[caption id="attachment_762" align="alignleft" width="224"] Tugu Peringatan Perang Kamang 1908 di Simpang Pintu Koto[/caption]
Pada suatu malam yang panjang, kami dan seorang kawan
sekampung bercakap-cakap bertukar fikiran. Dua orang anak kampung di rantau orang memperbincangkan perihal kampung, sungguh suatu yang menyedihkan sebenarnya. Rindu dendam kepada kampung halaman ditahan di dalam hati. Tak ada masa untuk pulang kampung, kalaupun ada hanyalah sekejap saja.
Memperbincangkan macam hal, segala perubahan yang telah terjadi di kampung. Mulai dari yang tampak (lahir,fisik) hingga yang tak tampak (watak, tabi’at, perilaku). Semuanya kami bahas, tentunya dari sudut pandang kami (perspektif) pula. Namun intinya ialah menurut kami, perubahan yang tengah terjadi berlawanan dengan tuntunan adat dan syara’ yang menjadi panduan kita orang Kamang, orang Minangkabau.
“Apa yang engku ketahui perihal Perang Kamang?” tanyanya kepada kami.
“Perang yang terjadi di kampung kita pada tahun 1908, kenapa kiranya engku bertanya?” tanya kami kembali.
[caption id="attachment_761" align="alignright" width="214"] "Tugu Lama" Peringatan Perang Kamang 1908 di Simpang Pintu Koto[/caption]
Sambil menghela nafas dia menjawab “Hanya sebatas itukah engku? Pernah kami mendengar ada seorang ahli sejarah yang berkata bahwa yang terjadi bukanlah “perang” melainkan hanya kerusuhan berdarah saja..”
Kami terkejut dengan penjelasannya, tak terima kalau dikata hanya “kerusuhan berdarah saja”. Namun kami akui bahwa pengetahuan kami perihal perang yang terjadi di kampung kami delapan tahun selepas pergantian abad sembilan belas ke dua puluh ialah sedikit “Kenapa serupa itu pendapat ahli sejarah itu engku. Engku terima sajakah pendapat yang demikian?” tanya kami kembali.
Dia tersenyum mencemooh “Apa yang hendak awak jawab engku, dia ahli sejarah sedangkan awah ini hanyalah orang biasa. Tak pula begitu menguasai Sejarah Perang Kamang itu. Melainkan sedikit yang kita dapatkan dari orang tua-tua di kampung. Ah.. sayang, jumlah orang yang mengetahui perihal Sejarah Perang Kamang di kampung kita sudah mulai berkurang. Kalaupun ada yang mengetahui itupun sama pula dengan kita-kita ini, sama-sama sedikit” jawabnya.
“Begitulah adanya keadaan di kampung kita engku, tidak hanya orang Kamang banyak orang sudah melupakan sejarah dan tak hendak mengetahui apalagi mempelajari. Bagi mereka mempelajari sejarah tak mendatangkan faedah dalam kehidupan sebab tak dapat menghasilkan uang. Berlainan halnya jika mereka mempelajari Ilmu Teknik, Hukum, Ekonomi, apalagi Kedokteran yang menjadi idaman semua orang” balas kami kepadanya.
[caption id="attachment_758" align="alignleft" width="300"] Tugu Peringatan Perang Kamang di Kamang Mudiak[/caption]
“Oleh karena itulah makanya banyak dari orang Kamang sekarang berkelakuan serupa bertindak, bertingkah-laku, dan berfikir tidak berdasarkan kepada adat dan syara’ lagi. Telah banyak terjadi berbagai bentuk pelanggaran serupa pelanggaran perilaku (moral, kesusilaan) hingga pelanggaran ritual adat (mengadakan orgen ketika helat pernikahan, tidak menjalankan adat sebagaimana mestinya dengan menghilangkan beberapa kebiasaan yang seharusnya dijalankan dalam kehidupan beradat) di kampung kita engku..” jelasnya sedih.
