[caption id="attachment_914" align="alignright" width="300"] Inyiak-inyiak kita yang Syahid dalam mempertahankan Agama dan Adat.
Tidakkah kita malu dengan mereka..!
Gambar: Maizal Chaniago[/caption]
Kami pernah mendengar Khutbah khatib ketika Shalat Jum’at, begini kira-kira “Adalah suatu kecemasan bagi pada masa sekarang dimana perkara-perkara yang janggal, ganjil, ataupun sumbang di hadapan agama dan adat menjadi biasa bagi orang-orang zaman sekarang. Serupa agaknya dengan nubuat (ramalan) yang telah diperingatkan oleh Allah Ta’ala dalam Al Qur’an bahwa ..sesungguhnya syetan akan membuat mereka memandang baik perkara buruk mereka dan memandang buruk perkara baik..”
Awalnya kami merasa heran dan tak faham dengan maksud dari khatib tersebut. Namun sekarang barulah kami insyaf akan hal tersebut. Berawal dari perkara “jilbab dalam, baju gamis, celana senteng, janggut, tak hendak bersalaman dengan yang bukan muhrim” dan lain sebagainya. Hampir semua orang di Kamang-kampung kita tercinta memandang aneh, janggal, bahkan mengambil sikap benci (anti) terhadap perkara-perkara yang demikian. Padahal sudah nyata dalam ajaran agama kita perintahnya..
Begitu juga dalam perkara adat, berorgen ketika helat pernikahan, memakai pakaian sempit bagi yang perempuan, bercelana tagajai serta baju senteng (junkies) bagi anak bujang, ada juga yang lelaki dan perempuan berboncengan di atas onda serupa orang bapaguk (berpelukan) telah menjadi perkara yang biasa di kampung kita. Apabila dilarang maka mereka akan melawan, dikata fanatik, aliran sesat, dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu, berbagai perkara yang lazim di kampung kita pada masa dahulu menjadi tidak lazim pada masa sekarang. Pergi ke pakan ataupun baralek hendaknya dengan pakaian yang sopan seperti baju kurung bagi perempuan beserta tingkuluak kalau tak hendak memakai jilbab. Celana dasar dan baju kemeja serta membawa kain sarung bagi lelaki apabila hendak berangkat berhelat ataupun menjenguk kematian. Semuanya hampir ditinggalkan oleh orang Kamang.
Dalam hal berbahasa, bahasa kita yakni Bahasa Minangkabau dengan Dialek Kamang[1] telah hampir punah. Digantikan dengan bahasa Minangkabau dialek kebanyakan serupa “cako” ditukar dengan “tadi”, “sirah” menjadi “merah”, “:tatungkuk atau tajilapak” ditukar hanya dengan kata “tajatuah” walau sama namun keadaannya berbeda. Serta lain sebagainya..
Yang terparah ialah bagi anak bujang dan gadis pada masa sekarang, “loe” dan “gue” merajalela dalam perbendaharaan kosa-kata mereka. Kata “ang” sebagai kata ganti kepada lelaki mengalami perluasan makna yakni juga dipakai oleh kaum perempuan kepada sesamanya. Dahulu sempat dilarang dan dimarahi oleh yang tua-tua namun tak dihiraukan sehingga kepada masa sekarang telah menjadi biasa. Tidak hanya anak gadis, sebagian induak-induak[2] yang telah berusia 30-an dan 40-an juga ikut menggunakan kata tersebut.
[caption id="attachment_915" align="alignleft" width="300"] suluh bendang dalam nagari.
Namun wibawa datuk mulai memudar dikarenakan diri datuk itu sendiri.
Gambar: Maizal Chaniago[/caption]
Masih banyak lagi kalau hendak kita buatkan daftarnya, salah satu yang paling mencolok ialah tidak dipakainya kato nan ampek oleh anak-anak muda masa sekarang. Datar saja oleh mereka nagari ini, sanayan (senin) saja bagi mereka hari ini. Baju sampik semakin merajalela di kampung kita, dan tidak tertutup kemungkinan bagi celana pendek sempit (celana lonte) yang memperlihatkan paha juga akan segera merajalela di kampung kita. Pernah terlihat oleh kami seroang anak gadis membawa motor dengan pakain tersebut di kampung kita.
