[caption id="attachment_638" align="alignleft" width="225"] Salah satu batang karambia di Kamang[/caption]
Punya batang karambiakah[1] engku dan encik di rumah? Kalau punya, siapakah biasanya yang engku dan encik suruh memanjatnya?
“Sungguh aneh pertanyaan tuanku ini, untuk apa pula batang karambia di rumah ditanya-tanya oleh tuanku, apakah hendak baralek tuanku ini..?” Mungkin begitu tanya engku dan encik dalam hati.
Bukan engku dan encik, hanya sekedar bertanya saja. Sebab beberapa masa yang lalu kami mendapat kiriman gambar (foto) orang sedang memanjat karambia. Sungguh tertarik kami melihatnya dan rindupun menjadi tak tertahankan kepada kampung kita dibuatnya. Sungguh kalera engku yang mengirimkan gambar itu kepada kami. Di rantau tempat kami mencari hidup ini, kami tak memiliki karambia sebatangpun, jangankan batang karambia, rumah dan tanahpun tak punya, masih menyewa kepada orang.
Dahulu semasa kecil di kampung, apabila mendengar orang memanjat batang karambia merupakan sesuatu yang menarik perhatian kami. Pergi ke parak melihat orang memanjat karambia, kata orang tingkah lakunya serupa beruk. Maksudnya cara memanjatnya serupa beruk, berjalan di atas batang karambia sambil melengkungkan kedua tangan ke batang karambia dan menjadikan kedua telapak kaki dan telapak tangan yang saling berpautan sebagai tumpuan utama.
[caption id="attachment_641" align="alignright" width="224"] Orang memanjat karambia di kampung kita[/caption]
Namun, sesungguhnya setelah kami perhatikan tidak pula serupa beruk. Sebab tidak semua pemanjat karambia berkelakuan seperti itu. Ada pula yang memanjat serupa orang memanjat tiang listrik di kapung kita, hanya saja mereka tidak memakai tali sebagai pengaman.
Sambil membawa ladiang[2] yang diselipkan dipinggang bahkan ada pula yang menggit ladiang sambil memanjat, serupa di filem-filem saja. Dengan lincahnya mereka memanjat hingga ke pucuk. Pekerjaan serupa ini sesungguhnya sangatlah berbahaya (beresiko) tak jarang ada yang terjatuh. Jika sudah jatuh ada yang sekedar terkilir bahkan ada yang sampai patah. Sungguh suatu perjuangan yang berat demi beberapa keping rupiah untuk anak-isteri di rumah. Begitulah pengorbanan seorang lelaki engku dan encik sekalian, jangan pernah memandang remeh seorang lelaki pemimpin keluarga yang keras dan kasar. Dibalik sikap tersebut tersimpan jiwa yang lembut lagi penyayang, hanya saja dalam bersikap tidak kami tunjukkan yang demikian, justeru kebalikannya.
Tak jarang jua, sesampai di pucuk, mereka bersua dan diserang oleh karirawai[3], sungguh pedih rasanya dipantak[4] oleh karirawai ini. Tak jarang sebelum sampai sampai dipucuk yakni baru sampai pertengahan batang karambia, karirawai telah menyerang. Dasar makhluk jahanam mereka, membuat perkampungan di batang karambia milik orang. Namun memanglah sudah menjadi tabiat dari makhluk Allah yang satu ini berkelakuan serupa itu, sudah tak dapat kita salahkan.
Ladiang mereka akan sangat berguna sekali begitu sampai di pucuk batang karambia. Ditebasnya daun ataupun pelepah yang sudah masiak karena mati. Dibersihkannya kawasan sekitar pucuk itu dan barulah kemudian buah karambia yang telah masak di potong tampuknya supaya rareh[5]. Tak jarang pemilik batang karambia memesan buah karambia yang muda-muda. Karena memanglah sangat nikmat sekali meminum air karambia muda serta memakan daging buahnya.
