[caption id="attachment_651" align="alignleft" width="300"] Dua orang tukang manyabik rumpuk sedang khusyuk menunaikan tugas mereka di salah satu parak milik penduduk Kamang[/caption]
Pernahkah engku dan encik sekalian melihat orang manyabik rumpuk?
Tentulah engku dan encik sekalian menjawab “Pernah Tuanku..” sebab orang Kamang manalah kiranya yang tak pernah melihat orang mayabik rumpuk, kecuali dia besar dan menghabiskan sebagian besar umurnya di rantau orang. Sungguh malang sekali nasib orang kota, tak pernah melihat padi menguning, sawah dibajak orang, orang mengembalakan ternak, berlunau-lunau di sawah, dan lain sebagainya.
Dahulu semasa kami kanak-kanak, orang yang pergi menyabik rumpuk ini ialah para pemilik ternak. Kami heran sekali kenapa pula sampai jauh-jauh mendatangi perak orang atau tepi jalan yang ditumbuhi belukar hanya sekedar untuk dipotong rumputnya. Kenapa tidak digembalakan saja ternaknya. Namun tatkala kami fikir-fikirkan lagi “Wajarlah memang jikalau demikian kelakuan para pemilik ternak. Sebab di kampung kita tak ada padang rumput. Berbeda dengan orang-orang di luar negeri sana, dimana di kampung-kampung mereka terdapat padang rumput sehingga mereka tinggal melepas ternak mereka saja lagi ke padang itu. Lalu pada saat petang hari dijemput dan dimasukkan kembali ke kandang”
Sangatlah baik sekali engku dan encik jika menjadi bahan pemikiran kita bersama apabila di kampung kita sampai kita buat sebuah kawasan “padang rumput” untuk mengembalakan ternak oleh orang kampung. Tapi dimanakah kiranya kawasan yang cocok untuk itu, duhai engku dan encik sekalian?
Rumput yang disabik kemudian dimasukkan ke dalam karung dan seletelah itu dipikul sampai pulang. Ada juga yang membawa kereta[1] dan onda[2] ataupun garabak[3] sehingga berkarung-karung rumput dapat dibawa. Bahkan ada pula sesekali tampak oleh kami ada yang membawa oto[4] yang mungkin mereka ini bukan berasal dari kampung kita. Sungguh senang sekali nasib ternak di kampung kita. Dicarikan dan bahkan ada yang sampai disuapi makannya, sudah serupa keluarga sendiri. Sungguh merupakan perhubungan yang teramat mesra antara ternak dengan tuannya.
Sekarang karena orang-orang bertambah sibuk, maka untuk mencari rumput ini ada juga yang mengupahkan. Tentunya tidak semuanya. Bagi yang mengupahkan maka satu karung rumput dihargai Rp. 10.000 (kalau kami tak salah, bisa saja kami keliru. Mohon engku dan encik luruskan bila demikian). Pekerjaan manyabik rumpuk telah menjadi mata pencaharian pula bagi sebagian orang kampung kita. Bertambah juga jenis mata pencaharian di kampung kita yakni “Tukang Sabik Rumpuk”.
[caption id="attachment_650" align="alignright" width="224"] Salah satu jalan di Kamang yang masih asli, belum tersentuh oleh modernitas[/caption]
Rumput dicari di mana-mana di kampung kita ini. Mulai dari halaman pekarangan rumah sendiri, parak milik sendiri kemudian mulai memperluas ekspansi ke pekarangan dan parak milik jiran. Kalau sudah habis, maka dicari ke perak-perak lain di kampung kita. Ada juga yang di tepi jalan namun tentunya sangatlah sedikit didapat dan cepat habis sebab banyak dilihat orang dan tentunya banyak pula yang mengambil (rivalitas (persaingan) dalam dunia Tukang Sabik Rumpuk).
Nah.. ada suatu kisah mengenai Tukang Sabik Rumpuk ini apabila mengambil ruput di perak milik orang lain. Tidak hanya dimasa Tukang Sabik Rumpuk ini saja dimulai kisahnya engku dan encik sekalian, tampaknya sudah warisan dari masa sebelumnya.
Memanglah rumpuk itu sejenis tanaman yang tumbuh sesukanya, tak diundang, tak diharapkan, dan tak disukai. Belum pernah terdengar oleh kami ada orang yang sengaja menanam rumput, kecuali Rumput Jepang atau rumput yang ditanam orang untuk taman, penghias pekarangan dan lapangan. Atau tak ada pula terdengar oleh kami ada orang yang sengaja menanam dan menebar benihnya, orang gila mungkin yang serupa itu.
