Masihkah tuan kenal dengan kata ini? Mungkin masih, sebab bagi beberapa orang Minangkabau yang masih setia dan cinta dengan bahasa ibu mereka terkadang masih suka terlepas dari mulut mereka kata “jamban”. Biasanya ialah bagi generasi yang lahir di bawah tahun 1990-an. Bagi sebagian yang lahir tahun 1980-an sudah mulai jarang menggunakan kata ini.
[caption id="attachment_229" align="alignleft" width="300"] Salah dua jamban yang masih tetap eksis di kampung kita
Lokasi: Dangau Baru
Gambar: Koleksi Pribadi[/caption]
Jamban ialah suatu tempat orang membuang kotoran tubuh, mengeluarkan limbah yang ada di badan, atau melepaskan hajat yang mengganjal. Atau dalam bahasa orang sekarang dapat kita sederhanakan dengan kata “toilet” atau “WC (We-Ce)” . Saudara kita di Tanah Semenanjuang menyebutnya dengan sebutan “Tandas” atau saudara-saudara kita di Jakarta menyebutnya dengan “Kakus”.
Di kampung kita, jamban dibuat oleh orang pada sebuah tabek (kolam) dengan berbahan dasarkan batuang (bambu). Oleh karena itu, terkadang di kampung kita pergi ke Jamban di sebut juga oleh orang dengan "Pai ka tabek", sebab jamban hanya ada di tabek. Ada kalanya jamban ini diberi dinding dari seng (seperti yang terlihat pada gambar), dari kayu atau berbahan belahan bambu yang di pasang di sekelilingnya. Namun ada juga orang yang merasa Pe-De dengan tidak memberikan pelindung apa-apa.
Dahulu kala di kampung kita, hampir setiap tabek memiliki jamban. Menjadi hiasan atau gadget yang harus dimiliki setiap tabek. Kalau ada tabek yang tak memilikinya, merupakan suatu pertanda kalau tabek tersebut sedang dalam masalah atau yang punya tabek memiliki masalah dengan sistem pengeluarannya. Tapi tenang saja tuan, hampir tak ada tabek yang tak memiliki jamban di kampung kita.
Pada masa sekarang, walau setiap rumah telah memiliki kamar mandi dan we-ce di dalam rumahnya. Namun ketika ada yang merasa sesuatu harus dilepaskan maka apabila ditanya hendak kemana, maka mereka akan menjawab “Ka ka jamban santa, dima kamar mandi no..?”
Sungguh menarik sekali masih mendengar kata tersebut, sebab beberapa tahun lagi dimasa adik-adik, anak, dan kamanakan kita, kata tersebut akan mulai menghilang. Bahasa merupakan bagian dari kearifan lokal, bagian dari identitas diri dan bangsa. Jadi berhati-hatilah tuan, jangan memandang rendah bahasa ibu kita, dan jangan pula silau dengan kemegahan orang lain. Jangan serupa yang dikatakan pepatah: rumput di halaman jiran lebih hijau daripada halaman sendiri. Kenapa kami bercakap demikian tuan? Sebab pada masa sekarang, banyak dari orang Minang yang memilih menggunakan Bahasa Indonesia Raya di rumah bersama anak-anak mereka.
Jadi tuan, masihkah tuan temukan jamban serupa yang kita pakai dahulu ketika masih kanak-kanak semasa di kampung?
[caption id="attachment_229" align="alignleft" width="300"] Salah dua jamban yang masih tetap eksis di kampung kita
Lokasi: Dangau Baru
Gambar: Koleksi Pribadi[/caption]
Jamban ialah suatu tempat orang membuang kotoran tubuh, mengeluarkan limbah yang ada di badan, atau melepaskan hajat yang mengganjal. Atau dalam bahasa orang sekarang dapat kita sederhanakan dengan kata “toilet” atau “WC (We-Ce)” . Saudara kita di Tanah Semenanjuang menyebutnya dengan sebutan “Tandas” atau saudara-saudara kita di Jakarta menyebutnya dengan “Kakus”.
Di kampung kita, jamban dibuat oleh orang pada sebuah tabek (kolam) dengan berbahan dasarkan batuang (bambu). Oleh karena itu, terkadang di kampung kita pergi ke Jamban di sebut juga oleh orang dengan "Pai ka tabek", sebab jamban hanya ada di tabek. Ada kalanya jamban ini diberi dinding dari seng (seperti yang terlihat pada gambar), dari kayu atau berbahan belahan bambu yang di pasang di sekelilingnya. Namun ada juga orang yang merasa Pe-De dengan tidak memberikan pelindung apa-apa.
Dahulu kala di kampung kita, hampir setiap tabek memiliki jamban. Menjadi hiasan atau gadget yang harus dimiliki setiap tabek. Kalau ada tabek yang tak memilikinya, merupakan suatu pertanda kalau tabek tersebut sedang dalam masalah atau yang punya tabek memiliki masalah dengan sistem pengeluarannya. Tapi tenang saja tuan, hampir tak ada tabek yang tak memiliki jamban di kampung kita.
Pada masa sekarang, walau setiap rumah telah memiliki kamar mandi dan we-ce di dalam rumahnya. Namun ketika ada yang merasa sesuatu harus dilepaskan maka apabila ditanya hendak kemana, maka mereka akan menjawab “Ka ka jamban santa, dima kamar mandi no..?”
Sungguh menarik sekali masih mendengar kata tersebut, sebab beberapa tahun lagi dimasa adik-adik, anak, dan kamanakan kita, kata tersebut akan mulai menghilang. Bahasa merupakan bagian dari kearifan lokal, bagian dari identitas diri dan bangsa. Jadi berhati-hatilah tuan, jangan memandang rendah bahasa ibu kita, dan jangan pula silau dengan kemegahan orang lain. Jangan serupa yang dikatakan pepatah: rumput di halaman jiran lebih hijau daripada halaman sendiri. Kenapa kami bercakap demikian tuan? Sebab pada masa sekarang, banyak dari orang Minang yang memilih menggunakan Bahasa Indonesia Raya di rumah bersama anak-anak mereka.
Jadi tuan, masihkah tuan temukan jamban serupa yang kita pakai dahulu ketika masih kanak-kanak semasa di kampung?
Komentar
Posting Komentar