Siapa yang hendak kita salahkan?
Tak lain dan tak bukan ialah kita jua para orang tua, mamak, dan inyiak. Anak, kamanakan, dan cucu tak diajari. Sehingga mereka tak tahu mana yang salah dan mana yang benar, dibiarkan saja kelakuan mereka yang serupa itu. Pengajaran agama dan adat tak diberi, cobalah kita tengok di kampung kita, tanyakanlah kepada orang-orang di kampung-karena engku dan encik pada Hari Raya ini pulang kampung-ada berapa surau yang masih berjalan kegiatan mengajinya di kampung kita?
Janganlah kita bersembunyi terus dibalik kata globalisasi dan perubahan. Kami tak hendak menentang perubahan, akan tetapi perubahan itu hendaknya kita saring, yang mana yang bersesuaian kita ambil, mana yang tidak kita tinggalkan. Lagi pula engku dan encik, perubahan itu siapakah kiranya yang menentukan? Tahukah engku dan encik sekalian?
Berkenankah kiranya apabila kami beri petunjuk?
Penyebabnya ialah satu benda ajaib yang hampir dimiliki oleh setiap rumah di kampung kita di Kamang. Benda yang setiap harinya menjadi perhatian, menjadi sumber hiburan, informasi, dan katanya “pendidikan”.
Benda jahanam yang telah mencuci otak kita Orang Kamang, Orang Minang, dan Orang Islam. Benda yang dianggap sebagai “produk dari kemajuan”. Benda yang lebih banyak mendatangkan petaka dari pada kebaikan. Benda itulah yang telah meracuni fikiran setiap orang di negeri ini. Yang Janggal dan Sumbang menjadi Lazim dan Patut, yang Haram menjadi Halal, yang Buruk menjadi Baik. Na’uzubillah..
Hal ini diperparah lagi dengan pola fikir (mentalitas) bahwa orang kota ataupun orang rantau merupakan orang yang telah maju dan moderen hidupnya. Berarti mereka mesti ditiru. Maka apabila mereka melihat orang rantau pulang kampung (terutama pada Hari Raya ini), mereka akan memperhatikan seperti apa Orang Moderen itu. Dan tentunya akan mereka tiru, sebab yang demikian itulah moderen dan kemajuan..
Katakan sekali lagi engku dan encik, salah siapakah ini?
Salah kita, kenapa anak dan kamanakan tidak diajari, kenapa mereka tidak diberi bekal Ilmu Agama dan Adat yang cukup untuk menghadapi derasnya hantaman westernisasi, kenapa kita begitu bangga tatkala mendengar mereka diterima kuliah di universitas-universitas ternama (apakah itu dalam Sumatera Barat apalagi di luar propinsi serupa di Pulau Jawa). Padahal bekal Ilmu Agama dan Adat hampir tak ada pada diri mereka..
Kenapa? Kenapa kita begitu bangga dan menaruh pengharapan yang besar bahwa hidup mereka akan jauh lebih baik keadaannya dibandingkan kita yang berada di kampung? Pada hal, di luar sana batas antara Halal dan Haram hampir tidak jelas, kata orang sekarang “relativ, tergantung sudut pandang (perspektif)..”
“hargailah perbedaan itu,..” lanjut mereka lagi
[1] Sebenarnya dialek Bahasa Minangkabau dengan Dialek kamang juga dipakai oleh penduduk pada beberapa nagari di Minangkabau. Jadi taklah patut kiranya jika kita klaimi sebagai Dialek Kamang. Perkara budaya memanglah sepatutnya tidak boleh saling mengklaim karena kita berada dalam satu rumpun, apalagi dalam satu budaya yang sama yakni Budaya Minangkabau.
Dialek yang kita maksudkan ialah seperti sen, -uh, -uk dan lain sebagainya. Akhiran tersebut juga dipakai di nagari lain walaupun dengan pelafadzan yang agak berbeda. Seperti Orang Baso yang memakai akhiran yang sama namun lebih terasa –uh dan –uk nya. Sedangkan bagi kita Orang Kamang hanya melafadzannya dengan cara halus saja.
