[caption id="attachment_890" align="alignleft" width="300"] Jamban atau bahasa kerennya "Toilet".
Setahu kami, orang awak tak ikhlas menyebutnya dengan sebutan Toilet ataupun WC, paling hebat ialah Kakus. Aneh nian..[/caption]
Beberapa masa yang lalu tatkala kami sedang berjalan-jalan ke kedai, kami bersua dengan sekelompok anak kulihan. Awalnya kami tidak begitu memperhatikan, namun kami menjadi tertarik tatkala mendengar mereka bercakap-cakap. Percakapan mereka biasa, namun bahasa yang mereka gunakan yang “luar biasa”.
Bahasa Gaul, itulah yang digemari (trend) dikalangan remaja bujang dan gadis di republik ini. Merupakan perlambang (simbol) dari kemajuan, modernitas, dan “keangkuhan”. Mereka akan merasa sangat “keren” sekali jika dapat berhasa gaul tersebut. Propaganda oleh media, terutama televisi telah menyerang habis-habisan kebudayaan daerah. Bahasa Ibu mulai mereka tinggalkan. Ataupun tidak berbahasa gaul-pun mereka akan menggunakan Bahasa Indonesia. Padahal kalaulah mereka mau mempelajari sejarah, tentulah mereka akan tahu bahwa bahasa yang kita sebut dengan Bahasa Indonesia sekarang, tidak pernah ada. Melainkan Bahasa Melayu dengan dialek Indonesia atau Jawa yang ada.
Bahasa Gaul yang mereka pakai sangat kental dengan dialek daerah mereka. Sungguh sangat janggal dan lawak (menggelikan) tatkala mendengar mereka bercakap. Sebab, Mereka tidak pas menggunakannya (Bahasa gaul) karena dialek daerah mereka masih terasa. Apalagi tidak semua kosa kata Bahasa Gaul berhasil mereka kuasai sehingga sesekali terselip kosakata dari bahasa daerah mereka.
Kami hanya menyeringai mengulum senyum, beberapa orang yang mendengarkannya melihat mereka dengan pandangan aneh “Bahasa apakah gerangan yang mereka gunakan?” mungkin begitu arti dari pandangan orang-orang tersebut.
Terkenang kami akan kejadian serupa yang kami alami tatkala masih di kampung dahulu. Anak-anak gadih yang bersua oleh kami, bercakap-cakap di tengah kampung dengan kawan mereka sama besar menggunakan Bahasa Gaul ataupun Bahasa Indonesia. Banyak orang lalu awalnya memandang heran namun hanya sebentar karena selepas itu mereka berlalu tak menghiraukan lagi “Anak siapa pula ini, tak pandaikah mereka bercakap bahasa awak..?”
Begitu juga tatkala kami berjalan-jalan di kampung kita, bersua oleh kami seorang kanak-kanak bercakap dengan ibundanya dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Padahal sehari-hari mereka tinggal di kampung. Tatkala kami tanyakan, maka dijawab oleh sang ibunda “Supaya jangan rendah diri (minder) dia nanti kalau dunsanaknya yang di rantau pulang. Sebab mereka semua yang di rantaukan menggunakan Bahasa Indonesia dalam bercakap-cakap..”
“Bah.. kalau begitu, tak usah saja orang-orang rantau ini pulang…!!!” seru kami dalam hati.
Begitulah cara masyarakat kita memaknai kemajuan, sampai disanalah pemahaman, pengetahuan, dan pola fikir mereka. Memang benarlah kata para mubalig ketika mengaji di surau-surau “Pernikahan itu hendaknya dibangun dari dua pondasi utama yakni Agama dan Ilmu..”
Itulah akibatnya jika anak tidak didik dengan baik oleh orang tua dan mamaknya. Sudah patut menikah maka dinikahkan saja, serupa saja dengan mengawinkan kambing, padahal secara bathin memanglah mereka telah siap dan membutuhkan. Namun secara intelektual mereka belum. Cobalah tengok, seperti apakah orang tua sekarang membesarkan anak-anaknya..
Bukankah nabi kita dahulu semasa kanak-kanak dikirim oleh ibundanya kepada salah satu keluarga Suku Badui[1]. Tujuannya ialah agar nanti pabila telah dewasa maka anaknya akan fasih bercakap Bahasa Ibu/Bahasa Asli mereka.
