[caption id="attachment_343" align="alignleft" width="300"] Dangau Kawa Tek Mur di muko SMP di Pintu Koto
Gambar: Koleksi Sendiri[/caption]
Di kampung kita pada saat ini telah ada Lapau Kawa tuan? Tahukah tuan apakah itu kawa?
Tentunya tuan pernah mendengar tatkala pergi bekerja atau gotong royong selalu mendapat pertanyaan dari orang-orang “A.. toh paminum kawa cako..?”
Biasanya akan kita jawab “Lai kue, lapek, kopi, atau teh..”
Begitulah jawaban kita karena meniru dari jawaban dari orang tua kita. Sehingga tertanam di benak kita bahwasanya kawa itu ialah makanan atau minuman kecil yang dihidangkan untuk parintangi makan tengah hari ataupun makan malam. Biasa dinikmati pada waktu pagi menjelang tengah hari, atau dari tengah hari menjelang petang hari dan magrib. (orang Jakarta yang sangat “kreatif” mempersingkat pengertian ini dengan menyebut paminum kawa dengan sebutan ular-snack)
Namun benarkah demikian tuan?
Rupanya tidak tuan, telah silap kita selama ini. Kawa atau Khawa berasal dari Bahasa Arab yang berarti sama dengan coffe dalam bahasa Inggris. Orang sekarang yang sangat tergila-gila dengan Kebudayaan Barat mengambil istilah yang dipakai oleh orang kafir kulit putih yakni dari coffe menjadi kopi. Sedangkan bagi orang tua-tua kita masa dahulu yang sangat benci dengan orang kafir dan sangat besar cinta mereka kepada Islam lebih memilih menggunakan Bahasa Arab yakni Khawa atai di lidah orang Minang menjadi kawa.
Kawa ialah kopi, jadi yang dimaksud dari pertanyaan “A paminum kawa cako..?” ialah “apa yang mengawani minum kawa tadi..?”
Jadi jawabannya taklah salah benar karena memang dalam minum kawa kita ditemani oleh kue, lapek, dan lain sebagainya.
Nah.. Lapau Kawa yang hendak kami ceritakan kepada tuan ialah sebuah Lapau yang dibuka oleh orang kampung kita di muka Rumah Sekolah SMP, di perbatasan nagari kita dengan Nagari Magek. Kalau kami tak salah nama lapaunya ialah “Dangau Kawa”. Entah kenapa diberi nama “dangau” bukan “lapau”. Ah.. tak apalah tuan, yang penting apabila tuan pulang nanti tuan dapat mencoba minum kawa di sana.
Dangau kawa ini dimiliki oleh Tek Mur, yang biasa menjual langkok-langkok di Pakan Salasa. Rumah beliau ada di Lubuak.
Namun tuan, tahukah tuan kalau yang dimaksudkan dengan Kawa disini tidaklah sama dengan kopi biasa? Kawa atau kopi dalam pandangan masyarakat Minangkabau telah mengalami pergeseran makna. Jadi kami rasa tepat jugalah kiranya kalau orang sekarang menyebut kopi dengan makna yang sebenarnya. Sedangkan kawa memiliki makna berbeda.
Semua ini bermula di masa penjajahan Belanda tuan. Kompeni Belanda mewajibkan kita orang Minang untuk menanam kopi dan kemudian hasilnya dijual dengan murah ke Belanda. Masa itu dikenal dengan masa Tanam Paksa Kopi, beriringan masanya dengan Tanam Paksa di Tanah Jawa.
Karena begitu sukanya inyiak-inyiak kita pada masa dahulu akan tanaman kopi ini, namun di satu sisi mereka tak mendapat izin untuk mencoba buah yang mereka tanam maka mereka mencoba mencari akal. Rupanya sifat panjang akal telah diwarisi semenjak masa dahulu oleh orang Minang tuan. Apa akal..?
tak ada rotan, akar pun jadi. Maka tak dapat kopi, daunnyapun jadilah..
Daun kopi inilah yang akhirnya yang dinikmati oleh inyiak-inyiak kita pada masa dahulu. Rasanya takkalah nikmatnya. Begitu suka dan cintanya inyiak-inyiak kita dengan jenis minuman ini sehingga Kompeni Belanda menggelari kita penikmat kopi dengan gelar “Melayu Kopi Daun”. Gelar itu sangat terkenal tuan.
Lalu kenapa digunakan nama “Melayu” bukan “Minang”? hal ini karena kita orang Minangkabau termasuk ke dalam Puak Melayu. Hanya saja kita orang Minangakabau tidak menyematkan nama Melayu kepada nama etnis kita. Cobalah tuan baca kembali kisah dalam Tambo perihal adu kerbau, akan terang semuanya bagi tuan, Insya Allah..
Tahukah tuan bagaimana cara membuatnya?
Nantilah di tulisan berikutnya akan kami coba mebahasnya. Sekarang, tuan kunjungi sajalah Dangau Kawa Tek Mur di muka SMP di Pintu Koto.
