[caption id="attachment_953" align="alignleft" width="300"] Salah satu sudut Simpang Pintu Koto[/caption]
Dahulu sekali di tahun 1990-an pernah sangat digemari sekali oleh kampung kita suatu jenis hiburan yang akan selalu digelar pada peringatan 17 Agustus ataupun hari-hari besar lainnya. Suatu jenis hiburan yang hingga masa sekarang di beberapa daerah masih tetap disemarakkan orang. Suatu jenis hiburan yang sangat bertentangan dengan Adat dan Syara’ kita karena memang bukan berasal dari kebudayaan. Bak kata orang intelek “Suatu jenis hiburan yang lahir dari perzinahan kebudayaan Barat yang hedonis dengan sisa-sisa kebudayaan pangan[1] di daerah..”
Engku dan encik yang hidup dimasa tahun 1990-an tentulah ingat dengan jenis hiburan yang satu ini. Karena kami yakin pastilah ikut menikmatinya, tenang saja engku dan encik sekalian kami juga menikmatinya dahulu. Beramai-ramai bersama kawan-kawan menonton orang baben, tertawa riang, karena memang pada masa itulah kita dapat keluar malam bersama kawan-kawan. Bagi orang tua yang siak dan tahu dengan adat, mereka akan melarang anaknya pergi. Ada juga yang mencoba melarikan diri dari pengawasan orang tua yang keras tersebut.
Ya.. engku dan encik sekalian, ba-ben yang sebenarnya berasal dari kata Bahasa Inggris, band. Oleh orang awak diberi awalan ba-. Itulah nama acara yang memiliki nama resmi “Malam Hiburan”. Diadakan oleh para pemuda atau tepatnya persatuan pemuda di kampung kita.
Pada masa itu, minuman memabukkan telah menjadi santapan biasa bagi sebagian pemuda kampung. Mereka beranggapan sangat gagah, keren, dan moderen sekali dengan mengosumsi minuman laknat tersebut.
Semenjak awal hingga akhir semuanya ditangani oleh para pemuda, setidaknya keterampilan pemuda di kampung kita patut diberi acungan jempol. Kenapa engku dan encik sekalian?
Sebab, tata panggung semenjak dari awal pembuatan hingga akhir dikerjakan oleh para pemuda dengan bergotong-royong. Bambu diminta ke Perak Betung milik orang kampung, sebab seluruh panggung terbuat dari bambu kecuali lantainya. Berbagai hiasan dibuat dengan menggunakan kertas semen, kertas keresek, tali taien (tali rafia), dan lain sebagainya. Sangat hebat sekali pemuda dan pemudi kampung kita saat itu duhai engku dan encik sekalian.
Kemudian pada hari “H”nya, akan disewa (atau bahkan sekadar dipinjam saja dengan dalih demi kepentingan kampung) satu mobil pick up. Mobil ini akan dipakai untuk mepromosikan acara malam hiburan yang akan diadakan nanti malam. Biasanya akan ramai anak-anak (apakah kanak-kanak ataupun remaja belia) ikut dan duduk di belakang. Beramai-ramai mereka akan turut bersorak-sorak. Bersuka-ria hati mereka, maklumlah kanak-kanak belum berakal. Lagipula pada masa itu di kampung kita, naik mobil adalah suatu perkara yang langka. Mobil hanya milik orang kaya saja. Mobil yang paling sering dinaiki oleh orang kampung kita pada masa itu ialah oto tambang[2].
Bagaimana cara mempromosikannya duhai engku dan encik sekalian? Yakni dengan menggunakan mikrofon, speakernya diletakkan di atas atap mobil. Terbayangkah oleh engku dan encik keadaannya?
“DATANGILAH BERSAMA-SAMA, MALAM HIBURAN YANG AKAN DIADAKAN DI JORONG ANU DESA[3] ANTUN NAGARI ANTAH-BARANTAH. DALAM RANGKA MEMERIAHKAN HARI KEMERDEKAAN KITA, TUJUH BELAS AGUSTUS. DIMERIAHKAN OLEH GRUP BAND ANTAHLAH DENGAN ARTIS-ARTIS DARI KOTA ANTU-BALAU..”