[caption id="attachment_764" align="alignright" width="300"] Gerbang Makam Pahlawan Perang Kamang di Taluak.
Foto: Zaldi Heriawan[/caption]
Kami hanya termenung mendengar perkataannya. Memanglah benar demikian, sebab telah sampai juga kepada kami perihal berbagai tindak pelanggaran adat dan syara’ yang terjadi di kampung kita. Perzinahan, perselingkuhan, dan berbagai tindakan tak terpuji lainnya. Sedangkan dalam kebiasaan adat banyak yang dihilangkan karena dianggap tidak efektif dan efisien. Sebab zaman sekarang ialah zaman sibuk jadi segala sesuatunya dipermudah. Dan ada pula yang ditambah-tambahkan seperti mengadakan orgen ketika perhelatan pernikahan. “Sebab itu merupakan pertanda kehidupan moderen” kata orang-orang pandir di Nagari Kamang.
Pernah seorang kawan kami berkata “Moderen atau tidaknya kita itu bukan dipandang dari bagaimana cara kita berpakaian, bagaimana cara kita makan, peralatan terbaru apa saja yang kita pakai, dan lain sebagainya yang hanya berupa perlambang (simbol) lahir (fisik) saja. Melainkan pada cara kita berfikir dan bertingkah laku. Kita moderen apabila semakin tinggi penghargaan kita kepada adat dan agama, kita moderen apabila semakin tinggi kecintaan kita kepada keduanya. Kita moderen apabila meniru kebiasaan orang Barat itu yang baik (positif) seperti menepati janji, tepat waktu, dan santun dalam berbicara. Cobalah tengok betapa tak tepat waktunya orang kampung kita, betapa kasarnya perilaku dan ucapan mereka..!”
[caption id="attachment_765" align="alignleft" width="300"] Kantor Wali Nagari Kamang Hilir di Ampang.
Foto: Zaldi Heriawan[/caption]
Begitula, namun tidak semua orang berpandangan demikian. Hanyalah sebagian kecil, bukan sangat kecil sekali jumlahnya orang Kamang yang berfikiran serupa itu. Pakaian sempit, gaya rambut emo serupa orang beru selesai mandi, tak ada batasan pergaulan antara anak bujang dan gadis di kampung kita. Bahkan ada orang tua yang bangga anaknya banyak yang mengunjungi ke rumah, tanda anak gadis kita cantik molek.
“Perang Kamang itu sesungguhnya perang yang dikobarkan karena tak hendak harga diri kita orang Kamang, orang Minangkabau diinjak-injak. Pajak yang tak pernah berlaku sebelumnya di Minangkabau ini hendai diberlakukan oleh orang Belanda. Padhal negeri ini punya kita, punya kaum, punya suku. Berbeda dengan orang Jawa yang tanah-tanahnya ialah milik Raja, apabila raja mereka telah dikusai maka tanah merekapun ikut dikuasai. Namun perkara yang demikian tidak berlaku di Minangkabau ini”
“Perang itu juga timbul karena menolak perubahan, perubahan yang merusak yang dapat menghancurkan kepribadian kita Orang Kamang, Orang Minang, dan Orang Islam. Perubahan yang terjadi pada masa sekarang engku..”
[caption id="attachment_759" align="alignright" width="300"] Rumah Gadang Hj. Hadjisah di Gurun.
Merupakan Kamanakan dari M.S. Dt. Rajo Pangulu, Panglima Perang Kamang[/caption]
Lanjut kawan kami lagi “Namun segala yang dihindari itu jualah yang terjadi di nagari kita. Pajak tetap diperlakukan hingga sekarang. Sebab Pemerintahan Republik ini mewarisi hukum Kolonial Belanda, hanya berganti baju saja, badannya masih itu jua. Hukum adat dan agama sudah tak terpakai, dibuang sendiri oleh anak nagari. Apabila para penghulu mengeras hendak memperlakukan, maka akan segera berhadapan dengan hukum positif negara kita. Dikata bertentangan dengan HAM. Akibatnya makin banyak orang-orang di kampung kita melakukan perbuatan yang melanggar adat dan agama. Dan kita yang hendak mempertahankan hukum adat dan agama dibuat tak berdaya. Sebab bisa dipidanakan dikarenakan menghalangi kebebasan..”