Gambar: Koleksi Sendiri[/caption]
Di kampung kita pada saat ini telah ada Lapau Kawa tuan? Tahukah tuan apakah itu kawa?
Tentunya tuan pernah mendengar tatkala pergi bekerja atau gotong royong selalu mendapat pertanyaan dari orang-orang “A.. toh paminum kawa cako..?”
Biasanya akan kita jawab “Lai kue, lapek, kopi, atau teh..”
Begitulah jawaban kita karena meniru dari jawaban dari orang tua kita. Sehingga tertanam di benak kita bahwasanya kawa itu ialah makanan atau minuman kecil yang dihidangkan untuk parintangi makan tengah hari ataupun makan malam. Biasa dinikmati pada waktu pagi menjelang tengah hari, atau dari tengah hari menjelang petang hari dan magrib. (orang Jakarta yang sangat “kreatif” mempersingkat pengertian ini dengan menyebut paminum kawa dengan sebutan ular-snack)
Namun benarkah demikian tuan?
Rupanya tidak tuan, telah silap kita selama ini. Kawa atau Khawa berasal dari Bahasa Arab yang berarti sama dengan coffe dalam bahasa Inggris. Orang sekarang yang sangat tergila-gila dengan Kebudayaan Barat mengambil istilah yang dipakai oleh orang kafir kulit putih yakni dari coffe menjadi kopi. Sedangkan bagi orang tua-tua kita masa dahulu yang sangat benci dengan orang kafir dan sangat besar cinta mereka kepada Islam lebih memilih menggunakan Bahasa Arab yakni Khawa atai di lidah orang Minang menjadi kawa.
Kawa ialah kopi, jadi yang dimaksud dari pertanyaan “A paminum kawa cako..?” ialah “apa yang mengawani minum kawa tadi..?”
Jadi jawabannya taklah salah benar karena memang dalam minum kawa kita ditemani oleh kue, lapek, dan lain sebagainya.
Nah.. Lapau Kawa yang hendak kami ceritakan kepada tuan ialah sebuah Lapau yang dibuka oleh orang kampung kita di muka Rumah Sekolah SMP, di perbatasan nagari kita dengan Nagari Magek. Kalau kami tak salah nama lapaunya ialah “Dangau Kawa”. Entah kenapa diberi nama “dangau” bukan “lapau”. Ah.. tak apalah tuan, yang penting apabila tuan pulang nanti tuan dapat mencoba minum kawa di sana.
Dangau kawa ini dimiliki oleh Tek Mur, yang biasa menjual langkok-langkok di Pakan Salasa. Rumah beliau ada di Lubuak.
Namun tuan, tahukah tuan kalau yang dimaksudkan dengan Kawa disini tidaklah sama dengan kopi biasa? Kawa atau kopi dalam pandangan masyarakat Minangkabau telah mengalami pergeseran makna. Jadi kami rasa tepat jugalah kiranya kalau orang sekarang menyebut kopi dengan makna yang sebenarnya. Sedangkan kawa memiliki makna berbeda.
Semua ini bermula di masa penjajahan Belanda tuan. Kompeni Belanda mewajibkan kita orang Minang untuk menanam kopi dan kemudian hasilnya dijual dengan murah ke Belanda. Masa itu dikenal dengan masa Tanam Paksa Kopi, beriringan masanya dengan Tanam Paksa di Tanah Jawa.
Karena begitu sukanya inyiak-inyiak kita pada masa dahulu akan tanaman kopi ini, namun di satu sisi mereka tak mendapat izin untuk mencoba buah yang mereka tanam maka mereka mencoba mencari akal. Rupanya sifat panjang akal telah diwarisi semenjak masa dahulu oleh orang Minang tuan. Apa akal..?
tak ada rotan, akar pun jadi. Maka tak dapat kopi, daunnyapun jadilah..
Daun kopi inilah yang akhirnya yang dinikmati oleh inyiak-inyiak kita pada masa dahulu. Rasanya takkalah nikmatnya. Begitu suka dan cintanya inyiak-inyiak kita dengan jenis minuman ini sehingga Kompeni Belanda menggelari kita penikmat kopi dengan gelar “Melayu Kopi Daun”. Gelar itu sangat terkenal tuan.
Lalu kenapa digunakan nama “Melayu” bukan “Minang”? hal ini karena kita orang Minangkabau termasuk ke dalam Puak Melayu. Hanya saja kita orang Minangakabau tidak menyematkan nama Melayu kepada nama etnis kita. Cobalah tuan baca kembali kisah dalam Tambo perihal adu kerbau, akan terang semuanya bagi tuan, Insya Allah..
Tahukah tuan bagaimana cara membuatnya?
Nantilah di tulisan berikutnya akan kami coba mebahasnya. Sekarang, tuan kunjungi sajalah Dangau Kawa Tek Mur di muka SMP di Pintu Koto.
tek mur rumhno di lakang rumah ambo di kubang
BalasHapus