Pada liburan hari raya ini akan banyak orang rantau pulang. Pulang berkacak pinggang dan menegakkan kepala. Membawa gaya dan kebudayaan rantau yang sangat bertolak-belakang dengan budaya asli kita orang Minangkabau di Nagari Kamang ini. Ada laki-laki yang “bercelana ayam”[2] berjalan keluar rumah sambil memakai baju ketat guna memperlihatkan besarnya otot-otot mereka. Ada perempuan yang memakai celana dan baju segala sempit dengan rambut tergerai. Ada pula yang rambutnya diberi pewarna. Bahkan di beberapa daerah di Minangkabau ini ada yang telah berani memakai “Celana Lonte” dimana pahanya yang putih mulus tersebut diperlihatkan ke orang kampung “Onde Mandeh..”
Katakan engku dan encik sekalian, apakah itu yang namanya kemajuan..?
Ditantang bercakap Bahasa Inggris saja mereka tak pandai..
Akan dibawa kemanakah kampung kita ini. Bersenang hati sajakah engku dan encik melihat perkara serupa ini berlaku di kampung kita?
Kepada dunsanak-dunsanak di rantau, tolonglah dijaga juga kampung kita ini hendaknya. kalau mau rusak, rusak sajalah sendiri, jangan kampung kita pula yang dibawa rusak. Bukan moderen itu namanya, akan tetapi pandir dan bengak itu namanya.
Kemajuan ialah perubahan cara berfikir, berperilaku, dan kebiasaan. Dimana perubahan itu menuju kerah yang lebih baik. Dimanakah arah yang lebih baik itu?
Yakni sesuai dengan tuntunan Agama (Syari’at) dan Adat kita..
Setahu kami, orang awak tak ikhlas menyebutnya dengan sebutan Toilet ataupun WC, paling hebat ialah Kakus. Aneh nian..[/caption]
Beberapa masa yang lalu tatkala kami sedang berjalan-jalan ke kedai, kami bersua dengan sekelompok anak kulihan. Awalnya kami tidak begitu memperhatikan, namun kami menjadi tertarik tatkala mendengar mereka bercakap-cakap. Percakapan mereka biasa, namun bahasa yang mereka gunakan yang “luar biasa”.
Bahasa Gaul, itulah yang digemari (trend) dikalangan remaja bujang dan gadis di republik ini. Merupakan perlambang (simbol) dari kemajuan, modernitas, dan “keangkuhan”. Mereka akan merasa sangat “keren” sekali jika dapat berhasa gaul tersebut. Propaganda oleh media, terutama televisi telah menyerang habis-habisan kebudayaan daerah. Bahasa Ibu mulai mereka tinggalkan. Ataupun tidak berbahasa gaul-pun mereka akan menggunakan Bahasa Indonesia. Padahal kalaulah mereka mau mempelajari sejarah, tentulah mereka akan tahu bahwa bahasa yang kita sebut dengan Bahasa Indonesia sekarang, tidak pernah ada. Melainkan Bahasa Melayu dengan dialek Indonesia atau Jawa yang ada.
Bahasa Gaul yang mereka pakai sangat kental dengan dialek daerah mereka. Sungguh sangat janggal dan lawak (menggelikan) tatkala mendengar mereka bercakap. Sebab, Mereka tidak pas menggunakannya (Bahasa gaul) karena dialek daerah mereka masih terasa. Apalagi tidak semua kosa kata Bahasa Gaul berhasil mereka kuasai sehingga sesekali terselip kosakata dari bahasa daerah mereka.
Kami hanya menyeringai mengulum senyum, beberapa orang yang mendengarkannya melihat mereka dengan pandangan aneh “Bahasa apakah gerangan yang mereka gunakan?” mungkin begitu arti dari pandangan orang-orang tersebut.
Terkenang kami akan kejadian serupa yang kami alami tatkala masih di kampung dahulu. Anak-anak gadih yang bersua oleh kami, bercakap-cakap di tengah kampung dengan kawan mereka sama besar menggunakan Bahasa Gaul ataupun Bahasa Indonesia. Banyak orang lalu awalnya memandang heran namun hanya sebentar karena selepas itu mereka berlalu tak menghiraukan lagi “Anak siapa pula ini, tak pandaikah mereka bercakap bahasa awak..?”
Begitu juga tatkala kami berjalan-jalan di kampung kita, bersua oleh kami seorang kanak-kanak bercakap dengan ibundanya dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Padahal sehari-hari mereka tinggal di kampung. Tatkala kami tanyakan, maka dijawab oleh sang ibunda “Supaya jangan rendah diri (minder) dia nanti kalau dunsanaknya yang di rantau pulang. Sebab mereka semua yang di rantaukan menggunakan Bahasa Indonesia dalam bercakap-cakap..”
“Bah.. kalau begitu, tak usah saja orang-orang rantau ini pulang…!!!” seru kami dalam hati.
