[caption id="attachment_188" align="alignleft" width="525"] Komp.Kntr. Camat Kamek
Foto: Zaldi Heriawan[/caption]
Telah banyak perubahan terjadi di kampung kita tuan, bertambah ramai juga kampung dek anak jo kamanakan batambah juo, badatangan pulo urang nan datang ke kampung kita. Ada yang menyewa rumah, menyewa kedai, dan lain sebagainya.
Memanglah pusat kecamatan berada di kampung kita, di Mejan tepatnya. Kawasan yang dahulu lengang, takut kita melintasinya pabila malam telah menutupi negari. Akibatnya banyak pula para pegawai yang mencari rumah dan bahkan tanah di kampung kita. Ada pula yang menjadikan kampung kita sebagai tempat mencari uang, mulai dari membeli dan menyewa tanah untuk dijadikan tempatan dalam mendatangkan rupiah.
Bagi tuan yang telah banyak melihat berbagai negeri di rantau tentulah dapat memandang betapa banyaknya orang datang ke suatu daerah berdampak buruk kepada orang asli. Mereka menjadi terpinggirkan karena tak memiliki modal dalam persaingan zaman moderen ini. Orang datang dengan modal, apakah itu uang, kepandaian, ataupun ilmu. Sedangkan penduduk asli mereka kebanyakan pandir-pandir dan singkat akalnya. Dibujuk untuk menjual tanah mereka mau saja, karena memang dalam hidup mereka membutuhkan uang. Atau takut tidak dapat bagian dari dunsanak, maka mereka ambil resiko menjual tanah dan kemudian hasilnya dinikmati sendiri.
Keadaan yang semacam itu dapat saja menghinggapi kampung kita tercinta duhai tuan. Beberapa tanah di kampung kita telah berpindah kepemilikan dari orang kampung ke orang luar. Dibuat rumah di atasnya, dijadikan gudang, tempat mencari uang, dan lain sebagainya.
[caption id="attachment_189" align="alignright" width="448"] Sebuah rumah di Parumahan
Foto: Zaldi Heriawan[/caption]
Begitulah asal mulanya, banyak penduduk asli menjadi orang pinggiran di kampung halaman mereka. Tanah dijual, kemudian karena kepandiran dirinya uang dihabiskan tak berbekas, selepas itu hidup menjadi fakir miskin. Karena kesakitan hati kemudian mereka menjual cerita “Itu tanah milik si anu itu dahulu milik keluarga kami. Keluarga kami adalah keluarga tujuh jenjang yang banyak tanah dahulunya. Dia itu orang datang ke kampung kami. Harta pusaka dan gelar pusaka pun mereka tak punya. Sekarang sombong pula lagaknya kepada kita. Tak tahu dia kalau kami ini orang asli dan dia orang datang. Kami orang beradat, bernasab dan berketurunan..!”
Orang pandir semacam ini tak faham, jikalau ditanya “Lalu kenapa dahulu kalian menjual tanah harta pusaka kalian kepada orang itu? Bukankah terpantang di adat kita menjual tanah harta pusaka?”
Menurut tuan, orang-orang pandir macam ini akan menjawab seperti apa. Bukan jawaban yang akan tuan dapatkan melainkan umpatan, ampek..
Tuan, kalau keadaan semacam ini dibiarkan maka orang Kamang akan menjadi babu di kampung sendiri nantinya. Sukakah tuan dengan keadaan yang demikian?
Orang Kamang nan cerdik-cerdik telah pergi ke rantau, entak bila kan pulang, entahkan pulang entah tidak. Punya pangkat dan jabatan, kaya dan berpunya, tapi tak ada bekas di kampung. Apalah guna tuan? Tak cintakah tuan kepada kampung halaman, Kamang Darussalam..?
Kenapa tidak tuan gunakan sedikit uang tuan untuk menyelamatkan kampung halaman kita? Setidaknya belilah tanah dari orang kampung kita yang pandir-pandir itu?