Namun pernah juah beberapa kali terdengar oleh kami bahwa Encik Anu menyuruh orang memetik buah karambia miliknya. Namun yang memanjat dan memetik bukanlah orang melainkan beruk. Di kampung kita sangat jarang tersua hal yang demikian hanya sesekali saja. Yang biasa menggunakan beruk untuk memetik buah karambia ialah orang Pariaman, maka lazim terdengar oleh kita istilah “baruak piaman”.
Beruk ini diberi kala, kala tersebut diberi tali oleh yang empunya. Gunanya ialah sebagai pengendali si beruk apabila si beruk salah dalam menafsirkan perintah tuannya. Jika berbuat salah, tak jarang si beruk mendapat hukuman lecut dari tuannya. Sungguh sangat sedih sekali melihatnya, apalah salah si beruk, diakan cuma binatang, bukankah begitu engku dan encik sekalian.
[caption id="attachment_636" align="alignright" width="224"] Orang memanjat karambia[/caption]
Kata orang, kalau menggunakan beruk lebih murah upahnya namun pekerjaannya tidak bersih. Sebab pucuk batang karambia tidak dibersihkan oleh si beruk. Manalah pandai si beruk ini membersihkan pucuk batang karambia, tahunya ialah memetik buah karambia saja. Dan itupun sering pula salah, karena si beruk bukanlah beruk terpelajar, tak pernah bersekolah, dan hanya pandai memanjat saja. Tentulah mana yang senang hatinya saja yang dikerjakan.
Biasanya Tukang Beruk bersepeda dari kampung ke kampung, dengan menggunakan kereta unto[6] babatang. Si tuan mengendarai sepeda untanya, buah karambia dikebat[7] di belakang, dan si beruk didudukkan di batang kereta untanya. Jika melihat pemandangan yang serupa itu, kanak-kanak ramai berteriak “Oi.. tengoklah ada beruk itu di atas kereta..!”
Jika terdengar oleh Si Tukang Beruk, maka dia akan membalas “Huss. Cek..”
Jika telah demikian, para ibu akan menarik anaknya dan menyuruh diam. Si anak hanya menurut tak faham. Apa pasal?
[caption id="attachment_639" align="alignleft" width="224"] Manutuah dan membersihkan, selepas itu baru diambil/dirarehkan buahnya[/caption]
Jawapan dari Si Tukang Beruk ialah jawapan tak pantas dan kasar, biasanya perkataan serupa itu digunakan untuk mengusir anjing. Lalu kenapa Si Tukang Beruk sampai menjawab demikian?
Karena dia merasa tersinggung, sebab kanak-kanak berujar “Oi.. tengoklah ada beruk itu di atas kereta..!”[8] yang itu difahaminya bahwa si anak juga mengatakan bahwa dirinya beruk. Beruk Gadang yang sedang mengayuh kereta. Ada-ada saja..
Begitulah engku dan encik sekalian, begitu kami pandangi gambar-gambar yang dikirimkan oleh salah seorang kawan kami. Maka terkenang masa yang silam, masa kanak-kanak yang penuh canda. Dahulu terasa biasa saja tatkala dijalani, namun sekarang setelah gadang terasa manis dibuatnya. Ingin kembali ke masa silam, namun tak dapat caranya. Tahukah engku dan encik sekalian caranya kembali ke masa silam, ke masa kanak-kanak kita dahulu..? tolonglah beritahu kami ini..
[2] Banyak orang menyamakan ladiang dengan parang ataupun golok. Namun ladiang di Minangkabau sangat berbeda dengan golok, ladiang memiliki panjang ada yang sampai 60-80 cm, dengan ujung agak membesar dan melengkung serupa paruh elang.
[8] Kalau masa sekarang, kanak-kanak atapun orang dewasa sering pula berujar namun dengan sembunyi-sembunyi dan suara pelan “Oi.. tengoklah itu, ada anjing di atas oto (mobil)” atau “Oi.. tengoklah itu, ada anjing di atas onda (motor)”. Haha.. ada-ada saja orang kampung kita.