“Bukankah perang ketika itu hanya menentang belasting atau pajak saja engku?” tanya kami heran.
“Haa.. itulah, orang pandir macam engku ini hanya tahu sebatas itu perihal Perang Kamang, karena memang hanya itu saja yang disebut-sebut. Coba sekali-kali engku gunakan banak engku itu, apakah perang itu dapat terjadi kalau tidak ada kejanggalan yang melatarinya, tidak ada semangat yang mendorongnya, dan kekuatan untuk melakukannya. Coba saya tanya sekarang kepada engku, apa kejanggalan atau sesuatu yang berlainan yang hendak diubah dan dipaksakan oleh pemerintah ketika itu? Apa semangat yang menjadi pendorong terjadi gerakan dari seluruh Anak Nagari Kamang untuk bergerak pergi berperang? Apa yang menjadi kekuatan untuk melakukan perang itu?”
[caption id="attachment_766" align="alignleft" width="300"] Makam Pahlawan Perang Kamang di Taluak
Foto: Zaldi Heriawan[/caption]
“Ingat engku, Perang Kamang memang terjadi hanya sebentar saja namun itu semua telah melalui berbagai macam persiapan yang cukup lama. Bukan suatu gerakan tiba-tiba (spontanitas) serupa orang mengajak pergi ke pasar saja..” jelasnya mengebu-ngebu.
Kami menjadi sakit hati dibuatnya, dikatakan pandir. Sombong sekali kawan kami yang satu ini. Namun apa hendak dikata, awak yang tak faham betul Sejarah Perang Kamang ini terpaksa diam saja, tak hendak melawan “Lalu apa pelajaran yang dapat kita ambil atau pesan dari Sejarah Perang Kamang itu engku?” tanya kami kepadanya.
“Kalau engku mau tahu, pelajarilah Sejarah Perang Kamang itu betul-betul..!” jawabnya angkuh.
Kami tersinggung “Yaa.. betul tapi apa. Maaf engku, saya tidak memiliki kecerdasan serupa engku. Kan engku sendiri tadi yang mengatai saya pandir..” jawab kami ketus.
“Haha.. tersinggung awak rupanya ya.. baiklah kalau hendak tahu juga. Cukup pelihara, pertahankan, dan tegakkan adat dan agama di kampung kita. Pelajarilah agama dan adat itu beriringan, Insya Allah akan bersua di engku bahwa adat dan agama di Minangkabau ini benar-benar jalin-menjalin, berbuhua mati. Tegakkan adat sama dengan menegakkan agama, tegakkan agama sama dengan menegakkan adat. Mari kita selamatkan Nagari Kamang dari perubahan ke arah Sekulerisme, Liberalisme, Pluralisme, individualisme, dan Zinah-isme..”
Pada suatu malam yang panjang, kami dan seorang kawan
sekampung bercakap-cakap bertukar fikiran. Dua orang anak kampung di rantau orang memperbincangkan perihal kampung, sungguh suatu yang menyedihkan sebenarnya. Rindu dendam kepada kampung halaman ditahan di dalam hati. Tak ada masa untuk pulang kampung, kalaupun ada hanyalah sekejap saja.
Memperbincangkan macam hal, segala perubahan yang telah terjadi di kampung. Mulai dari yang tampak (lahir,fisik) hingga yang tak tampak (watak, tabi’at, perilaku). Semuanya kami bahas, tentunya dari sudut pandang kami (perspektif) pula. Namun intinya ialah menurut kami, perubahan yang tengah terjadi berlawanan dengan tuntunan adat dan syara’ yang menjadi panduan kita orang Kamang, orang Minangkabau.
