[caption id="attachment_775" align="alignright" width="300"] Maafkan kami engku dan encik, ilustrasi gambar tak ada hubungan dengan tulisan.[/caption]
Apa yang terfikirkan oleh engku dan encik apabila mendengar kata itu?
Biarlah kami terka saja, pastinya ialah cakak banyak, batinju, dan sejenisnya. Bukankah begitu engku dan encik sekalian?
Sama agaknya dengan kami dahulu tatkala mula-mula mendengar perkataan ini. Kami dapati perkataan ini dari salah seorang inyiak kami. Masa itu kami sedang bertanya perihal peri kehidupan orang dahulu. Maka tersebutlah oleh beliau kata “barantam” tersebut.
Makna dari “barantam” sama kiranya dengan mampasamokan atau sama-sama memperoleh sesuatu. Makna kata barantam bagi masyarakat Kamang pada masa dahulu ialah suatu perkara atau adat kebiasaan yang dilakukan sebelum memasuki Bulan Puasa dan Hari Raya.
Barantam ialah membantai beberapa ekor bantiang yang kira-kira dapat memenuhi kebutuhan orang sekampung. Bahkan kalau berlebih dapat dibawa oleh kaum lelaki ke rumah anak-isterinya.
"Namun biasanya.." kata inyiak kami "Hanya satu ekor saja, sebab pada masa dahulu, bantiang ini termasuk bintang yang mahal harganya. Lagipula buyuang, orang kampung pada masa dahulu belumlah sebanyak sekarang ini jumlahnya. Kalau sekarang sudah sasak kampung kita ini.."
Engku dan encik sekalian, tersebutlah pada masa dahulu di kampung kita ini bahwa telah menjadi adat kebiasaan sebelum memasuki bulan puasa dan hari raya. Sekalian orang Kamang di kampung-kampung akan bermufakat untuk mengadakan barantam. Dengan dipimpin oleh Tuo Kampuang dan para alim ulama dan ninik mamak, maka didabiahlah bantiang ataupun jawi.
Serupa agaknya dengan keadaan ketika hari Raya Qurban. Namun tradisi barantam ini bukanlah bagian daripada ibadah. Jangan pula engku dan encik sampai silap dengan mengatakan bahwa telah berperilaku bid’ah pula ninik-ninik kita pada masa dahulu..
Barantam ini biasanya diadakan oleh orang sehari sebelum bulan puasa, yakni ketika Balimau.
Tradisi Barantam ini merupakan wujud dari kehalusan budi pekerti kita orang Kamang. Dengan mengadakan tradisi ini terlihat betapa rasa pengorbanan kepada sesama muslim diperlihatkan, sebab tidak semua orang sanggup menyumbang untuk membantai bantiang. Dalam pengerjaanpun dilakukan secara bersama-sama (gotong royong) sehingga tali silaturahim akan selalu tetap terjaga.
Daging pemberian barantam inipun sangat membantu meringankan kebutuhan dapur bagi beberapa keluarga. Sebab tak semua orang hidup berkecukupan.
Telah berpuluh-puluh tahun yang lalu tradisi barantam ini tiada. Kami tak tahu entah apa sebabnya, semoga tulisan singkat ini dapat mengingatkan kita semua..
Apa yang terfikirkan oleh engku dan encik apabila mendengar kata itu?
Biarlah kami terka saja, pastinya ialah cakak banyak, batinju, dan sejenisnya. Bukankah begitu engku dan encik sekalian?
Sama agaknya dengan kami dahulu tatkala mula-mula mendengar perkataan ini. Kami dapati perkataan ini dari salah seorang inyiak kami. Masa itu kami sedang bertanya perihal peri kehidupan orang dahulu. Maka tersebutlah oleh beliau kata “barantam” tersebut.
Makna dari “barantam” sama kiranya dengan mampasamokan atau sama-sama memperoleh sesuatu. Makna kata barantam bagi masyarakat Kamang pada masa dahulu ialah suatu perkara atau adat kebiasaan yang dilakukan sebelum memasuki Bulan Puasa dan Hari Raya.
Barantam ialah membantai beberapa ekor bantiang yang kira-kira dapat memenuhi kebutuhan orang sekampung. Bahkan kalau berlebih dapat dibawa oleh kaum lelaki ke rumah anak-isterinya.
"Namun biasanya.." kata inyiak kami "Hanya satu ekor saja, sebab pada masa dahulu, bantiang ini termasuk bintang yang mahal harganya. Lagipula buyuang, orang kampung pada masa dahulu belumlah sebanyak sekarang ini jumlahnya. Kalau sekarang sudah sasak kampung kita ini.."
Engku dan encik sekalian, tersebutlah pada masa dahulu di kampung kita ini bahwa telah menjadi adat kebiasaan sebelum memasuki bulan puasa dan hari raya. Sekalian orang Kamang di kampung-kampung akan bermufakat untuk mengadakan barantam. Dengan dipimpin oleh Tuo Kampuang dan para alim ulama dan ninik mamak, maka didabiahlah bantiang ataupun jawi.
Serupa agaknya dengan keadaan ketika hari Raya Qurban. Namun tradisi barantam ini bukanlah bagian daripada ibadah. Jangan pula engku dan encik sampai silap dengan mengatakan bahwa telah berperilaku bid’ah pula ninik-ninik kita pada masa dahulu..
Barantam ini biasanya diadakan oleh orang sehari sebelum bulan puasa, yakni ketika Balimau.
Tradisi Barantam ini merupakan wujud dari kehalusan budi pekerti kita orang Kamang. Dengan mengadakan tradisi ini terlihat betapa rasa pengorbanan kepada sesama muslim diperlihatkan, sebab tidak semua orang sanggup menyumbang untuk membantai bantiang. Dalam pengerjaanpun dilakukan secara bersama-sama (gotong royong) sehingga tali silaturahim akan selalu tetap terjaga.
Daging pemberian barantam inipun sangat membantu meringankan kebutuhan dapur bagi beberapa keluarga. Sebab tak semua orang hidup berkecukupan.
Telah berpuluh-puluh tahun yang lalu tradisi barantam ini tiada. Kami tak tahu entah apa sebabnya, semoga tulisan singkat ini dapat mengingatkan kita semua..
Komentar
Posting Komentar