[caption id="attachment_935" align="alignright" width="300"] Masjid di tengah hijaunya Alam.
Teragak Awak Dibuatnya[/caption]
Minal Aidin Walfaidzin, Maafkan Lahir dan Bathin, engku dan encik sekalian. Selamat merayakan Idul Fitri di Awal Syawal tahun 1434 H ini, bagaimana kiranya perasaan engku dan encik sekalian? Adakah senang dan bahagia?
Ah.. jangan pula dijawab “Senang tuanku, telah dapat pula kita makan tengah hari sekarang ini haa….!”
Itu jawapan kanak-kanak kiranya engku dan encik sekalian.
Di kampung kita pada setiap hari raya, kita shalat di masjid kampung dan semenjak beberapa tahun yang lalu beberapa mushalla di kampung kita telah pula menyelenggarakan Shalat ‘Ied. Beragam alasan mereka, namun kami sebutkan saja salah satu alasan yang menurut kami paling bijak yakni bahwa surau-surau pada masa sekarang telah ramai sangat sehingga sering kali jama’ah tidak mendapat tempat untuk shalat.
Engku dan encik sekalian, ada satu hal yang menjadi pertanyaan yang selama ini selalu kami simpan di dalam hati saja. yaitu “Tidak pernahkah orang kampung kita Shalat Hari Raya di lapangan..?”
Sebab selama ini, tidak pernah terdengar oleh kami ada orang kampung kita yang menyelenggarakan Shalat Hari Raya di Lapangan. Kalaupun ada yang hendak mencoba shalat di lapangan maka sebagian orang kampung kita yang memiliki keinginan tersebut akan pergi ke Lapangan Kantin di Pasa (Bukittinggi).
Baiklah engku dan encik sekalian, lalu bagaimana pula adat di kampung kita dalam menyelenggarakan ataupun menyemarakkan Hari Raya Idul Fitri ini?
Pertama-tama, tentulah yang patut-patut terlebih dahulu yang kita ziarahi untuk bersilaturahmi. Seperti ke rumah bako, rumah mintuo, rumah dunsanak kontan seperti rumah etek ataupun rumah saudara ayah yang lain. Jika pergi bersilaturahmi, telah dijelaskan dalam adat kita bahwa hendaknya membawa pambaoan (buah tangan). Tentunya yang membawa ini ialah kaum perempuan, sebab kalau berhari raya kita pergi dengan isteri ataupun kalau belum punya, bawalah dunsanak perempuan kita.
Yang dibawa oleh orang pada masa sekarang ialah kue gadang. Itulah yang lazim pada masa sekarang, sebab tidak begitu susah mendapatkan dan membawanya. Kue tersebut diletakkan di dalam pinggan gadang dann kemudian dibungkus dengan kain bungkusan. Pada masa sekarang kain bungkusan tersebut beragam rupa bentuknya.
Sedangkan pada masa dahulu, pera perempuan akan membawa sipuluk sapinggan, kalamai sapinggan, pinyaram 12 buah, limpiang bugih 12 buah, kue sapik 12 buah, kue loyang 12 buah, dan godok 12 buah. Kesemuanya itu diletakaan di pinggan gadang dan dibungkus dengan kain bungkusan yang pada masa dahulunya terbuat dari kain ganiah putiah.
Begitulah sejauh pengetahuan kami engku dan encik sekalian. Sangatlah sibuk orang kampung kita pada masa dahulu. Pergi menziarahi karib kerabat dan sanak-keluarga, setiba di rumah maka kita akan disuguhi kue rayo dan kemudian makan-minum di sana. Akan sangat malulah saudara kita apabila kita menolak untuk makan, akan cacat nama mereka di tengah kampung. Malu tak terkira sebab anak datang tak dijamu.
Oleh karena itu engku dan encik sekalian, pergunakanlah hari raya ini untuk ber hari raya. Bukan untuk pergi berpesiar ke berbagai tempat pelancongan di daerah kita. Ini bukanlah masa liburan, melainkan masa memperpanjang silaturahim, mempererat persaudaraan, saling menjenguk. Janganlah hendaknya ditiru juga kebiasaan orang-orang yang tak baik itu. Mereka tak bermamak, tak berbako, tak berkarib-kerabat, maka dari itu mereka lebih memilih untuk menghabiskan hari di tempat pelancongan.
Selamat berhari-raya engku dan encik sekalian..
Teragak Awak Dibuatnya[/caption]
Minal Aidin Walfaidzin, Maafkan Lahir dan Bathin, engku dan encik sekalian. Selamat merayakan Idul Fitri di Awal Syawal tahun 1434 H ini, bagaimana kiranya perasaan engku dan encik sekalian? Adakah senang dan bahagia?