Sampai kini belumlah ada aturan dari nagari kita, apakah itu dari pemerintah nagari atau dari KAN selaku pemegang otoritas tertinggi dalam adat di kampung kita. Belum ada aturan yang mengatur perihal jual beli tanah yang dilakukan dalam nagari. Semuanya bebas, maklumlah tuan, negara kitakan negara bebas.
Kami pernah mendengar orang yang bercakap “Jika keadaan semacam ini tidak segera mendapat perhatian dari anak nagari, terutama sekali dari pucuk pimpinan dalam nagari. Apakah itu dari fihak pemerintah ataupun dari fihak penghulu. Maka alamat nagari kita berada dalam bahaya. Dapat saja nantinya anak kamanakan kita akan menjadi babu bagi orang datang…”
Lalu disahuti oleh yang lain “Benar tuan, sayapun tak habis fikir, tanah kita yang disana telah terjual ke orang kampung sebelah. Padahal tanah itu luas, saya takut ini hanya permulaan, nantinya akan banyak tanah orang Kamang yang digadai ataupun dijual ke orang luar..”
Salah seorang yang agak cerdikpun menimpali “Sudah lama terfikirkan oleh saya tuan, kenapa para penghulu dan pemimpin kita yang lain di dalam nagari tidak membuat peraturan yang membatasi proses jual beli tanah di dalam nagari kita ini. Jika tak ada daya upaya lagi dan hendak dijual juga tanah di nagari kita oleh pemiliknya. Apakah itu tanah pusaka ataupun tidak, buatkanlah beberapa ketentuan. Contohnya tuan:
Kami terdiam mendengar ota-ota semacam itu, bagi kami pendapat engku yang terakhir ini terlalu besar. Kata orang sekarang terlalu muluk, utopis.
Namun seperti kata orang bijak “semuanya berawal dari mimpi, maka bermimpilah, asalkan jangan tertidur..” Haha.. ada-ada saja engku ini.
Namun apalah hendak dikata, keadaan nagari kita tampaknya bertambah buruk saja tiap harinya. Jika tuan memandang dari mata lahir, mungkin akan menghujat kami sebagai pembohong. Tapi jika tuan gunakan mata bathin, maka kami yakin, Insya Allah tuan akan sependapat dengan kami.
Pulanglah sesekali tuan, ziarahi jua kampung kita. Selamatkanlah nagari kita. Tinggalkan pesan kepada orang kampung kita “kalau terdengar ada orang di kampung kita hendak menjual tanah, cepatlah kabari saya, biar saya yang membeli. Daripada jatuh ke tangan orang luar nantinya..”
[caption id="attachment_187" align="alignright" width="448"] Pandam Pekuburan Perang Kamang 1908.
Foto: zaldi Heriawan[/caption]
Tak maulkah tuan pabila pulang nanti, rupanya rumah tempat tuan dilahirkan dan dibesarkan rupanya telah berpindah tangan ke orang luar. Atau dirobohkan dan ditukar dengan bangunan baru. Bahkan yang terburuk tuan, dapat saja pandam pakuburan keluarga tuan digusur karena telah dijual dan dibeli oleh orang luar. Tak malukah tuan? Masihkah tuan punya harga diri ketika itu?
Zaman terus berganti tuan, kepadaanpun terus berubah, namun masing-masing kita memiliki kesiapan berbeda-beda dalam menghadapi perubahan ini. selamatkanlah kampung kita tuan, kampuang kita yang sangat kita cintai, KAMANG DARUSSALAM.
Salam Penuh Harap dari Salah Seorang Perantau
Foto: Zaldi Heriawan[/caption]
Telah banyak perubahan terjadi di kampung kita tuan, bertambah ramai juga kampung dek anak jo kamanakan batambah juo, badatangan pulo urang nan datang ke kampung kita. Ada yang menyewa rumah, menyewa kedai, dan lain sebagainya.
Memanglah pusat kecamatan berada di kampung kita, di Mejan tepatnya. Kawasan yang dahulu lengang, takut kita melintasinya pabila malam telah menutupi negari. Akibatnya banyak pula para pegawai yang mencari rumah dan bahkan tanah di kampung kita. Ada pula yang menjadikan kampung kita sebagai tempat mencari uang, mulai dari membeli dan menyewa tanah untuk dijadikan tempatan dalam mendatangkan rupiah.