[caption id="attachment_954" align="alignright" width="300"] Simpang Ladang Darek[/caption]
Malamnya selepas magrib orang telah mulai berdatangan, acara mahiruak itu sendiri baru mulai selepas Isya. Untuk masuk ke dalam lokasi “maksiat” ini akan dikenakan biaya pula yakni dengan membayar tiket masuk. Terkadang terjadi lobi-lobi diantara pengunjung dengan para panitia, minta supaya mereka digratiskan saja sebab “awak kan saling kenal, bukankah begitu Uda Jibun..” sapa salah seorang pengunjung dengan air muka amat ramahnya serta suara lembut mendayu-dayu.
Terkadang dikabulkan dan terkadang tidak. Hal ini sangat bergantung sekali kepada keadaan pada masa itu serta posisi dari orang yang dimintakan “kemurahan hatinya” dalam organisasi pemuda di kampungnya tersebut.
Yang datang untuk menikmati malam mahiruak ini bukan hanya anak bujang yang masih panas darahnya. Melainkan juga anak gadis-gadis, orang paruh baya, bahkan beberapa orang tua yang telah lanjut usia juga ikut datang. Kemudian ada juga orang tua yang membawa anak-anak mereka yang menjadikan acara ini semacam tempat pelesiran-pelancongan.
Beberapa kampung memiliki kelompok pemuda tukang joged. Yang terkenal di kampung kita ialah kelompok pemuda yang menamakan diri mereka “Hindustan” dari Batu Baraguang. Kenapa mereka sampai menamakan diri mereka dengan Kelompok Pemuda Hindustan atau Hindustani?
Konon kabarnya karena kebanyakan dari mereka sangat suka dan gemar sekali dengan Filem India beserta musik, lagunya, dan tariannya. Mereka juga suka dengan artis-artis India dan lihai dalam berjoged. Kalaulah diadakan lomba Joged Dangdut Se Kecamatan Perwakilan Tilatang Kamang pada masa dahulu, niscaya mereka akan memenangkan piala. Namun sayangnya, hingga Kecamatan Perwakilan naik pangkat menjadi Kecamatan Penuh, perlombaan yang kami maksudkan tidak pernah terwujud.
Kelompok Pemuda Hindustani selalu tampil dalam setiap acara band dengan kemampuan joged mereka yang telah masyhur. Salah satu ajang untuk menaikkan gengsi pemuda sekaligus unjuk gigi (untung bukan unjuk geraham) ialah pada saat acara lelang singgang ayam. Acara lelang ini biasanya berlangsung pada saat mendekati tengah malam. Setelah para biduanita memuaskan hajat orang banyak akan suara mereka yang syahdu, body mereka yang aduhai, dan pakaian mereka yang alamak jang..!!!
Kata orang kampung “Pakaian mereka serupa kain basahan yang dipakai oleh orang untuk mandi..”
“Dari manakah engku tahu akan hal ini, berarti engku pernah mencigap[4] perempuan mandi ya..?” tanya seorang kanak-kanak kurang ajar.
“Kalera wa-ang, pai main kien..!!!”* bentak si engku..
Bagi pemenang lelang akan mendapat hadiah yakni dapat meminta salah seorang biduanita untuk bernyanyi mengiringi mereka berjoged. Bersama-sama satu kelompok akan berjoged di atas pentas. Terkadang bagi mereka yang nakal (kurang ajar) akan sengaja menyerempet kepada biduanita yang aduhai wajahnya, molek bentuk tubuhnya, dan alamak pakaiannya.
Sebelum lelang, selepas beberapa lagu dilantunkan oleh para biduanita maka diadakanlah joged bersama di atas pentas. Bagi sesiapa yang ingin berjoged di atas pentas harus membeli karcis terlebih dahulu kepada panitia. Mereka hanya dapat berjoged pada satu lagu saja. Selepas itu baru diadakan acara lelang.