“Apa yang engku ketahui perihal Perang Kamang?” tanyanya kepada kami.
“Perang yang terjadi di kampung kita pada tahun 1908, kenapa kiranya engku bertanya?” tanya kami kembali.
[caption id="attachment_761" align="alignright" width="214"] "Tugu Lama" Peringatan Perang Kamang 1908 di Simpang Pintu Koto[/caption]
Sambil menghela nafas dia menjawab “Hanya sebatas itukah engku? Pernah kami mendengar ada seorang ahli sejarah yang berkata bahwa yang terjadi bukanlah “perang” melainkan hanya kerusuhan berdarah saja..”
Kami terkejut dengan penjelasannya, tak terima kalau dikata hanya “kerusuhan berdarah saja”. Namun kami akui bahwa pengetahuan kami perihal perang yang terjadi di kampung kami delapan tahun selepas pergantian abad sembilan belas ke dua puluh ialah sedikit “Kenapa serupa itu pendapat ahli sejarah itu engku. Engku terima sajakah pendapat yang demikian?” tanya kami kembali.
Dia tersenyum mencemooh “Apa yang hendak awak jawab engku, dia ahli sejarah sedangkan awah ini hanyalah orang biasa. Tak pula begitu menguasai Sejarah Perang Kamang itu. Melainkan sedikit yang kita dapatkan dari orang tua-tua di kampung. Ah.. sayang, jumlah orang yang mengetahui perihal Sejarah Perang Kamang di kampung kita sudah mulai berkurang. Kalaupun ada yang mengetahui itupun sama pula dengan kita-kita ini, sama-sama sedikit” jawabnya.
“Begitulah adanya keadaan di kampung kita engku, tidak hanya orang Kamang banyak orang sudah melupakan sejarah dan tak hendak mengetahui apalagi mempelajari. Bagi mereka mempelajari sejarah tak mendatangkan faedah dalam kehidupan sebab tak dapat menghasilkan uang. Berlainan halnya jika mereka mempelajari Ilmu Teknik, Hukum, Ekonomi, apalagi Kedokteran yang menjadi idaman semua orang” balas kami kepadanya.
[caption id="attachment_758" align="alignleft" width="300"] Tugu Peringatan Perang Kamang di Kamang Mudiak[/caption]
“Oleh karena itulah makanya banyak dari orang Kamang sekarang berkelakuan serupa bertindak, bertingkah-laku, dan berfikir tidak berdasarkan kepada adat dan syara’ lagi. Telah banyak terjadi berbagai bentuk pelanggaran serupa pelanggaran perilaku (moral, kesusilaan) hingga pelanggaran ritual adat (mengadakan orgen ketika helat pernikahan, tidak menjalankan adat sebagaimana mestinya dengan menghilangkan beberapa kebiasaan yang seharusnya dijalankan dalam kehidupan beradat) di kampung kita engku..” jelasnya sedih.
[caption id="attachment_764" align="alignright" width="300"] Gerbang Makam Pahlawan Perang Kamang di Taluak.
Foto: Zaldi Heriawan[/caption]
Kami hanya termenung mendengar perkataannya. Memanglah benar demikian, sebab telah sampai juga kepada kami perihal berbagai tindak pelanggaran adat dan syara’ yang terjadi di kampung kita. Perzinahan, perselingkuhan, dan berbagai tindakan tak terpuji lainnya. Sedangkan dalam kebiasaan adat banyak yang dihilangkan karena dianggap tidak efektif dan efisien. Sebab zaman sekarang ialah zaman sibuk jadi segala sesuatunya dipermudah. Dan ada pula yang ditambah-tambahkan seperti mengadakan orgen ketika perhelatan pernikahan. “Sebab itu merupakan pertanda kehidupan moderen” kata orang-orang pandir di Nagari Kamang.