Rumput-rumput yang tumbuh di parak memanglah tidak diharapkan oleh si pemilik perak. Namun apalah daya, tidak semua mereka memiliki waktu dan tenaga untuk menyiangi parak mereka itu sehingga rumput-rumput itu semakin merajalela, semakin tumbuh besar, dan terkadang menjadi sarang bagi bintang berbisa.
Oleh karena itu patut kiranya pemilik perak itu berterimakasih kepada Tukang Sabik Rumpuk karena telah membantu memotong rumput di perak mereka. Sebab kalau tidak, tentulah semakin tinggi saja itu rumput tumbuhnya dan akan semakin payah penyiangi nantinya oleh pemilik perak. Walau tidak dicabut dengan akar-akarnya oleh Tukang Sabik Rumput sebab hanya dipotong, hal ini sudah cukup membantu dan meringan dan sangatlah wajar pula engku dan encik sekalian sebab namanya saja Tukang Sabik Rumpuk bukan Tukang Bukek (Cabut) Rumpuk. Memang demikianlah adanya.
Namun ada yang kurang oleh orang sekarang engku dan encik sekalian. Yakni kurang raso jo pareso. Memanglah benar itu rumput tidak ditanam, benar juga kalau rumput itu tidak diharapkan oleh yang punya perak. Namun, perak itukan ada yang punya duhai engku dan encik sekalian, ada tuannya. Alangkah baiknya apabila kita masuk ke sana apalagi adapula yang hendak diambil, baiknya bapitaruah (minta izin) dahulu kepada yang punya perak. Itulah tanda kehalusan budi bahasa kita orang Minang apalagi kita orang Kamang yang memiliki falsafah Nan Kuriak Kundi-Nan Sirah Sago, Nan Baiak Budi-Nan Indah Baso. Begitulah engku dan encik sekalian..
Tak akan berkata “tidak” si pemilik perak, bersyukurlah kan ada pada dirinya. Namun apabila tak ada yang berpitaruh sebelumnya, didapati sudah ada orang di dalam perak menyabik rumput maka akan muncul kesal, tak ada lagi rila[5] di hati. Kalau sudah demikian, menurut Tuanku kami tempat mengaji “Sudah sama dengan barang haram itu rumput jadinya..” sebab walaupun tidak diharapkan, tidak pula ditanam dan disebar benihnya, tetap saja si pemilik perak ialah pemilik dari rumput itu. Harus ada kerelaan dari si pemilik sebelum miliknya diambil. Kalau tidak haram hukumnya dan telah zalim pula kita kepada orang kampung, saudara kita seiman.
[caption id="attachment_649" align="alignleft" width="300"] Salah seorang tukang sabik rumpuk.[/caption]
Kenapa pula berat atau tak hendak meminta izin kepada si pemilik perak?! Takkan menolak pula mereka jikalau dimintakan izin. Namun kisah demikian tidaklah semuanya, masih ada juga yang tahu jo raso jo pareso.
“Tek/maktuo/akak, den sabik rumpuk di parak etek/maktuo/akak agak sakaciak dih..”[6] kata Si Tukang Sabik Rumpuk.
“Jadih.. ambiaklah.. e..e.. wak ang/tuan tu..”[7] jawab si pemilik perak.
Belum pernah terdengar oleh kami ada pemilik perak yang menolak bahkan mengusir Tukang Sabik Rumpuk. Justeru sebaliknya, senang hatinya karena telah ditolong meringankan beban pekerjaannya. Dan merekapun tahu dan sadar, bahwa orang-orang (Tukang Sabik Rumpuk) ini sedang mencari rezki yang halal untuk anak-isterinya di rumah.
Itulah yang kurang pada diri orang sekarang, raso jo pareso, hampir musnah dari dalam diri kita orang Kamang. Tak hendak menimbang-nimbang, tak pula hendak memikir-mikirkan dengan kearifan sehingga dapat berlaku bijak. Tak ada engku dan encik sekalian, sudah tak ada lagi.
Ada lagi satu kisah serupa tapi tak sama:
Adalah salah satu orang kampung kita memiliki tabek[8] di hadapan rumahnya. Rupanya di dalam tabeknya itu entah dari mana asalnya terdapat pula kaluh[9] dan rutiang. Semua orang kampung tahu kalau ikan tersebut ialah ikan pemangsa (predator) bagi ikan-ikan yang lainnya. Sehingga banyak orang kampung kita yang tak hendak beternak ikan tersebut dan kalau kedapat di tabeknya maka akan segera diburu (dipapeh atau ditangguak). Sebab kalau dibiarkan maka akan mengurangi populasi ikan yang lain.