Punya batang karambiakah[1] engku dan encik di rumah? Kalau punya, siapakah biasanya yang engku dan encik suruh memanjatnya?
“Sungguh aneh pertanyaan tuanku ini, untuk apa pula batang karambia di rumah ditanya-tanya oleh tuanku, apakah hendak baralek tuanku ini..?” Mungkin begitu tanya engku dan encik dalam hati.
Bukan engku dan encik, hanya sekedar bertanya saja. Sebab beberapa masa yang lalu kami mendapat kiriman gambar (foto) orang sedang memanjat karambia. Sungguh tertarik kami melihatnya dan rindupun menjadi tak tertahankan kepada kampung kita dibuatnya. Sungguh kalera engku yang mengirimkan gambar itu kepada kami. Di rantau tempat kami mencari hidup ini, kami tak memiliki karambia sebatangpun, jangankan batang karambia, rumah dan tanahpun tak punya, masih menyewa kepada orang.
Dahulu semasa kecil di kampung, apabila mendengar orang memanjat batang karambia merupakan sesuatu yang menarik perhatian kami. Pergi ke parak melihat orang memanjat karambia, kata orang tingkah lakunya serupa beruk. Maksudnya cara memanjatnya serupa beruk, berjalan di atas batang karambia sambil melengkungkan kedua tangan ke batang karambia dan menjadikan kedua telapak kaki dan telapak tangan yang saling berpautan sebagai tumpuan utama.
[caption id="attachment_641" align="alignright" width="224"] Orang memanjat karambia di kampung kita[/caption]
Namun, sesungguhnya setelah kami perhatikan tidak pula serupa beruk. Sebab tidak semua pemanjat karambia berkelakuan seperti itu. Ada pula yang memanjat serupa orang memanjat tiang listrik di kapung kita, hanya saja mereka tidak memakai tali sebagai pengaman.
Sambil membawa ladiang[2] yang diselipkan dipinggang bahkan ada pula yang menggit ladiang sambil memanjat, serupa di filem-filem saja. Dengan lincahnya mereka memanjat hingga ke pucuk. Pekerjaan serupa ini sesungguhnya sangatlah berbahaya (beresiko) tak jarang ada yang terjatuh. Jika sudah jatuh ada yang sekedar terkilir bahkan ada yang sampai patah. Sungguh suatu perjuangan yang berat demi beberapa keping rupiah untuk anak-isteri di rumah. Begitulah pengorbanan seorang lelaki engku dan encik sekalian, jangan pernah memandang remeh seorang lelaki pemimpin keluarga yang keras dan kasar. Dibalik sikap tersebut tersimpan jiwa yang lembut lagi penyayang, hanya saja dalam bersikap tidak kami tunjukkan yang demikian, justeru kebalikannya.
Tak jarang jua, sesampai di pucuk, mereka bersua dan diserang oleh karirawai[3], sungguh pedih rasanya dipantak[4] oleh karirawai ini. Tak jarang sebelum sampai sampai dipucuk yakni baru sampai pertengahan batang karambia, karirawai telah menyerang. Dasar makhluk jahanam mereka, membuat perkampungan di batang karambia milik orang. Namun memanglah sudah menjadi tabiat dari makhluk Allah yang satu ini berkelakuan serupa itu, sudah tak dapat kita salahkan.
Ladiang mereka akan sangat berguna sekali begitu sampai di pucuk batang karambia. Ditebasnya daun ataupun pelepah yang sudah masiak karena mati. Dibersihkannya kawasan sekitar pucuk itu dan barulah kemudian buah karambia yang telah masak di potong tampuknya supaya rareh[5]. Tak jarang pemilik batang karambia memesan buah karambia yang muda-muda. Karena memanglah sangat nikmat sekali meminum air karambia muda serta memakan daging buahnya.