Pernah seorang kawan kami berkata “Moderen atau tidaknya kita itu bukan dipandang dari bagaimana cara kita berpakaian, bagaimana cara kita makan, peralatan terbaru apa saja yang kita pakai, dan lain sebagainya yang hanya berupa perlambang (simbol) lahir (fisik) saja. Melainkan pada cara kita berfikir dan bertingkah laku. Kita moderen apabila semakin tinggi penghargaan kita kepada adat dan agama, kita moderen apabila semakin tinggi kecintaan kita kepada keduanya. Kita moderen apabila meniru kebiasaan orang Barat itu yang baik (positif) seperti menepati janji, tepat waktu, dan santun dalam berbicara. Cobalah tengok betapa tak tepat waktunya orang kampung kita, betapa kasarnya perilaku dan ucapan mereka..!”
[caption id="attachment_765" align="alignleft" width="300"] Kantor Wali Nagari Kamang Hilir di Ampang.
Foto: Zaldi Heriawan[/caption]
Begitula, namun tidak semua orang berpandangan demikian. Hanyalah sebagian kecil, bukan sangat kecil sekali jumlahnya orang Kamang yang berfikiran serupa itu. Pakaian sempit, gaya rambut emo serupa orang beru selesai mandi, tak ada batasan pergaulan antara anak bujang dan gadis di kampung kita. Bahkan ada orang tua yang bangga anaknya banyak yang mengunjungi ke rumah, tanda anak gadis kita cantik molek.
“Perang Kamang itu sesungguhnya perang yang dikobarkan karena tak hendak harga diri kita orang Kamang, orang Minangkabau diinjak-injak. Pajak yang tak pernah berlaku sebelumnya di Minangkabau ini hendai diberlakukan oleh orang Belanda. Padhal negeri ini punya kita, punya kaum, punya suku. Berbeda dengan orang Jawa yang tanah-tanahnya ialah milik Raja, apabila raja mereka telah dikusai maka tanah merekapun ikut dikuasai. Namun perkara yang demikian tidak berlaku di Minangkabau ini”
“Perang itu juga timbul karena menolak perubahan, perubahan yang merusak yang dapat menghancurkan kepribadian kita Orang Kamang, Orang Minang, dan Orang Islam. Perubahan yang terjadi pada masa sekarang engku..”
[caption id="attachment_759" align="alignright" width="300"] Rumah Gadang Hj. Hadjisah di Gurun.
Merupakan Kamanakan dari M.S. Dt. Rajo Pangulu, Panglima Perang Kamang[/caption]
Lanjut kawan kami lagi “Namun segala yang dihindari itu jualah yang terjadi di nagari kita. Pajak tetap diperlakukan hingga sekarang. Sebab Pemerintahan Republik ini mewarisi hukum Kolonial Belanda, hanya berganti baju saja, badannya masih itu jua. Hukum adat dan agama sudah tak terpakai, dibuang sendiri oleh anak nagari. Apabila para penghulu mengeras hendak memperlakukan, maka akan segera berhadapan dengan hukum positif negara kita. Dikata bertentangan dengan HAM. Akibatnya makin banyak orang-orang di kampung kita melakukan perbuatan yang melanggar adat dan agama. Dan kita yang hendak mempertahankan hukum adat dan agama dibuat tak berdaya. Sebab bisa dipidanakan dikarenakan menghalangi kebebasan..”
“Bukankah perang ketika itu hanya menentang belasting atau pajak saja engku?” tanya kami heran.
