[caption id="attachment_797" align="alignright" width="300"] Pasawahan di Gurpis jo Koto Kaciak.
Maaf gambar tdk ada hubungan dg tulisan.[/caption]
Beberapa masa yang lalu kami mendapatkan sebuah cerita dari kawan kami di kampung kita. Sebuah cerita yang mendatangkan keinsyafan bagi kami betapa pemahaman adat di kampung kita oleh anak nagari semakin berkurang. Kisah yang disampaikannya ini, kami mintakan kepadanya untuk dituliskannya pada sebuah email, agar dapat kami muat di blog kita ini. Begini kisahnya,..
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Kepada engku di rantau orang yang kami rindukan. Semoga rahmat, hidayah, dan berkah dari Allah Ta’ala selalu bersama engku juga hendaknya.
Bagaimana kiranya kabar keadaan engku di negeri rantau? Adakah baik? Do’a kami selalu bersama engku dan keluarga. Semoga dilancarkan segala urusan oleh Allah Ta’ala, amin ya Rabbal’alamin.
Mengulang dari percakapan kita tempo hari, pada surat kami ini akan kami ceritakan suatu pengalaman yang kami dapati tatkala di kampung kita. Dua pekan terakhir bulan Juni ini merupakan pekan liburan panjang bagi anak sekolah. Lazimnya liburan panjang, maka banyak acara diadakan seperti Katam Kaji dan Sunat Rasua.
Adalah kami yang ketika itu sedang membantu urang gaek membenahi rumah. Tatkala sedang asyik bekerja bersama ayahanda maka datanglah orang, mereka rupanya datang untuk maimbau karena anak dunsanaknya berkatam kaji.
Yang lelaki mendatangi ayahanda kami sedangkan yang perempuan menanyakan ibunda kami. Kami panggilkanlah ibunda kami ke dalam rumah. Kemudian kami kembali bekerja manokok-nokok. Yang lelaki mendatangi ayahdan kami, manyolo (menawarkan) rokok agak sebatang. Ayahnda kami babaso dengan mengatakan tidak sedang merokok. Lalu disampaikanlah hajat mereka kepada ayahanda bahwa “anak si anu akan berkatam kaji hari itu, cepat sajalah bapak datang ke rumah..”
“Insya Allah..” jawab ayahanda kami.
Begitu juga dengan ibunda kami yang ketika itu sedang dikawani oleh adik perempuan kami. Ditawari siriah nan sehelai, namun ibunda kamipun babaso. Lalu disampaikanlah hajat mereka kepada ibunda kami, sama agaknya dengan yang lelaki.
Selepas itu mereka bercakap-cakap agak sebentar dengan ayahanda dan ibunda kami. Dan kemudianpun mereka pamit hendak pergi ke rumah yang lain.
Selepas kepergian mereka, kamipun bertanya kepada ibunda “Ibu, bukankah sebenarnya dalam maimbau urang itu semua orang harus disolo. Serupa bersua dengan orang yang hendak diimbau di lapau maka seluruh orang lelaki yang ada disolo. Walaupun diantara mereka tidak ada dalam daftar orang yang akan kita imbau. Sebab orang-orangpun faham juga bahwa itu hanya sekedar baso-basi dan tidak memiliki hubungan dengan keluarga yang sedang berhajat. Begitu juga dengan yang perempuan. Apalagi kita ini di rumah, bukankah sudah sepantasnya seluruh orang yang tampak di rumah juga disolo? Sebab kitapun arif, kalau baralek, kalau sudah ada satu keluarga yang pergi maka yang lain tak wajib lagi untuk memenuhi undangan tersebut..”
“Benar tuan, serupa kata pepatah kita nan elok diimbauan, nan buruak dianggauan..” tambah adik perempuan kami.
Kamipun teringat dan menambahkan “Dan juga, tadi saya tengok yang lelaki memang telah memakai celana dasar, baju kemeja, dan kopiah. Tapi ada yang kurang, dia tidak membawa kain sarung. Kain sarung bugis bagi lelaki yang sudah menikah dan kain sarung jawa bagi yang belum menikah..”