Maka dari itu, bagi orang kampung kita yang penyuka mamapeh[10] maka mereka akan dengan senang hati menangkapi kaluh ataupun rutiang tersebut. Namun sayangnya engku dan encik sekalian, karena mereka sudah tak memiliki raso jo pareso atau ada juga orang kampung kita yang menjuluki mereka dengan “Ndak bakaniang”. Maka tanpa mangecek[11] kepada pemilik tabek, mereka langsung saja memapeh di tabek tersebut.
Tampak oleh yang punya, kemudian ditegur, apa jawaban dari orang-orang ini engku dan encik sekalian “Nan den papeh kan kaluh jo rutiang no, manga lo wak kau/ wak ang bangih? Ikan ko kan ndak ado nan mamasuak an ka tabek kau/ang doh..” (yang saya pancing kan kaluh dengan ruting, kenapa pula kami marah? Ikan ini kan tidak ada yang memasukkan ke dalam kolam kamu ini..)
Begitulah engku dan encik sekalian, boleh engku dan encik mengatakan “huh.. lebay Tuanku ko mah..” atau “Ndak ado karajo Tuanku, mangko iko lo nan Tuanku tulih..?!” atau lain sebagainya.
Silahkan saja, boleh engku dan encik sekalian. Kalau memang demikian adanya, alamat sudah gawa[12] kampung kita. Tunggu sajalah malapetaka yang akan datang..
Pernahkah engku dan encik sekalian melihat orang manyabik rumpuk?
Tentulah engku dan encik sekalian menjawab “Pernah Tuanku..” sebab orang Kamang manalah kiranya yang tak pernah melihat orang mayabik rumpuk, kecuali dia besar dan menghabiskan sebagian besar umurnya di rantau orang. Sungguh malang sekali nasib orang kota, tak pernah melihat padi menguning, sawah dibajak orang, orang mengembalakan ternak, berlunau-lunau di sawah, dan lain sebagainya.
Dahulu semasa kami kanak-kanak, orang yang pergi menyabik rumpuk ini ialah para pemilik ternak. Kami heran sekali kenapa pula sampai jauh-jauh mendatangi perak orang atau tepi jalan yang ditumbuhi belukar hanya sekedar untuk dipotong rumputnya. Kenapa tidak digembalakan saja ternaknya. Namun tatkala kami fikir-fikirkan lagi “Wajarlah memang jikalau demikian kelakuan para pemilik ternak. Sebab di kampung kita tak ada padang rumput. Berbeda dengan orang-orang di luar negeri sana, dimana di kampung-kampung mereka terdapat padang rumput sehingga mereka tinggal melepas ternak mereka saja lagi ke padang itu. Lalu pada saat petang hari dijemput dan dimasukkan kembali ke kandang”
Sangatlah baik sekali engku dan encik jika menjadi bahan pemikiran kita bersama apabila di kampung kita sampai kita buat sebuah kawasan “padang rumput” untuk mengembalakan ternak oleh orang kampung. Tapi dimanakah kiranya kawasan yang cocok untuk itu, duhai engku dan encik sekalian?
Rumput yang disabik kemudian dimasukkan ke dalam karung dan seletelah itu dipikul sampai pulang. Ada juga yang membawa kereta[1] dan onda[2] ataupun garabak[3] sehingga berkarung-karung rumput dapat dibawa. Bahkan ada pula sesekali tampak oleh kami ada yang membawa oto[4] yang mungkin mereka ini bukan berasal dari kampung kita. Sungguh senang sekali nasib ternak di kampung kita. Dicarikan dan bahkan ada yang sampai disuapi makannya, sudah serupa keluarga sendiri. Sungguh merupakan perhubungan yang teramat mesra antara ternak dengan tuannya.
Sekarang karena orang-orang bertambah sibuk, maka untuk mencari rumput ini ada juga yang mengupahkan. Tentunya tidak semuanya. Bagi yang mengupahkan maka satu karung rumput dihargai Rp. 10.000 (kalau kami tak salah, bisa saja kami keliru. Mohon engku dan encik luruskan bila demikian). Pekerjaan manyabik rumpuk telah menjadi mata pencaharian pula bagi sebagian orang kampung kita. Bertambah juga jenis mata pencaharian di kampung kita yakni “Tukang Sabik Rumpuk”.