“Haa.. itulah, orang pandir macam engku ini hanya tahu sebatas itu perihal Perang Kamang, karena memang hanya itu saja yang disebut-sebut. Coba sekali-kali engku gunakan banak engku itu, apakah perang itu dapat terjadi kalau tidak ada kejanggalan yang melatarinya, tidak ada semangat yang mendorongnya, dan kekuatan untuk melakukannya. Coba saya tanya sekarang kepada engku, apa kejanggalan atau sesuatu yang berlainan yang hendak diubah dan dipaksakan oleh pemerintah ketika itu? Apa semangat yang menjadi pendorong terjadi gerakan dari seluruh Anak Nagari Kamang untuk bergerak pergi berperang? Apa yang menjadi kekuatan untuk melakukan perang itu?”
[caption id="attachment_766" align="alignleft" width="300"] Makam Pahlawan Perang Kamang di Taluak
Foto: Zaldi Heriawan[/caption]
“Ingat engku, Perang Kamang memang terjadi hanya sebentar saja namun itu semua telah melalui berbagai macam persiapan yang cukup lama. Bukan suatu gerakan tiba-tiba (spontanitas) serupa orang mengajak pergi ke pasar saja..” jelasnya mengebu-ngebu.
Kami menjadi sakit hati dibuatnya, dikatakan pandir. Sombong sekali kawan kami yang satu ini. Namun apa hendak dikata, awak yang tak faham betul Sejarah Perang Kamang ini terpaksa diam saja, tak hendak melawan “Lalu apa pelajaran yang dapat kita ambil atau pesan dari Sejarah Perang Kamang itu engku?” tanya kami kepadanya.
“Kalau engku mau tahu, pelajarilah Sejarah Perang Kamang itu betul-betul..!” jawabnya angkuh.
Kami tersinggung “Yaa.. betul tapi apa. Maaf engku, saya tidak memiliki kecerdasan serupa engku. Kan engku sendiri tadi yang mengatai saya pandir..” jawab kami ketus.
“Haha.. tersinggung awak rupanya ya.. baiklah kalau hendak tahu juga. Cukup pelihara, pertahankan, dan tegakkan adat dan agama di kampung kita. Pelajarilah agama dan adat itu beriringan, Insya Allah akan bersua di engku bahwa adat dan agama di Minangkabau ini benar-benar jalin-menjalin, berbuhua mati. Tegakkan adat sama dengan menegakkan agama, tegakkan agama sama dengan menegakkan adat. Mari kita selamatkan Nagari Kamang dari perubahan ke arah Sekulerisme, Liberalisme, Pluralisme, individualisme, dan Zinah-isme..”
Pak, waktu masih kuliah dulu saya ada punya buku karangan A. Sutan M.Indo mengenai Parang Kamang ini. Sekarang entah dimana buku itu. Tapi yang saya ingat perlawanan Kamang terhadap Belanda, diawali oleh Kapalo Nagari Magek yang mengadu ke Bukittinggi bahwa rakyatnya di larang oleh sekelompok orang Kamang untuk membayar belasting, pajak paksaan dari Belanda..
BalasHapusHehehe..Karena saya agak shock dengan cerita itu makanya masih ingat sampai sekarang
Memanglah demikian yang sampai kepada kita encik. Namun ada yang terlupakan oleh encik bahwa Kepala Nagari Magek ketika itu bukanlah "Orang Magek" melainkan seorang Keturunan Jawa, "AGUS WARIDO" namanya. Kalau kami tak silap, ibundanya Minang sedangkan ayahnya Jawa. Ayahnya ialah keturunan atau salah satu dari Pasukan Sentot Ali Basya yang membantu Belanda dalam melawan Tuanku Imam Bonjol di masa Perang Paderi.
BalasHapusDan jangan pula encik lupakan bahwa Datuak Parpatiah yang berasal dari Nagari Magek ikut berperan dalam Perang Kamang. Beliau syahid setelah menyerang dan berhasil membunuh beberapa orang pasukan Belanda. Sampai peringatan Perang Kamang tahun yang lalu, masih rutin dilakukan ziarah selepas upacara ke pekuburan beliau di Magek. Entahlah pada peringatan yang berlangsung tepat sepekan yang lewat.