[caption id="attachment_803" align="alignright" width="300"] Masjid Wustha di Ampang.
Foto: Zaldi Heriawan[/caption]
Kami terkenang akan cerita semasa kami di kampuang dahulu. Kata beberapa orang tua-tua di salah satu kampung “Dahulu, semua orang di Sidang Tangah menunaikan shalat lima waktu dan shalat tarawih pada bulan puasa ialah di Surau Ampang..”
Kami tanya “Kenapa serupa itu engku, belum adakah surau-surau (mushalla) itu di kampung-kampung dahulunya..”
Si engkupun menjawab “Tentulah ada, namun surau-surau tersebut hanya sebagai tempat mengaji dan tempat tidur bagi anak bujang dan prang lelaki yang tidak beristeri serta orang tua. Sedangkan untuk shalat lima waktu, ramai orang berjalan dari enam jorong itu ke Ampang..”
“Lalu kenapa keadaan serupa ini mulai berubah engku..?” tanya kami penasaran.
“Semenjak tahun 1980-an itu buyuang, semenjak itulah surau-surau kampung mulai dipakai orang untuk shalat..” jawab si engku
Kamipun faham “O.. semenjak nagari kita ini dipecah kepada beberapa desa yang engku..”
“Benar sekali buyuang, sakali aia gadang-sakali tapian barubah..” jawan engku tersebut dengan pandangan sayu.
Kata orang tua-tua lagi bahwa di surau tersebut sangat ramai orang berjualan pada malam hari. Terutama menjual kacang goreng. Segala jenis jualan pastilah laku dan habis terjual disana. Namun keadaan pada masa sekarang telah berubah, kami tak begitu tahu benar apakah Surau Ampang masihlah seramai dahulu ketika Shalat Tarawih.
Dan pada malam harinya akan tampak pemandangan menakjubkan yang tidak tampak lagi pada masa sekarang. Ramai orang berjalan beriringan dari tiap kampung dengan membawa colok[1] dan pusuang.[2] Duhai engku dan encik sekalian, alangkah indahnya dan betapa cantiknya ketika itu. Sayang, kita pada masa sekarang tidak lagi dapat menengoknya..
Foto: Zaldi Heriawan[/caption]
Kami terkenang akan cerita semasa kami di kampuang dahulu. Kata beberapa orang tua-tua di salah satu kampung “Dahulu, semua orang di Sidang Tangah menunaikan shalat lima waktu dan shalat tarawih pada bulan puasa ialah di Surau Ampang..”
Kami tanya “Kenapa serupa itu engku, belum adakah surau-surau (mushalla) itu di kampung-kampung dahulunya..”
Si engkupun menjawab “Tentulah ada, namun surau-surau tersebut hanya sebagai tempat mengaji dan tempat tidur bagi anak bujang dan prang lelaki yang tidak beristeri serta orang tua. Sedangkan untuk shalat lima waktu, ramai orang berjalan dari enam jorong itu ke Ampang..”
“Lalu kenapa keadaan serupa ini mulai berubah engku..?” tanya kami penasaran.
“Semenjak tahun 1980-an itu buyuang, semenjak itulah surau-surau kampung mulai dipakai orang untuk shalat..” jawab si engku
Kamipun faham “O.. semenjak nagari kita ini dipecah kepada beberapa desa yang engku..”
“Benar sekali buyuang, sakali aia gadang-sakali tapian barubah..” jawan engku tersebut dengan pandangan sayu.
Kata orang tua-tua lagi bahwa di surau tersebut sangat ramai orang berjualan pada malam hari. Terutama menjual kacang goreng. Segala jenis jualan pastilah laku dan habis terjual disana. Namun keadaan pada masa sekarang telah berubah, kami tak begitu tahu benar apakah Surau Ampang masihlah seramai dahulu ketika Shalat Tarawih.
Dan pada malam harinya akan tampak pemandangan menakjubkan yang tidak tampak lagi pada masa sekarang. Ramai orang berjalan beriringan dari tiap kampung dengan membawa colok[1] dan pusuang.[2] Duhai engku dan encik sekalian, alangkah indahnya dan betapa cantiknya ketika itu. Sayang, kita pada masa sekarang tidak lagi dapat menengoknya..
Komentar
Posting Komentar