[caption id="attachment_650" align="alignright" width="224"] Salah satu jalan di Kamang yang masih asli, belum tersentuh oleh modernitas[/caption]
Rumput dicari di mana-mana di kampung kita ini. Mulai dari halaman pekarangan rumah sendiri, parak milik sendiri kemudian mulai memperluas ekspansi ke pekarangan dan parak milik jiran. Kalau sudah habis, maka dicari ke perak-perak lain di kampung kita. Ada juga yang di tepi jalan namun tentunya sangatlah sedikit didapat dan cepat habis sebab banyak dilihat orang dan tentunya banyak pula yang mengambil (rivalitas (persaingan) dalam dunia Tukang Sabik Rumpuk).
Nah.. ada suatu kisah mengenai Tukang Sabik Rumpuk ini apabila mengambil ruput di perak milik orang lain. Tidak hanya dimasa Tukang Sabik Rumpuk ini saja dimulai kisahnya engku dan encik sekalian, tampaknya sudah warisan dari masa sebelumnya.
Memanglah rumpuk itu sejenis tanaman yang tumbuh sesukanya, tak diundang, tak diharapkan, dan tak disukai. Belum pernah terdengar oleh kami ada orang yang sengaja menanam rumput, kecuali Rumput Jepang atau rumput yang ditanam orang untuk taman, penghias pekarangan dan lapangan. Atau tak ada pula terdengar oleh kami ada orang yang sengaja menanam dan menebar benihnya, orang gila mungkin yang serupa itu.
Rumput-rumput yang tumbuh di parak memanglah tidak diharapkan oleh si pemilik perak. Namun apalah daya, tidak semua mereka memiliki waktu dan tenaga untuk menyiangi parak mereka itu sehingga rumput-rumput itu semakin merajalela, semakin tumbuh besar, dan terkadang menjadi sarang bagi bintang berbisa.
Oleh karena itu patut kiranya pemilik perak itu berterimakasih kepada Tukang Sabik Rumpuk karena telah membantu memotong rumput di perak mereka. Sebab kalau tidak, tentulah semakin tinggi saja itu rumput tumbuhnya dan akan semakin payah penyiangi nantinya oleh pemilik perak. Walau tidak dicabut dengan akar-akarnya oleh Tukang Sabik Rumput sebab hanya dipotong, hal ini sudah cukup membantu dan meringan dan sangatlah wajar pula engku dan encik sekalian sebab namanya saja Tukang Sabik Rumpuk bukan Tukang Bukek (Cabut) Rumpuk. Memang demikianlah adanya.
Namun ada yang kurang oleh orang sekarang engku dan encik sekalian. Yakni kurang raso jo pareso. Memanglah benar itu rumput tidak ditanam, benar juga kalau rumput itu tidak diharapkan oleh yang punya perak. Namun, perak itukan ada yang punya duhai engku dan encik sekalian, ada tuannya. Alangkah baiknya apabila kita masuk ke sana apalagi adapula yang hendak diambil, baiknya bapitaruah (minta izin) dahulu kepada yang punya perak. Itulah tanda kehalusan budi bahasa kita orang Minang apalagi kita orang Kamang yang memiliki falsafah Nan Kuriak Kundi-Nan Sirah Sago, Nan Baiak Budi-Nan Indah Baso. Begitulah engku dan encik sekalian..
Tak akan berkata “tidak” si pemilik perak, bersyukurlah kan ada pada dirinya. Namun apabila tak ada yang berpitaruh sebelumnya, didapati sudah ada orang di dalam perak menyabik rumput maka akan muncul kesal, tak ada lagi rila[5] di hati. Kalau sudah demikian, menurut Tuanku kami tempat mengaji “Sudah sama dengan barang haram itu rumput jadinya..” sebab walaupun tidak diharapkan, tidak pula ditanam dan disebar benihnya, tetap saja si pemilik perak ialah pemilik dari rumput itu. Harus ada kerelaan dari si pemilik sebelum miliknya diambil. Kalau tidak haram hukumnya dan telah zalim pula kita kepada orang kampung, saudara kita seiman.
[caption id="attachment_649" align="alignleft" width="300"] Salah seorang tukang sabik rumpuk.[/caption]
Kenapa pula berat atau tak hendak meminta izin kepada si pemilik perak?! Takkan menolak pula mereka jikalau dimintakan izin. Namun kisah demikian tidaklah semuanya, masih ada juga yang tahu jo raso jo pareso.
“Tek/maktuo/akak, den sabik rumpuk di parak etek/maktuo/akak agak sakaciak dih..”[6] kata Si Tukang Sabik Rumpuk.