Begitulah cara masyarakat kita memaknai kemajuan, sampai disanalah pemahaman, pengetahuan, dan pola fikir mereka. Memang benarlah kata para mubalig ketika mengaji di surau-surau “Pernikahan itu hendaknya dibangun dari dua pondasi utama yakni Agama dan Ilmu..”
Itulah akibatnya jika anak tidak didik dengan baik oleh orang tua dan mamaknya. Sudah patut menikah maka dinikahkan saja, serupa saja dengan mengawinkan kambing, padahal secara bathin memanglah mereka telah siap dan membutuhkan. Namun secara intelektual mereka belum. Cobalah tengok, seperti apakah orang tua sekarang membesarkan anak-anaknya..
Bukankah nabi kita dahulu semasa kanak-kanak dikirim oleh ibundanya kepada salah satu keluarga Suku Badui[1]. Tujuannya ialah agar nanti pabila telah dewasa maka anaknya akan fasih bercakap Bahasa Ibu/Bahasa Asli mereka.
Pada liburan hari raya ini akan banyak orang rantau pulang. Pulang berkacak pinggang dan menegakkan kepala. Membawa gaya dan kebudayaan rantau yang sangat bertolak-belakang dengan budaya asli kita orang Minangkabau di Nagari Kamang ini. Ada laki-laki yang “bercelana ayam”[2] berjalan keluar rumah sambil memakai baju ketat guna memperlihatkan besarnya otot-otot mereka. Ada perempuan yang memakai celana dan baju segala sempit dengan rambut tergerai. Ada pula yang rambutnya diberi pewarna. Bahkan di beberapa daerah di Minangkabau ini ada yang telah berani memakai “Celana Lonte” dimana pahanya yang putih mulus tersebut diperlihatkan ke orang kampung “Onde Mandeh..”
Katakan engku dan encik sekalian, apakah itu yang namanya kemajuan..?
Ditantang bercakap Bahasa Inggris saja mereka tak pandai..
Akan dibawa kemanakah kampung kita ini. Bersenang hati sajakah engku dan encik melihat perkara serupa ini berlaku di kampung kita?
Kepada dunsanak-dunsanak di rantau, tolonglah dijaga juga kampung kita ini hendaknya. kalau mau rusak, rusak sajalah sendiri, jangan kampung kita pula yang dibawa rusak. Bukan moderen itu namanya, akan tetapi pandir dan bengak itu namanya.
Kemajuan ialah perubahan cara berfikir, berperilaku, dan kebiasaan. Dimana perubahan itu menuju kerah yang lebih baik. Dimanakah arah yang lebih baik itu?
Yakni sesuai dengan tuntunan Agama (Syari’at) dan Adat kita..
urg kampuang wak lah acok juo bahaso indonesia noh, di sakola guru maajaan jo bahaso indonesia mah, caliak lah di fb banyak juo nan buek status bahaso indonesia,.....
BalasHapuskalo urg rantau pulang ndak salalu mambaok pangaruh nan cando itu doh, di kampung ndak paralu mancontoh k urg rantau pun alah barubah surang mah...
caliak lah anak gadih kini ko, kalo ndak sampik baju jo sarawa ndak bapakai doh,
semasa kami sekolahpun, guru-guru menggunakan Bahasa Indonesia dalam menyampaikan pelajara. Namun hal tersebut tidak membuat kami selalu memakai Bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Sedangkan status FB bukan memakai Bahasa Indonesia melainkan Bahasa Gaul. Coba tengok tulisan ini http://soeloehmelajoe.wordpress.com/2012/05/22/bahasa-indonesia/
BalasHapusMemang benar kalau tidak semua orang rantau serupa itu, dan hal tersebut juga kami akui dalam tulisan kami di atas. Silahkan engku baca sekali lagi. Namun jangan coba-coba berdusta, kami tahu serupa apa saja kerja orang di rantau itu. Adat dan Syara' sudah ditanggalkan, tentunya tidak semua perantau tersebut. Semuanya tergantung bekal dari keluarga. Silahkan baca tulisan ini http://nagarikamang.wordpress.com/2013/08/04/salah-asuhan-bagian3/
Betul sekali engku, kalau tak sampik tak dipakai. Itulah beban berat bagi para orang tua dan mamak, mengajari anak-kamanakan. Ingat engku "ADAT BASANDI SYARA' - SYARA' BASANDI KITABULLAH" ialah harga yang ta boleh ditawar-tawar lagi. Adat dan Syara' berbuhul mati. Kalau ingin hidup LIBERAL DAN SEKULER lebih baik di rantau saja, tak usah pulang kampung.
Terimakasih engku atas komennya, kami senang sekali. Sudah di kampungkah engku ini?