Bagi tuan yang telah banyak melihat berbagai negeri di rantau tentulah dapat memandang betapa banyaknya orang datang ke suatu daerah berdampak buruk kepada orang asli. Mereka menjadi terpinggirkan karena tak memiliki modal dalam persaingan zaman moderen ini. Orang datang dengan modal, apakah itu uang, kepandaian, ataupun ilmu. Sedangkan penduduk asli mereka kebanyakan pandir-pandir dan singkat akalnya. Dibujuk untuk menjual tanah mereka mau saja, karena memang dalam hidup mereka membutuhkan uang. Atau takut tidak dapat bagian dari dunsanak, maka mereka ambil resiko menjual tanah dan kemudian hasilnya dinikmati sendiri.
Keadaan yang semacam itu dapat saja menghinggapi kampung kita tercinta duhai tuan. Beberapa tanah di kampung kita telah berpindah kepemilikan dari orang kampung ke orang luar. Dibuat rumah di atasnya, dijadikan gudang, tempat mencari uang, dan lain sebagainya.
[caption id="attachment_189" align="alignright" width="448"] Sebuah rumah di Parumahan
Foto: Zaldi Heriawan[/caption]
Begitulah asal mulanya, banyak penduduk asli menjadi orang pinggiran di kampung halaman mereka. Tanah dijual, kemudian karena kepandiran dirinya uang dihabiskan tak berbekas, selepas itu hidup menjadi fakir miskin. Karena kesakitan hati kemudian mereka menjual cerita “Itu tanah milik si anu itu dahulu milik keluarga kami. Keluarga kami adalah keluarga tujuh jenjang yang banyak tanah dahulunya. Dia itu orang datang ke kampung kami. Harta pusaka dan gelar pusaka pun mereka tak punya. Sekarang sombong pula lagaknya kepada kita. Tak tahu dia kalau kami ini orang asli dan dia orang datang. Kami orang beradat, bernasab dan berketurunan..!”
Orang pandir semacam ini tak faham, jikalau ditanya “Lalu kenapa dahulu kalian menjual tanah harta pusaka kalian kepada orang itu? Bukankah terpantang di adat kita menjual tanah harta pusaka?”
Menurut tuan, orang-orang pandir macam ini akan menjawab seperti apa. Bukan jawaban yang akan tuan dapatkan melainkan umpatan, ampek..
Tuan, kalau keadaan semacam ini dibiarkan maka orang Kamang akan menjadi babu di kampung sendiri nantinya. Sukakah tuan dengan keadaan yang demikian?
Orang Kamang nan cerdik-cerdik telah pergi ke rantau, entak bila kan pulang, entahkan pulang entah tidak. Punya pangkat dan jabatan, kaya dan berpunya, tapi tak ada bekas di kampung. Apalah guna tuan? Tak cintakah tuan kepada kampung halaman, Kamang Darussalam..?
Kenapa tidak tuan gunakan sedikit uang tuan untuk menyelamatkan kampung halaman kita? Setidaknya belilah tanah dari orang kampung kita yang pandir-pandir itu?
Sampai kini belumlah ada aturan dari nagari kita, apakah itu dari pemerintah nagari atau dari KAN selaku pemegang otoritas tertinggi dalam adat di kampung kita. Belum ada aturan yang mengatur perihal jual beli tanah yang dilakukan dalam nagari. Semuanya bebas, maklumlah tuan, negara kitakan negara bebas.
Kami pernah mendengar orang yang bercakap “Jika keadaan semacam ini tidak segera mendapat perhatian dari anak nagari, terutama sekali dari pucuk pimpinan dalam nagari. Apakah itu dari fihak pemerintah ataupun dari fihak penghulu. Maka alamat nagari kita berada dalam bahaya. Dapat saja nantinya anak kamanakan kita akan menjadi babu bagi orang datang…”
Lalu disahuti oleh yang lain “Benar tuan, sayapun tak habis fikir, tanah kita yang disana telah terjual ke orang kampung sebelah. Padahal tanah itu luas, saya takut ini hanya permulaan, nantinya akan banyak tanah orang Kamang yang digadai ataupun dijual ke orang luar..”
