat orang yang cerdik. Namun karena begitu banyaknya maka mereka saling beradu sesama mereka. Berbeda kejadiannya apabila jumlah orang yang cerdik hanya sedikit, maka niscaya orang cerdik yang sedikit itulah yang akan memimpin dan memajukan nagari. Sebab suara mereka akan didengar oleh orang-orang. Entah benar, entah tidak tuan, mungkin itu hanya sekedar gurauan dari beberapa orang yang merasa putus asa melihat keadaan dalam nagari.
Namun yang paling menarik hati kami ialah tatkala beliau menyayangkan ketika Pemilu yang terdahulu terdapat lima calon anggota Dewan dari nagari kita. Beberapa orang telah menganjurkan agar beberapa dari mereka untuk mengalah dan mempercayakan kepada satu orang saja. Tujuannya ialah agar suara anak nagari tidak pecah. Namun hal tersebut rupanya tidak didengar “mereka lebih memilih kalah bertanding di galanggang rupanya..” ujar beliau ini.
Mengenai perkara yang satu ini, sebenarnya banyak cerita lawak yang beredar di nagari kita. Mengenai kekeras-kepalaan, kesombongan, keangkuhan, dan merasa benar. Namun perkara tersebut telah berlalu, hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua.
Namun tuan, yang paling menarik minat kami ialah anggapan beliau yang juga merupakan anggapan kebanyakan orang di nagari kita ketika itu yakni “kalau ada orang kampung kita duduk di dewan, tentunya hal tersebut akan sangat membantu kepada nagari. Akan banyak jalan yang diaspal, pembangunan ini dan itu, serta lain sebagainya..”
Sebab pada masa sekarang, di nagari kita pada beberapa kampung keadaan jalan sungguh sangat menyedihkan. Seharusnya dalam jangka waktu lima tahun semenjak pengerasan, maka jalan tersebut sudah seharusnya untuk diaspal beton. Namun sayang, beberapa orang yang duduk di dewan mengalihkannya ke kampung mereka. Hal ini sesungguhnya sangat menyedihkan, sebab nagari kita telah terzhalimi.
Namun menurut kami tuan, hal tersebut ialah berkah, ada hikmah di setiap kejadian yang ditimpakan oleh Allah kepada nagari kita. Menurut pandangan kami, lebih baik nagari ini tidak dibangun apabila dibangun dengan cara yang tidak baik. Kalau ada anak Nagari Kamang yang duduk di dewan, tentunya mereka telah main keras-mengerasi, tipu-menipu pula. Sehingga anggaran yang seharusnya digunakan untuk membangun nagari lain digunakan untuk membangun kampung halaman. Bukankah uang yang dipakai tidak temasuk uang haram tuan?
Kemudian percakapan kami berkisar perihal berbagai industri yang ada di kampung kita. Salah satunya ialah industri kerupuk. Menurut pendapat beliau, alangkah lebih baiknya jika dibangun semacam koperasi, kemudian seluruh pembuat kerupuk di kampung kita menjual hasil dari produksi mereka ke koperasi. Oleh koperasi diberi kemasan yang menarik sehingga dapat dijual di supermarket hingga ke luar negeri.
Namun kami tak sependapat tuan, sebab berdasarkan pengalaman yang telah dahulu di kampung kita, kebanyakan koperasi yang didirikan tidak berumur panjang. Pasalnya, kebanyakan dari orang kampung kita masih kurang raso dan bertanggung jawab. Koperasi bagi mereka ialah tempat meminjam uang, dan apabila ditagih, kebanyakan dari mereka mengelak. Oleh sebab itulah koperasi banyak yang tutup usia di kampung kita.
Alangkah baiknya jika nagari atau para perantau atau Yayasan Kamang Saiyo atau apapun itu namanya membuat sebuah perusahaan. Perusahaan ini dikelola dengan cara profesional yang bertugas mendistribusikan hasil produksi industri kerupuk di kampung kita. Atau kalau boleh didirikan sendiri pabrik tempat produksinya dimana bahan-bahan, proses pembuatan, dan kualitas dijaga. Yang bekerja di sana ialah para pembuat kerupuk di kampung kita. Dengan begitu dari segi kualitas dan harga kita dapat mengendalikan.
Begitulah tuan, kalau dapat untuk jenis kerajinan (industri) lainnya juga demikian. Sehingga pendapat orang kampung kita bertambah jua. Bukankah segalanya akan lebih baik jika direncanakan, dikelola dengan baik (profesional) dan bersama-sama. Namun untuk bekerja sama itulah orang kampung kita yang tidak bisa. Terlalu membanggakkan kepandaian masing-masing.
Mungkin ada masanya bagi Nagari Kamang untuk maju dalam hal pembangunan. Namun tampaknya tidak sekarang, bersabarlah, bukankah begitu pengajaran agama kita. Hanya saja manusia itu yang tidak mau bersabar.
Sesungguhnya tuan, nagari kita pada saat ini sangat membutuhkan seseorang yang dapat menyatukan seluruh anak nagari, seluruh pemimpin yang sedang bertikai, dan seluruh perantau yang berbeda-beda pandangannya dalam membangun nagari. Semoga saja orang semacam itu akan segera hadir di tengah-tengah kita. Orang yang kusut hendak menyelesaikan dan keruh hendak menjernihkan.
[1] Sepupu atau anak mamak, di beberapa nagari di Minangkabau anak mamak dipanggil dengan sebutan Anak Pisang. Sedangkan di Nagari Kamang digunakan sebutan ipa atau anak pusako. Ipa tidaklah sama dengan ipar pada masyarakat Indonesia pada umumnya. Karena sebutan ipar mengarah kepada suami atau isteri dari saudara kita.
Komentar
Posting Komentar