Ah.. jangan pula dijawab “Senang tuanku, telah dapat pula kita makan tengah hari sekarang ini haa….!”
Itu jawapan kanak-kanak kiranya engku dan encik sekalian.
Di kampung kita pada setiap hari raya, kita shalat di masjid kampung dan semenjak beberapa tahun yang lalu beberapa mushalla di kampung kita telah pula menyelenggarakan Shalat ‘Ied. Beragam alasan mereka, namun kami sebutkan saja salah satu alasan yang menurut kami paling bijak yakni bahwa surau-surau pada masa sekarang telah ramai sangat sehingga sering kali jama’ah tidak mendapat tempat untuk shalat.
Engku dan encik sekalian, ada satu hal yang menjadi pertanyaan yang selama ini selalu kami simpan di dalam hati saja. yaitu “Tidak pernahkah orang kampung kita Shalat Hari Raya di lapangan..?”
Sebab selama ini, tidak pernah terdengar oleh kami ada orang kampung kita yang menyelenggarakan Shalat Hari Raya di Lapangan. Kalaupun ada yang hendak mencoba shalat di lapangan maka sebagian orang kampung kita yang memiliki keinginan tersebut akan pergi ke Lapangan Kantin di Pasa (Bukittinggi).
Baiklah engku dan encik sekalian, lalu bagaimana pula adat di kampung kita dalam menyelenggarakan ataupun menyemarakkan Hari Raya Idul Fitri ini?
Pertama-tama, tentulah yang patut-patut terlebih dahulu yang kita ziarahi untuk bersilaturahmi. Seperti ke rumah bako, rumah mintuo, rumah dunsanak kontan seperti rumah etek ataupun rumah saudara ayah yang lain. Jika pergi bersilaturahmi, telah dijelaskan dalam adat kita bahwa hendaknya membawa pambaoan (buah tangan). Tentunya yang membawa ini ialah kaum perempuan, sebab kalau berhari raya kita pergi dengan isteri ataupun kalau belum punya, bawalah dunsanak perempuan kita.
Yang dibawa oleh orang pada masa sekarang ialah kue gadang. Itulah yang lazim pada masa sekarang, sebab tidak begitu susah mendapatkan dan membawanya. Kue tersebut diletakkan di dalam pinggan gadang dann kemudian dibungkus dengan kain bungkusan. Pada masa sekarang kain bungkusan tersebut beragam rupa bentuknya.
Sedangkan pada masa dahulu, pera perempuan akan membawa sipuluk sapinggan, kalamai sapinggan, pinyaram 12 buah, limpiang bugih 12 buah, kue sapik 12 buah, kue loyang 12 buah, dan godok 12 buah. Kesemuanya itu diletakaan di pinggan gadang dan dibungkus dengan kain bungkusan yang pada masa dahulunya terbuat dari kain ganiah putiah.
Begitulah sejauh pengetahuan kami engku dan encik sekalian. Sangatlah sibuk orang kampung kita pada masa dahulu. Pergi menziarahi karib kerabat dan sanak-keluarga, setiba di rumah maka kita akan disuguhi kue rayo dan kemudian makan-minum di sana. Akan sangat malulah saudara kita apabila kita menolak untuk makan, akan cacat nama mereka di tengah kampung. Malu tak terkira sebab anak datang tak dijamu.
Oleh karena itu engku dan encik sekalian, pergunakanlah hari raya ini untuk ber hari raya. Bukan untuk pergi berpesiar ke berbagai tempat pelancongan di daerah kita. Ini bukanlah masa liburan, melainkan masa memperpanjang silaturahim, mempererat persaudaraan, saling menjenguk. Janganlah hendaknya ditiru juga kebiasaan orang-orang yang tak baik itu. Mereka tak bermamak, tak berbako, tak berkarib-kerabat, maka dari itu mereka lebih memilih untuk menghabiskan hari di tempat pelancongan.
Selamat berhari-raya engku dan encik sekalian..
Selamat Hari Raya Idul Fitri
BalasHapusMohon Maaf Lahir dan Batin
Terimakasih, Minal Aidin Walfaidzin engku, mohon maaf lahir dan bathin..
BalasHapusTakana dek ambo sekitar tahun 1967 atau 1968. Pernah diadokan shalat hari rayo Idul Fitri di lapangan bola di Ampang. Sakali tu nyo nan masih takana dek ambo sampai kini
BalasHapusBaitu yo nyiak, urang tangah sen nan maadoan bararti tu nyiak?
BalasHapusBa a mangko dapek urang maadoan tu nyiak? sia garangan nan manggerak-an urang kampuang wak katiko tu?