Acara mahiruak atau malam hiburan tersebut akan usai pada pukul satu pagi atau paling keras ialah pada pukul tiga. Syukur-syukur hari hujan sehingga acara dapat berlangsung lebih cepat. Sungguh sangat kasihan nasib para penduduk karena tidur malam mereka terganggu karena acara pemuda ini. Belum lagi halaman pekarangan rumah mereka dijadikan sebagai tempat berkumpul (nongkrong) bagi sekelompok pemuda. Selain itu juga dijadikan sebagai tempat minum-minum (tuak/alkohol) dan tempat terkencing. Apakah itu di pekarangan rumah, bunga atau tumbuhan yang cukup tinggi yang tumbuh di halaman, hingga ke dinding rumah penduduk. Sungguh jahanam perilaku anak muda ini, darah muda nan panas ditambah dengan kurangnya pengajaran dari yang tua-tua membuat akhlak mereka menjadi tak terkawal.
Selain minum-minuman keras (tuak), juga terkadang ada ganja, hingga perkelahian antar pemuda. Mereka menganggap diri mereka bagak dan patut menggadang pada malam hari itu..
Syukur di kampung kita Malam Hiburan telah hilang, sebab di beberapa daerah lainnya keadaannya justeru bertambah buruk. Kami tengok di beberapa vidio yang diunguh di youtube, keadaannya justeru lebih berani, pakainnya bertambah minim, goyangannya bertambah luknat, serta para lelaki jahanam tak segan-segan menjamah/menyentuh hingga memegang para biduanita. Sedangkan para biduanita tampak senang dan membiarkan tatkala badan mereka dijamah, dipagang, dielus-elus, bahkan di pangku oleh para lelaki jahanam ini di atas pentas.
Itulah sekelumit kisah, sebuah budaya yang lahir dari perzinahan Budaya Barat yang Hedonis dengan sisa-sisa kebudayaan pangan di Minangkabau ini. Alhamdulillah pada masa sekarang, hal semacam itu telah mulai hilang. Mudah-mudahan hilang permanen dari kampung kita, Amiin..
PS: Namun terkadang bagi orang kampung kita yang nakal dan keras kepala. Dimana, disaat pesta pernikahan mereka mengadakan orgen tunggal maka kejadian serupa namun tak sama akan terulang. Walau tidak separah acara ba-ben ini.
Dahulu sekali di tahun 1990-an pernah sangat digemari sekali oleh kampung kita suatu jenis hiburan yang akan selalu digelar pada peringatan 17 Agustus ataupun hari-hari besar lainnya. Suatu jenis hiburan yang hingga masa sekarang di beberapa daerah masih tetap disemarakkan orang. Suatu jenis hiburan yang sangat bertentangan dengan Adat dan Syara’ kita karena memang bukan berasal dari kebudayaan. Bak kata orang intelek “Suatu jenis hiburan yang lahir dari perzinahan kebudayaan Barat yang hedonis dengan sisa-sisa kebudayaan pangan[1] di daerah..”
Engku dan encik yang hidup dimasa tahun 1990-an tentulah ingat dengan jenis hiburan yang satu ini. Karena kami yakin pastilah ikut menikmatinya, tenang saja engku dan encik sekalian kami juga menikmatinya dahulu. Beramai-ramai bersama kawan-kawan menonton orang baben, tertawa riang, karena memang pada masa itulah kita dapat keluar malam bersama kawan-kawan. Bagi orang tua yang siak dan tahu dengan adat, mereka akan melarang anaknya pergi. Ada juga yang mencoba melarikan diri dari pengawasan orang tua yang keras tersebut.
Ya.. engku dan encik sekalian, ba-ben yang sebenarnya berasal dari kata Bahasa Inggris, band. Oleh orang awak diberi awalan ba-. Itulah nama acara yang memiliki nama resmi “Malam Hiburan”. Diadakan oleh para pemuda atau tepatnya persatuan pemuda di kampung kita.
Pada masa itu, minuman memabukkan telah menjadi santapan biasa bagi sebagian pemuda kampung. Mereka beranggapan sangat gagah, keren, dan moderen sekali dengan mengosumsi minuman laknat tersebut.
Semenjak awal hingga akhir semuanya ditangani oleh para pemuda, setidaknya keterampilan pemuda di kampung kita patut diberi acungan jempol. Kenapa engku dan encik sekalian?