Salah seorang yang agak cerdikpun menimpali “Sudah lama terfikirkan oleh saya tuan, kenapa para penghulu dan pemimpin kita yang lain di dalam nagari tidak membuat peraturan yang membatasi proses jual beli tanah di dalam nagari kita ini. Jika tak ada daya upaya lagi dan hendak dijual juga tanah di nagari kita oleh pemiliknya. Apakah itu tanah pusaka ataupun tidak, buatkanlah beberapa ketentuan. Contohnya tuan:
- Jika ada seorang penduduk hendak menjual ataupun menggadaikan tanah, tawarkanlah dahulu kepada orang kampung (jorong).
- Jika tak ada, maka tawarkanlah kepada orang dalam nagari.
- Jika tak jua ada, maka pulangkanlah perkara ini kepada pimpinan nagari. Tujuannya agar para pemimpin di nagari mengusahakan penjualan tanah ini tetap terjadi antara penduduk dalam nagari. Kalau tidak ada orang dalam nagari, carilah orang-orang kampung yang di rantau, merekapun butuh tanah jua. Sebab tak selamanya dari mereka akan tinggal di rantau. Walau ada beberapa di antara mereka yang berniat demikian.
- Kalau tidak juga, maka pertanda Nagari Kamang telah jatuh ke dalam ke fakiran. Sebab sepengetahuan saya, banyak paerantau kita yang menjadi orang berharta dan berpangkat di negeri rantau sana. Jadi tak mungkin kalau tak dapat agak seorang yang mau membeli tanah, menyelamatkan kampung dari penggusuran.
- Hidupkanlah Yayasan Kamang Saiyo milik kita. Jadikan yayasan ini tidak hanya sebagai pemersatu, melainkan mesin pencari uang untuk nagari. Jadilah yayasan ini hendaknya semacam organisasi pencari uang yang akan mengelola pemasukan dan pengeluaran untuk nagari. Dirikanlah berbagai usaha BUMN (Badan Usaha Milik Nagari) untuk menunjang kehidupan kita dalam nagari.
Kami terdiam mendengar ota-ota semacam itu, bagi kami pendapat engku yang terakhir ini terlalu besar. Kata orang sekarang terlalu muluk, utopis.
Namun seperti kata orang bijak “semuanya berawal dari mimpi, maka bermimpilah, asalkan jangan tertidur..” Haha.. ada-ada saja engku ini.
Namun apalah hendak dikata, keadaan nagari kita tampaknya bertambah buruk saja tiap harinya. Jika tuan memandang dari mata lahir, mungkin akan menghujat kami sebagai pembohong. Tapi jika tuan gunakan mata bathin, maka kami yakin, Insya Allah tuan akan sependapat dengan kami.
Pulanglah sesekali tuan, ziarahi jua kampung kita. Selamatkanlah nagari kita. Tinggalkan pesan kepada orang kampung kita “kalau terdengar ada orang di kampung kita hendak menjual tanah, cepatlah kabari saya, biar saya yang membeli. Daripada jatuh ke tangan orang luar nantinya..”
[caption id="attachment_187" align="alignright" width="448"] Pandam Pekuburan Perang Kamang 1908.
Foto: zaldi Heriawan[/caption]
Tak maulkah tuan pabila pulang nanti, rupanya rumah tempat tuan dilahirkan dan dibesarkan rupanya telah berpindah tangan ke orang luar. Atau dirobohkan dan ditukar dengan bangunan baru. Bahkan yang terburuk tuan, dapat saja pandam pakuburan keluarga tuan digusur karena telah dijual dan dibeli oleh orang luar. Tak malukah tuan? Masihkah tuan punya harga diri ketika itu?
Zaman terus berganti tuan, kepadaanpun terus berubah, namun masing-masing kita memiliki kesiapan berbeda-beda dalam menghadapi perubahan ini. selamatkanlah kampung kita tuan, kampuang kita yang sangat kita cintai, KAMANG DARUSSALAM.
Salam Penuh Harap dari Salah Seorang Perantau
Komentar
Posting Komentar