Tidakkah kita malu dengan mereka..!
Gambar: Maizal Chaniago[/caption]
Kami pernah mendengar Khutbah khatib ketika Shalat Jum’at, begini kira-kira “Adalah suatu kecemasan bagi pada masa sekarang dimana perkara-perkara yang janggal, ganjil, ataupun sumbang di hadapan agama dan adat menjadi biasa bagi orang-orang zaman sekarang. Serupa agaknya dengan nubuat (ramalan) yang telah diperingatkan oleh Allah Ta’ala dalam Al Qur’an bahwa ..sesungguhnya syetan akan membuat mereka memandang baik perkara buruk mereka dan memandang buruk perkara baik..”
Awalnya kami merasa heran dan tak faham dengan maksud dari khatib tersebut. Namun sekarang barulah kami insyaf akan hal tersebut. Berawal dari perkara “jilbab dalam, baju gamis, celana senteng, janggut, tak hendak bersalaman dengan yang bukan muhrim” dan lain sebagainya. Hampir semua orang di Kamang-kampung kita tercinta memandang aneh, janggal, bahkan mengambil sikap benci (anti) terhadap perkara-perkara yang demikian. Padahal sudah nyata dalam ajaran agama kita perintahnya..
Begitu juga dalam perkara adat, berorgen ketika helat pernikahan, memakai pakaian sempit bagi yang perempuan, bercelana tagajai serta baju senteng (junkies) bagi anak bujang, ada juga yang lelaki dan perempuan berboncengan di atas onda serupa orang bapaguk (berpelukan) telah menjadi perkara yang biasa di kampung kita. Apabila dilarang maka mereka akan melawan, dikata fanatik, aliran sesat, dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu, berbagai perkara yang lazim di kampung kita pada masa dahulu menjadi tidak lazim pada masa sekarang. Pergi ke pakan ataupun baralek hendaknya dengan pakaian yang sopan seperti baju kurung bagi perempuan beserta tingkuluak kalau tak hendak memakai jilbab. Celana dasar dan baju kemeja serta membawa kain sarung bagi lelaki apabila hendak berangkat berhelat ataupun menjenguk kematian. Semuanya hampir ditinggalkan oleh orang Kamang.
Dalam hal berbahasa, bahasa kita yakni Bahasa Minangkabau dengan Dialek Kamang[1] telah hampir punah. Digantikan dengan bahasa Minangkabau dialek kebanyakan serupa “cako” ditukar dengan “tadi”, “sirah” menjadi “merah”, “:tatungkuk atau tajilapak” ditukar hanya dengan kata “tajatuah” walau sama namun keadaannya berbeda. Serta lain sebagainya..
Yang terparah ialah bagi anak bujang dan gadis pada masa sekarang, “loe” dan “gue” merajalela dalam perbendaharaan kosa-kata mereka. Kata “ang” sebagai kata ganti kepada lelaki mengalami perluasan makna yakni juga dipakai oleh kaum perempuan kepada sesamanya. Dahulu sempat dilarang dan dimarahi oleh yang tua-tua namun tak dihiraukan sehingga kepada masa sekarang telah menjadi biasa. Tidak hanya anak gadis, sebagian induak-induak[2] yang telah berusia 30-an dan 40-an juga ikut menggunakan kata tersebut.
[caption id="attachment_915" align="alignleft" width="300"] suluh bendang dalam nagari.
Namun wibawa datuk mulai memudar dikarenakan diri datuk itu sendiri.
Gambar: Maizal Chaniago[/caption]
Masih banyak lagi kalau hendak kita buatkan daftarnya, salah satu yang paling mencolok ialah tidak dipakainya kato nan ampek oleh anak-anak muda masa sekarang. Datar saja oleh mereka nagari ini, sanayan (senin) saja bagi mereka hari ini. Baju sampik semakin merajalela di kampung kita, dan tidak tertutup kemungkinan bagi celana pendek sempit (celana lonte) yang memperlihatkan paha juga akan segera merajalela di kampung kita. Pernah terlihat oleh kami seroang anak gadis membawa motor dengan pakain tersebut di kampung kita.