Sebab, tata panggung semenjak dari awal pembuatan hingga akhir dikerjakan oleh para pemuda dengan bergotong-royong. Bambu diminta ke Perak Betung milik orang kampung, sebab seluruh panggung terbuat dari bambu kecuali lantainya. Berbagai hiasan dibuat dengan menggunakan kertas semen, kertas keresek, tali taien (tali rafia), dan lain sebagainya. Sangat hebat sekali pemuda dan pemudi kampung kita saat itu duhai engku dan encik sekalian.
Kemudian pada hari “H”nya, akan disewa (atau bahkan sekadar dipinjam saja dengan dalih demi kepentingan kampung) satu mobil pick up. Mobil ini akan dipakai untuk mepromosikan acara malam hiburan yang akan diadakan nanti malam. Biasanya akan ramai anak-anak (apakah kanak-kanak ataupun remaja belia) ikut dan duduk di belakang. Beramai-ramai mereka akan turut bersorak-sorak. Bersuka-ria hati mereka, maklumlah kanak-kanak belum berakal. Lagipula pada masa itu di kampung kita, naik mobil adalah suatu perkara yang langka. Mobil hanya milik orang kaya saja. Mobil yang paling sering dinaiki oleh orang kampung kita pada masa itu ialah oto tambang[2].
Bagaimana cara mempromosikannya duhai engku dan encik sekalian? Yakni dengan menggunakan mikrofon, speakernya diletakkan di atas atap mobil. Terbayangkah oleh engku dan encik keadaannya?
“DATANGILAH BERSAMA-SAMA, MALAM HIBURAN YANG AKAN DIADAKAN DI JORONG ANU DESA[3] ANTUN NAGARI ANTAH-BARANTAH. DALAM RANGKA MEMERIAHKAN HARI KEMERDEKAAN KITA, TUJUH BELAS AGUSTUS. DIMERIAHKAN OLEH GRUP BAND ANTAHLAH DENGAN ARTIS-ARTIS DARI KOTA ANTU-BALAU..”
[caption id="attachment_954" align="alignright" width="300"] Simpang Ladang Darek[/caption]
Malamnya selepas magrib orang telah mulai berdatangan, acara mahiruak itu sendiri baru mulai selepas Isya. Untuk masuk ke dalam lokasi “maksiat” ini akan dikenakan biaya pula yakni dengan membayar tiket masuk. Terkadang terjadi lobi-lobi diantara pengunjung dengan para panitia, minta supaya mereka digratiskan saja sebab “awak kan saling kenal, bukankah begitu Uda Jibun..” sapa salah seorang pengunjung dengan air muka amat ramahnya serta suara lembut mendayu-dayu.
Terkadang dikabulkan dan terkadang tidak. Hal ini sangat bergantung sekali kepada keadaan pada masa itu serta posisi dari orang yang dimintakan “kemurahan hatinya” dalam organisasi pemuda di kampungnya tersebut.
Yang datang untuk menikmati malam mahiruak ini bukan hanya anak bujang yang masih panas darahnya. Melainkan juga anak gadis-gadis, orang paruh baya, bahkan beberapa orang tua yang telah lanjut usia juga ikut datang. Kemudian ada juga orang tua yang membawa anak-anak mereka yang menjadikan acara ini semacam tempat pelesiran-pelancongan.
Beberapa kampung memiliki kelompok pemuda tukang joged. Yang terkenal di kampung kita ialah kelompok pemuda yang menamakan diri mereka “Hindustan” dari Batu Baraguang. Kenapa mereka sampai menamakan diri mereka dengan Kelompok Pemuda Hindustan atau Hindustani?
Konon kabarnya karena kebanyakan dari mereka sangat suka dan gemar sekali dengan Filem India beserta musik, lagunya, dan tariannya. Mereka juga suka dengan artis-artis India dan lihai dalam berjoged. Kalaulah diadakan lomba Joged Dangdut Se Kecamatan Perwakilan Tilatang Kamang pada masa dahulu, niscaya mereka akan memenangkan piala. Namun sayangnya, hingga Kecamatan Perwakilan naik pangkat menjadi Kecamatan Penuh, perlombaan yang kami maksudkan tidak pernah terwujud.
