[caption id="attachment_1297" align="alignleft" width="225"] Salah satu Batang Durian di Kamang. Kebanyakan Batang Durian di Nagari Kamang ialah tinggi-tinggi.[/caption]
Kami dengar telah lama pula bermulai musim durian di kampung kita, benarkah demikian engku dan encik sekalian? Sudahkah pula ramai orang berjualan durian di kampung kita?
Namun kami sangatlah yakin bahwa pada masa-masa awal ini tentulah belum banyak benar buah durian yang runtuh. Kalaupun sudah ada maka buah yang runtuh masihlah permulaan, pembuka jalan, atau sekedar sapaan dari batang durian dalam perak kita. Kalau tidak keras, berarti hambar, ataupun malah pahit.
Mungkin menanti masa agak beberapa pekan baru kemudian mendapat yang lamak.[1] Bolehlah kita minta kepada bunda untuk menanak sipuluk[2] sebagai kawan memakan durian.
“Hm.. sungguh nikmat sangat..” sipuluk yang masih hangat-hangat kuku dimakan dengan buah durian yang baru saja dibelah.
Namun nanti dulu engku dan encik, tidak semua orang suka buah durian. Bagi sebagian orang, bau durian itu sangatlah menyesakkan, serasa hendak muntah mereka. Tak sudi mereka memakannya, mendapat baunya saja sudah serupa orang membau kentut Mak Jimia[3] mereka itu. Hendak lari sekencang-kencangnya “Jangan sampai tersua yang serupa itu..” kata mereka.
Serupa agaknya dengan bau jariang.[4] Bagi penikmat jariang, bau dari jariang tersebut sungguhlah nikmat sangat. Namun bagi para pembencinya, sungguh busuk sangat “Tak sudi awak..” kata mereka.
Memang begitulah, kecenderungan orang berbeda-beda agaknya.
Kembali kita kepada durian, biasanya Musim Durian ini beriringan datangnya dengan Musiim Manggis. Dahulu Kamang sangat terkenal sebagai negeri penghasil manggis berkualitas, dicari oleh orang-orang hendak dijual ke Singapura, kata mereka “Digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat tuak..”
Masihkah ada juga Manggis itu berbuah di kampung kita engku dan encik sekalian?
Kami dengar telah lama pula bermulai musim durian di kampung kita, benarkah demikian engku dan encik sekalian? Sudahkah pula ramai orang berjualan durian di kampung kita?
Namun kami sangatlah yakin bahwa pada masa-masa awal ini tentulah belum banyak benar buah durian yang runtuh. Kalaupun sudah ada maka buah yang runtuh masihlah permulaan, pembuka jalan, atau sekedar sapaan dari batang durian dalam perak kita. Kalau tidak keras, berarti hambar, ataupun malah pahit.
Mungkin menanti masa agak beberapa pekan baru kemudian mendapat yang lamak.[1] Bolehlah kita minta kepada bunda untuk menanak sipuluk[2] sebagai kawan memakan durian.
“Hm.. sungguh nikmat sangat..” sipuluk yang masih hangat-hangat kuku dimakan dengan buah durian yang baru saja dibelah.
Namun nanti dulu engku dan encik, tidak semua orang suka buah durian. Bagi sebagian orang, bau durian itu sangatlah menyesakkan, serasa hendak muntah mereka. Tak sudi mereka memakannya, mendapat baunya saja sudah serupa orang membau kentut Mak Jimia[3] mereka itu. Hendak lari sekencang-kencangnya “Jangan sampai tersua yang serupa itu..” kata mereka.
Serupa agaknya dengan bau jariang.[4] Bagi penikmat jariang, bau dari jariang tersebut sungguhlah nikmat sangat. Namun bagi para pembencinya, sungguh busuk sangat “Tak sudi awak..” kata mereka.
Memang begitulah, kecenderungan orang berbeda-beda agaknya.
Kembali kita kepada durian, biasanya Musim Durian ini beriringan datangnya dengan Musiim Manggis. Dahulu Kamang sangat terkenal sebagai negeri penghasil manggis berkualitas, dicari oleh orang-orang hendak dijual ke Singapura, kata mereka “Digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat tuak..”
Masihkah ada juga Manggis itu berbuah di kampung kita engku dan encik sekalian?
Komentar
Posting Komentar