Siapa yang hendak kita salahkan?
Tak lain dan tak bukan ialah kita jua para orang tua, mamak, dan inyiak. Anak, kamanakan, dan cucu tak diajari. Sehingga mereka tak tahu mana yang salah dan mana yang benar, dibiarkan saja kelakuan mereka yang serupa itu. Pengajaran agama dan adat tak diberi, cobalah kita tengok di kampung kita, tanyakanlah kepada orang-orang di kampung-karena engku dan encik pada Hari Raya ini pulang kampung-ada berapa surau yang masih berjalan kegiatan mengajinya di kampung kita?
Janganlah kita bersembunyi terus dibalik kata globalisasi dan perubahan. Kami tak hendak menentang perubahan, akan tetapi perubahan itu hendaknya kita saring, yang mana yang bersesuaian kita ambil, mana yang tidak kita tinggalkan. Lagi pula engku dan encik, perubahan itu siapakah kiranya yang menentukan? Tahukah engku dan encik sekalian?
Berkenankah kiranya apabila kami beri petunjuk?
Penyebabnya ialah satu benda ajaib yang hampir dimiliki oleh setiap rumah di kampung kita di Kamang. Benda yang setiap harinya menjadi perhatian, menjadi sumber hiburan, informasi, dan katanya “pendidikan”.
Benda jahanam yang telah mencuci otak kita Orang Kamang, Orang Minang, dan Orang Islam. Benda yang dianggap sebagai “produk dari kemajuan”. Benda yang lebih banyak mendatangkan petaka dari pada kebaikan. Benda itulah yang telah meracuni fikiran setiap orang di negeri ini. Yang Janggal dan Sumbang menjadi Lazim dan Patut, yang Haram menjadi Halal, yang Buruk menjadi Baik. Na’uzubillah..
Hal ini diperparah lagi dengan pola fikir (mentalitas) bahwa orang kota ataupun orang rantau merupakan orang yang telah maju dan moderen hidupnya. Berarti mereka mesti ditiru. Maka apabila mereka melihat orang rantau pulang kampung (terutama pada Hari Raya ini), mereka akan memperhatikan seperti apa Orang Moderen itu. Dan tentunya akan mereka tiru, sebab yang demikian itulah moderen dan kemajuan..
Katakan sekali lagi engku dan encik, salah siapakah ini?
Salah kita, kenapa anak dan kamanakan tidak diajari, kenapa mereka tidak diberi bekal Ilmu Agama dan Adat yang cukup untuk menghadapi derasnya hantaman westernisasi, kenapa kita begitu bangga tatkala mendengar mereka diterima kuliah di universitas-universitas ternama (apakah itu dalam Sumatera Barat apalagi di luar propinsi serupa di Pulau Jawa). Padahal bekal Ilmu Agama dan Adat hampir tak ada pada diri mereka..
Kenapa? Kenapa kita begitu bangga dan menaruh pengharapan yang besar bahwa hidup mereka akan jauh lebih baik keadaannya dibandingkan kita yang berada di kampung? Pada hal, di luar sana batas antara Halal dan Haram hampir tidak jelas, kata orang sekarang “relativ, tergantung sudut pandang (perspektif)..”
“hargailah perbedaan itu,..” lanjut mereka lagi
[1] Sebenarnya dialek Bahasa Minangkabau dengan Dialek kamang juga dipakai oleh penduduk pada beberapa nagari di Minangkabau. Jadi taklah patut kiranya jika kita klaimi sebagai Dialek Kamang. Perkara budaya memanglah sepatutnya tidak boleh saling mengklaim karena kita berada dalam satu rumpun, apalagi dalam satu budaya yang sama yakni Budaya Minangkabau.
Dialek yang kita maksudkan ialah seperti sen, -uh, -uk dan lain sebagainya. Akhiran tersebut juga dipakai di nagari lain walaupun dengan pelafadzan yang agak berbeda. Seperti Orang Baso yang memakai akhiran yang sama namun lebih terasa –uh dan –uk nya. Sedangkan bagi kita Orang Kamang hanya melafadzannya dengan cara halus saja.
Komentar
Posting Komentar