“Jadih.. ambiaklah.. e..e.. wak ang/tuan tu..”[7] jawab si pemilik perak.
Belum pernah terdengar oleh kami ada pemilik perak yang menolak bahkan mengusir Tukang Sabik Rumpuk. Justeru sebaliknya, senang hatinya karena telah ditolong meringankan beban pekerjaannya. Dan merekapun tahu dan sadar, bahwa orang-orang (Tukang Sabik Rumpuk) ini sedang mencari rezki yang halal untuk anak-isterinya di rumah.
Itulah yang kurang pada diri orang sekarang, raso jo pareso, hampir musnah dari dalam diri kita orang Kamang. Tak hendak menimbang-nimbang, tak pula hendak memikir-mikirkan dengan kearifan sehingga dapat berlaku bijak. Tak ada engku dan encik sekalian, sudah tak ada lagi.
Ada lagi satu kisah serupa tapi tak sama:
Adalah salah satu orang kampung kita memiliki tabek[8] di hadapan rumahnya. Rupanya di dalam tabeknya itu entah dari mana asalnya terdapat pula kaluh[9] dan rutiang. Semua orang kampung tahu kalau ikan tersebut ialah ikan pemangsa (predator) bagi ikan-ikan yang lainnya. Sehingga banyak orang kampung kita yang tak hendak beternak ikan tersebut dan kalau kedapat di tabeknya maka akan segera diburu (dipapeh atau ditangguak). Sebab kalau dibiarkan maka akan mengurangi populasi ikan yang lain.
Maka dari itu, bagi orang kampung kita yang penyuka mamapeh[10] maka mereka akan dengan senang hati menangkapi kaluh ataupun rutiang tersebut. Namun sayangnya engku dan encik sekalian, karena mereka sudah tak memiliki raso jo pareso atau ada juga orang kampung kita yang menjuluki mereka dengan “Ndak bakaniang”. Maka tanpa mangecek[11] kepada pemilik tabek, mereka langsung saja memapeh di tabek tersebut.
Tampak oleh yang punya, kemudian ditegur, apa jawaban dari orang-orang ini engku dan encik sekalian “Nan den papeh kan kaluh jo rutiang no, manga lo wak kau/ wak ang bangih? Ikan ko kan ndak ado nan mamasuak an ka tabek kau/ang doh..” (yang saya pancing kan kaluh dengan ruting, kenapa pula kami marah? Ikan ini kan tidak ada yang memasukkan ke dalam kolam kamu ini..)
Begitulah engku dan encik sekalian, boleh engku dan encik mengatakan “huh.. lebay Tuanku ko mah..” atau “Ndak ado karajo Tuanku, mangko iko lo nan Tuanku tulih..?!” atau lain sebagainya.
Silahkan saja, boleh engku dan encik sekalian. Kalau memang demikian adanya, alamat sudah gawa[12] kampung kita. Tunggu sajalah malapetaka yang akan datang..
*memotong rumput
[6] Tek (etek (bibi), panggilan untuk perempuan yang lebih muda (dalam segi umur atau aturan dalam adat) dari ibu kita). Maktuo ((bibi) sebutan untuk perempuan yang lebih tua dari ibu kita), Akak (kakak) saya potong rumput di kebun etek/maktuo/akak agak sedikit ya..
[7] Baiklah.. abiaklah.. e..e.. kamu/tuan itu (tuan, merupakan kata ganti untuk “abang” atau orang lelaki yang lebih tua bagi sebagian masyarakat Minangkabau)
[6] Tek (etek (bibi), panggilan untuk perempuan yang lebih muda (dalam segi umur atau aturan dalam adat) dari ibu kita). Maktuo ((bibi) sebutan untuk perempuan yang lebih tua dari ibu kita), Akak (kakak) saya potong rumput di kebun etek/maktuo/akak agak sedikit ya..
[7] Baiklah.. abiaklah.. e..e.. kamu/tuan itu (tuan, merupakan kata ganti untuk “abang” atau orang lelaki yang lebih tua bagi sebagian masyarakat Minangkabau)
betu, tuanku. dulu begitu banyak dijumpai, orang yang manyabik rumpuk di parak2, di puruak-puruak an dalam karuang, dibao jo garabak/kureta unto, topi moris di kapalo, sabik tasalek di pinggang. begitulah gaya apak2/mamak2/bahkan inyiak2 mambaok an makanan taranak kabau jo bantiang baliau. tapi kini, nan punya ternak kabau tu bisa dikatakan sudah tidak ada lagi, kalaupun ada yang punya ternak, beliau memelihara bantiang/sapi.
BalasHapus