Namun pernah juah beberapa kali terdengar oleh kami bahwa Encik Anu menyuruh orang memetik buah karambia miliknya. Namun yang memanjat dan memetik bukanlah orang melainkan beruk. Di kampung kita sangat jarang tersua hal yang demikian hanya sesekali saja. Yang biasa menggunakan beruk untuk memetik buah karambia ialah orang Pariaman, maka lazim terdengar oleh kita istilah “baruak piaman”.
Beruk ini diberi kala, kala tersebut diberi tali oleh yang empunya. Gunanya ialah sebagai pengendali si beruk apabila si beruk salah dalam menafsirkan perintah tuannya. Jika berbuat salah, tak jarang si beruk mendapat hukuman lecut dari tuannya. Sungguh sangat sedih sekali melihatnya, apalah salah si beruk, diakan cuma binatang, bukankah begitu engku dan encik sekalian.
[caption id="attachment_636" align="alignright" width="224"] Orang memanjat karambia[/caption]
Kata orang, kalau menggunakan beruk lebih murah upahnya namun pekerjaannya tidak bersih. Sebab pucuk batang karambia tidak dibersihkan oleh si beruk. Manalah pandai si beruk ini membersihkan pucuk batang karambia, tahunya ialah memetik buah karambia saja. Dan itupun sering pula salah, karena si beruk bukanlah beruk terpelajar, tak pernah bersekolah, dan hanya pandai memanjat saja. Tentulah mana yang senang hatinya saja yang dikerjakan.
Biasanya Tukang Beruk bersepeda dari kampung ke kampung, dengan menggunakan kereta unto[6] babatang. Si tuan mengendarai sepeda untanya, buah karambia dikebat[7] di belakang, dan si beruk didudukkan di batang kereta untanya. Jika melihat pemandangan yang serupa itu, kanak-kanak ramai berteriak “Oi.. tengoklah ada beruk itu di atas kereta..!”
Jika terdengar oleh Si Tukang Beruk, maka dia akan membalas “Huss. Cek..”
Jika telah demikian, para ibu akan menarik anaknya dan menyuruh diam. Si anak hanya menurut tak faham. Apa pasal?
[caption id="attachment_639" align="alignleft" width="224"] Manutuah dan membersihkan, selepas itu baru diambil/dirarehkan buahnya[/caption]
Jawapan dari Si Tukang Beruk ialah jawapan tak pantas dan kasar, biasanya perkataan serupa itu digunakan untuk mengusir anjing. Lalu kenapa Si Tukang Beruk sampai menjawab demikian?
Karena dia merasa tersinggung, sebab kanak-kanak berujar “Oi.. tengoklah ada beruk itu di atas kereta..!”[8] yang itu difahaminya bahwa si anak juga mengatakan bahwa dirinya beruk. Beruk Gadang yang sedang mengayuh kereta. Ada-ada saja..
Begitulah engku dan encik sekalian, begitu kami pandangi gambar-gambar yang dikirimkan oleh salah seorang kawan kami. Maka terkenang masa yang silam, masa kanak-kanak yang penuh canda. Dahulu terasa biasa saja tatkala dijalani, namun sekarang setelah gadang terasa manis dibuatnya. Ingin kembali ke masa silam, namun tak dapat caranya. Tahukah engku dan encik sekalian caranya kembali ke masa silam, ke masa kanak-kanak kita dahulu..? tolonglah beritahu kami ini..
[2] Banyak orang menyamakan ladiang dengan parang ataupun golok. Namun ladiang di Minangkabau sangat berbeda dengan golok, ladiang memiliki panjang ada yang sampai 60-80 cm, dengan ujung agak membesar dan melengkung serupa paruh elang.
[8] Kalau masa sekarang, kanak-kanak atapun orang dewasa sering pula berujar namun dengan sembunyi-sembunyi dan suara pelan “Oi.. tengoklah itu, ada anjing di atas oto (mobil)” atau “Oi.. tengoklah itu, ada anjing di atas onda (motor)”. Haha.. ada-ada saja orang kampung kita.
Komentar
Posting Komentar