Dengan senyum dikulum, ibunda kamipun menjawab “Memang demikian sebenarnya adat di nagari kita. Namun apalah daya kita, sebab orang sekarang banyak yang tak tahu dan tak hendak mau tahu. Adat telah banyak ditinggalkan orang, diubah dan ditukar. Hanya pemanis dalam hidup saja bagi mereka. Yang terburuk dari itu semua ialah tidak ada orang tua yang tahu dan dapat mengajari orang-orang sekarang perkara adat ini. Hilang sudah adat dari kampung kita ini..”
Ayahanda kamipun menambah “Hal ini hendaknya menjadi keinsyafan bagi kita. Kalian pelajari dan amalkanlah segala adat yang ada di nagari kita ini. Pertahankanlah segala yang ada, bertanyalah kepada yang tahu, dan sapalah pabila ada yang silap..”
Begitulah engku kejadian yang mengganjal di hati kami. Kepada siapa kami hendak memprotes, kalau bercakap ke sumbarang orang, nanti mambaliak pula kepada kami. Bagaimana kira-kira menurut pendapat engku di rantau orang sana?
Sekian dari kami, semoga apa yang kami alami dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Kepada engkulah kami tumpukan semuanya pada masa sekarang. Sebab suara kami orang kampung ini takkan di dengar. Lain perkaranya kalau orang rantau yang bercakap, pasti akan di dengar. Sebab di mata orang kampung, orang rantau itu pastilah orang hebat, orang berkuasa, orang kaya, dan berpendidikan.
Maafkan kami karena telah manggaduah pemikiran engku dengan kisah kami ini. Semoga yang baik jugalah untuk kampung kita hendaknya.
Salam Ta’zim dari Kamang Darussalam
Begitulah engku dan encik sekalian. Tentunya isi surat ini sudah kami edit, kurangi, dan tambahi agak sedikit. Apakah engku dan encik juga mengalami perkara yang serupa?
Semoga menjadi bahan pemikiran bagi kita bersama hendaknya..
Maaf gambar tdk ada hubungan dg tulisan.[/caption]
Beberapa masa yang lalu kami mendapatkan sebuah cerita dari kawan kami di kampung kita. Sebuah cerita yang mendatangkan keinsyafan bagi kami betapa pemahaman adat di kampung kita oleh anak nagari semakin berkurang. Kisah yang disampaikannya ini, kami mintakan kepadanya untuk dituliskannya pada sebuah email, agar dapat kami muat di blog kita ini. Begini kisahnya,..
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Kepada engku di rantau orang yang kami rindukan. Semoga rahmat, hidayah, dan berkah dari Allah Ta’ala selalu bersama engku juga hendaknya.
Bagaimana kiranya kabar keadaan engku di negeri rantau? Adakah baik? Do’a kami selalu bersama engku dan keluarga. Semoga dilancarkan segala urusan oleh Allah Ta’ala, amin ya Rabbal’alamin.
Mengulang dari percakapan kita tempo hari, pada surat kami ini akan kami ceritakan suatu pengalaman yang kami dapati tatkala di kampung kita. Dua pekan terakhir bulan Juni ini merupakan pekan liburan panjang bagi anak sekolah. Lazimnya liburan panjang, maka banyak acara diadakan seperti Katam Kaji dan Sunat Rasua.
Adalah kami yang ketika itu sedang membantu urang gaek membenahi rumah. Tatkala sedang asyik bekerja bersama ayahanda maka datanglah orang, mereka rupanya datang untuk maimbau karena anak dunsanaknya berkatam kaji.
Yang lelaki mendatangi ayahanda kami sedangkan yang perempuan menanyakan ibunda kami. Kami panggilkanlah ibunda kami ke dalam rumah. Kemudian kami kembali bekerja manokok-nokok. Yang lelaki mendatangi ayahdan kami, manyolo (menawarkan) rokok agak sebatang. Ayahnda kami babaso dengan mengatakan tidak sedang merokok. Lalu disampaikanlah hajat mereka kepada ayahanda bahwa “anak si anu akan berkatam kaji hari itu, cepat sajalah bapak datang ke rumah..”
