Den Takan Jo Kampuang
[caption id="attachment_158" align="alignleft" width="448"] Mejan[/caption]
Duhai tuan, takana di awak jalan basimpang ampek di Pintu Koto, basimpang tigo di Koto Panjang. Takana pula jalan lurus di Mejan dan Padang Sawah, jalan berliku di Solok dan Binu. Jalan Mandaki di Tanah Panyurek, Jalan manurun di Koto Kaciak. Takana pula Batang Agam di Joho, mengalir sampai ke Taluak, menjadi Tontonan di Tanah Panyurek dan Jambatan Koto Kaciak. Sudah beberapa kali air besar meluap sampai ke luar dari batang aia, dan setiap itu terjadi ramai pula orang menontonnya.
Terbang pula ingatan ke masa selepas Isya, dimana Koncek sedang mahiruak meminta hujan di malam hari. Terkadang kesal hati ini karena mereka memekak saja semalaman namun sekarang rindu yang terasa. Beruntung kita memiliki banyak koncek, sebab di beberapa daerah terutama di perkotaan, sangatlah susah kita dengar suara koncek di malam hari.
Jangankan koncek, kutu ari dan pianggang pun tak ada. Sebab semak ataupun belukar tempat mereka hidup telah tiada. Dijadikan perumahan, pertokoan, ataupun gedung-gedung lainnya untuk perekonomian.
Selain itu kampung kita yang sepi (dimana banyak orang kampung yang malu karena kampung sepi) merupakan suatu berkah. Sebab hidup di tengah hiruk pikuk sungguh tak sehat. Sampai tengah malampun masih terdengar suara motor ataupun mobil. Sangat berlainan dengan kampung kita yang tenang. Bahkan selepas magrib orang sudah mengurung diri di rumah, walau ada juga beberapa yang keras hati pergi bahampok ke lapau-lapau. Namun itu hanya sebagian kecil.
Walau tak ada mall, namun Pakan Salasa merupakan pusat perbelanjaan terbaik yang pernah kita temui. Insya Allah segala makanan yang dijual di sana sehat-sehat, tidak ada yang digulimangi dengan bahan kimia. Berbeda dengan di rantau dimana hati kita selalu dirundung cemas karena takut dengan bahan makanan yang berformalin atau zat mematikan lainnya.
Memang benar kata orang, hujan emas di rantau orang, hujan batu di kampung sendiri.
Namun tuan, saya bukannya hendak menakut-nakuti supaya para pemuda kampung enggan merantau. Merantaulah, karena sesungguhnya dengan merantau alam fikiran kita akan terbuka (kata orang kampung “tabukak pangana ang..”). Selama kita masih tetap tinggal di kampung maka kita akan serupa “katak di bawah tempurung”.
Tapi sebelum pergi merantau perkuat dahulu agama, perdalam pengetahuan perihal agama kita. Sebab kalau tidak, alamat badan akan sesat. Di rantau sangat banyak sekali setan-setan berkeliaran tuan, beragam rupa bentuknya, dan beragam pula sifatnya. Kita juga harus memperkuat pengetahuan perihal adat kita, terutama adat di kampung kita, sebab dalam banyak hal, penyebab hancurnya adat dalam suatu nagari, disebabkan oleh anak nagari itu sendiri. Terutama para perataunya yang telah merasa dirinya hebat, pintar, kaya, berkuasa, dan berpengaruh. Memandang rendah adat resam di kampung halaman karena silau dengan apa yang telah di dapat di rantau orang.
Seperti kata pepatah: Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan di lepaskan. Akhirnya tuan, tentulah malapeh hao..
Duhai Gunuang Marapi..
Gunuang Singalang..
Tolong caliak an..
Salam rindu dari rantau,..
Komentar
Posting Komentar