Kelompok Pemuda Hindustani selalu tampil dalam setiap acara band dengan kemampuan joged mereka yang telah masyhur. Salah satu ajang untuk menaikkan gengsi pemuda sekaligus unjuk gigi (untung bukan unjuk geraham) ialah pada saat acara lelang singgang ayam. Acara lelang ini biasanya berlangsung pada saat mendekati tengah malam. Setelah para biduanita memuaskan hajat orang banyak akan suara mereka yang syahdu, body mereka yang aduhai, dan pakaian mereka yang alamak jang..!!!
Kata orang kampung “Pakaian mereka serupa kain basahan yang dipakai oleh orang untuk mandi..”
“Dari manakah engku tahu akan hal ini, berarti engku pernah mencigap[4] perempuan mandi ya..?” tanya seorang kanak-kanak kurang ajar.
“Kalera wa-ang, pai main kien..!!!”* bentak si engku..
Bagi pemenang lelang akan mendapat hadiah yakni dapat meminta salah seorang biduanita untuk bernyanyi mengiringi mereka berjoged. Bersama-sama satu kelompok akan berjoged di atas pentas. Terkadang bagi mereka yang nakal (kurang ajar) akan sengaja menyerempet kepada biduanita yang aduhai wajahnya, molek bentuk tubuhnya, dan alamak pakaiannya.
Sebelum lelang, selepas beberapa lagu dilantunkan oleh para biduanita maka diadakanlah joged bersama di atas pentas. Bagi sesiapa yang ingin berjoged di atas pentas harus membeli karcis terlebih dahulu kepada panitia. Mereka hanya dapat berjoged pada satu lagu saja. Selepas itu baru diadakan acara lelang.
Acara mahiruak atau malam hiburan tersebut akan usai pada pukul satu pagi atau paling keras ialah pada pukul tiga. Syukur-syukur hari hujan sehingga acara dapat berlangsung lebih cepat. Sungguh sangat kasihan nasib para penduduk karena tidur malam mereka terganggu karena acara pemuda ini. Belum lagi halaman pekarangan rumah mereka dijadikan sebagai tempat berkumpul (nongkrong) bagi sekelompok pemuda. Selain itu juga dijadikan sebagai tempat minum-minum (tuak/alkohol) dan tempat terkencing. Apakah itu di pekarangan rumah, bunga atau tumbuhan yang cukup tinggi yang tumbuh di halaman, hingga ke dinding rumah penduduk. Sungguh jahanam perilaku anak muda ini, darah muda nan panas ditambah dengan kurangnya pengajaran dari yang tua-tua membuat akhlak mereka menjadi tak terkawal.
Selain minum-minuman keras (tuak), juga terkadang ada ganja, hingga perkelahian antar pemuda. Mereka menganggap diri mereka bagak dan patut menggadang pada malam hari itu..
Syukur di kampung kita Malam Hiburan telah hilang, sebab di beberapa daerah lainnya keadaannya justeru bertambah buruk. Kami tengok di beberapa vidio yang diunguh di youtube, keadaannya justeru lebih berani, pakainnya bertambah minim, goyangannya bertambah luknat, serta para lelaki jahanam tak segan-segan menjamah/menyentuh hingga memegang para biduanita. Sedangkan para biduanita tampak senang dan membiarkan tatkala badan mereka dijamah, dipagang, dielus-elus, bahkan di pangku oleh para lelaki jahanam ini di atas pentas.
Itulah sekelumit kisah, sebuah budaya yang lahir dari perzinahan Budaya Barat yang Hedonis dengan sisa-sisa kebudayaan pangan di Minangkabau ini. Alhamdulillah pada masa sekarang, hal semacam itu telah mulai hilang. Mudah-mudahan hilang permanen dari kampung kita, Amiin..
PS: Namun terkadang bagi orang kampung kita yang nakal dan keras kepala. Dimana, disaat pesta pernikahan mereka mengadakan orgen tunggal maka kejadian serupa namun tak sama akan terulang. Walau tidak separah acara ba-ben ini.
Komentar
Posting Komentar