“Insya Allah..” jawab ayahanda kami.
Begitu juga dengan ibunda kami yang ketika itu sedang dikawani oleh adik perempuan kami. Ditawari siriah nan sehelai, namun ibunda kamipun babaso. Lalu disampaikanlah hajat mereka kepada ibunda kami, sama agaknya dengan yang lelaki.
Selepas itu mereka bercakap-cakap agak sebentar dengan ayahanda dan ibunda kami. Dan kemudianpun mereka pamit hendak pergi ke rumah yang lain.
Selepas kepergian mereka, kamipun bertanya kepada ibunda “Ibu, bukankah sebenarnya dalam maimbau urang itu semua orang harus disolo. Serupa bersua dengan orang yang hendak diimbau di lapau maka seluruh orang lelaki yang ada disolo. Walaupun diantara mereka tidak ada dalam daftar orang yang akan kita imbau. Sebab orang-orangpun faham juga bahwa itu hanya sekedar baso-basi dan tidak memiliki hubungan dengan keluarga yang sedang berhajat. Begitu juga dengan yang perempuan. Apalagi kita ini di rumah, bukankah sudah sepantasnya seluruh orang yang tampak di rumah juga disolo? Sebab kitapun arif, kalau baralek, kalau sudah ada satu keluarga yang pergi maka yang lain tak wajib lagi untuk memenuhi undangan tersebut..”
“Benar tuan, serupa kata pepatah kita nan elok diimbauan, nan buruak dianggauan..” tambah adik perempuan kami.
Kamipun teringat dan menambahkan “Dan juga, tadi saya tengok yang lelaki memang telah memakai celana dasar, baju kemeja, dan kopiah. Tapi ada yang kurang, dia tidak membawa kain sarung. Kain sarung bugis bagi lelaki yang sudah menikah dan kain sarung jawa bagi yang belum menikah..”
Dengan senyum dikulum, ibunda kamipun menjawab “Memang demikian sebenarnya adat di nagari kita. Namun apalah daya kita, sebab orang sekarang banyak yang tak tahu dan tak hendak mau tahu. Adat telah banyak ditinggalkan orang, diubah dan ditukar. Hanya pemanis dalam hidup saja bagi mereka. Yang terburuk dari itu semua ialah tidak ada orang tua yang tahu dan dapat mengajari orang-orang sekarang perkara adat ini. Hilang sudah adat dari kampung kita ini..”
Ayahanda kamipun menambah “Hal ini hendaknya menjadi keinsyafan bagi kita. Kalian pelajari dan amalkanlah segala adat yang ada di nagari kita ini. Pertahankanlah segala yang ada, bertanyalah kepada yang tahu, dan sapalah pabila ada yang silap..”
Begitulah engku kejadian yang mengganjal di hati kami. Kepada siapa kami hendak memprotes, kalau bercakap ke sumbarang orang, nanti mambaliak pula kepada kami. Bagaimana kira-kira menurut pendapat engku di rantau orang sana?
Sekian dari kami, semoga apa yang kami alami dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Kepada engkulah kami tumpukan semuanya pada masa sekarang. Sebab suara kami orang kampung ini takkan di dengar. Lain perkaranya kalau orang rantau yang bercakap, pasti akan di dengar. Sebab di mata orang kampung, orang rantau itu pastilah orang hebat, orang berkuasa, orang kaya, dan berpendidikan.
Maafkan kami karena telah manggaduah pemikiran engku dengan kisah kami ini. Semoga yang baik jugalah untuk kampung kita hendaknya.
Salam Ta’zim dari Kamang Darussalam
Begitulah engku dan encik sekalian. Tentunya isi surat ini sudah kami edit, kurangi, dan tambahi agak sedikit. Apakah engku dan encik juga mengalami perkara yang serupa?
Semoga menjadi bahan pemikiran bagi kita bersama hendaknya..
Kebenaran itu dari Yg sedikit... Lanjutkan Angku.. Dari follower @rantau
BalasHapusTerimakasih atas dukungannya engku..
BalasHapus