[caption id="attachment_1387" align="alignright" width="225"] Matahari nan setiap pagi terbit di balik bukit barisan di kampung kita. Kami berdo'a kepada Allah semoga sinar hidayah Allah Ta'ala akan selalu bersama kita orang Kamang, orang Minangkabau ini hendaknya. Kekal, abadi.
Amin..[/caption]
Adakah engku dan encik tahu? Adakah engku dan encik faham? Dan adakah engku dan encik menyadari akan hal ini?
Ancaman ini sangatlah serius sekali terhadap negeri kita Minangkabau. Telah banyak rupanya orang Minangkabau yang bertukar kiblat. Namun semua itu didiamkan, diabaikan, dan tak dihiraukan oleh sebagian besar dari kita. Bukan karena engku dan encik tidak peduli dengan permasalahan ini melainkan karena ketakutan akan kenyataan yang dihadapi. Banyak jenis orang yang serupa ini untuk memilih hidup dalam dunia angan-angan.
Ada pula yang tak tahu malu tatkala dikabarkan kepadanya perihal Kristenisasi "Ah.. bukan kabar baru!"
Kalau memang bukan kabar baru dan engku serta encik telah lama tahu, lalu kenapa kabar tersebut tidak dikabarkan kepada dunsakan-dunsanak kita yang lain?
Atau mungkin enggan untuk terlalu banyak memikirkannya karena menganggap beban kehidupan saat ini sudah lebih banyak dan berat untuk difikirkan. Jangankan untuk memilkirkan orang lain atau bahkan Alam Minangkabau ini, memikirkan diri sendiri saja sudah tak tanggung peningnya kepala.
Kami fahami dan kamipun mengakui. Namun hendaknya sekecil apapun itu atau sedikit apapun itu, kepedulian yang kita tunjukkan dan perhatian yang kita berikan untuk masalah ini sangatlah berarti. Karena ancaman ini sungguh sangat nyata dan selalu mengancam kita dari waktu ke waktu. Dalam setiap tarikan nafas kita, ancaman (kristenisasi) ini selalu mengancam kita, keluarga, kaum-kerabat, nagari, dan Alam Minangkabau ini.
Bagaimana dengan kita di Nagari Kamang ini? adakah tahu? Adakah sadar? Adakah faham akan besarnya ancaman yang sedang kita hadapi ini?
Kami terkenang akan masa dahulu, telah bertahun-tahun kejadiannya. Tatkala itu kami sedang tegak-tegak di hadapan sebuah kedai di kampung kita. Berasama kami terdapat juga sekelompok pemuda yang sedang bagarah-garah[1] dengan kawan-kawan seusianya. Kemudian entah bagaimana asalnya, salah seorang dari mereka berkata “Adakah terdengar oleh engku perihal kejadian yang di L**ak B*s***g?”
“Apa itu engku?” tanya yang lain
“Sekelompok orang hendak mendirikan gereja di sana?” jawab si engku
“Lalu apa yang berlaku kemudiannya?” tanya yang lain
“Tentulah marah orang disana dan akhirnya tak jadi..” jawab si engku
Lalu salah seorang dari mereka menimpali “Ah..biarkan sajalah. Kenapa pula dilarang, itukan hak mereka. Sesuka mereka saja, yang penting mereka kan tidak mengganggu kita..”
Kami tak dapat mengingat dengan baik bagaimana kelanjutan percakapan tersebut. Namun kami sangat terkejut mendengar jawapan dari Si Engku yang terakhir. Sungguh gawat sekali, sebab jawapan serupa itu tentulah berasal dari orang-orang yang sangat tipis keimanannya, tidak dalam pengetahuan agama dan adatnya, serta tidak memiliki kepedulian (sensitivitas) kepada Alam Minangkabau ini. Pertanda Si Engku ini tidak diajari dengan baik oleh kedua orang tua dan mamaknya.
Kami juga pernah mendengar kalau salah seorang orang kampung kita memiliki suami seorang kafir. Janganlah engku kejar kami dengan pertanyaan siapa dia? Dimana kampungnya? Dan lain sebagainya. Takutnya kalau salah maka kami telah jatuh ke fitnah.
Namun satu hal yang teringat oleh kami bahwa nama perempuan tersebut pada ranji kaumnya masih ada serta di bawah namanya terdapat nama anak-anaknya dengan memakai nama Latin layaknya nama-nama yang dipakai oleh orang Kristen. Kabar terakhir yang kami dapat ialah bahwa perempuan ini diketahui bahwa ia merantau di Pakan Baru dan memiliki suami seorang Batak.
Sungguh kami terpana, kalau memang benar demikian adanya.
Ada pula kabar lain yang dapat oleh kami. Bahwa ada seorang perempuan kampung kita yang merantau di salah satu kota di Jawa kalau kami tak salah nama kotanya ialah Pur*a*a**a. Bagaimana ini engku dan encik sekalian?
Engku dan encik sekalian, maafkan tanya kami ini, tapi “Sudah berapa orangkah orang Kamang yang murtad?”
Adakah engku dan encik tahu? Sudah adakah tindakan adat (sangsi) yang dijatuhkan kepada orang tersebut, keluarganya, kaumnya, datuknya, dan sukunya?
Bukankah orang seperti ini sepatutnya mendapat hukuman “BUANG” dari nagari. Keluarga dan kaumnya mendapat hukuman adat dari nagari. Begitu juga datuknya tak dibawa sehilir-semudik lagi dalam nagari. Atau malah “diruntuhkan” oleh KAN.
Jangan pula engku dan encik jawab “Yang salahkan seorang, kenapa orang sekaum dan sesuku pula yang mendapat hukum?!”
Engku dan encik sekalian, dalam tradisi masyarakat timur manapun tidak dikenal dengan “Konsep Individual”. Konsep serupa itu ialah milik masyarakat Barat. Oleh karena itulah segala macam produk Hukum Adat (tradisonal) pada masa dahulu sangat dipatuhi oleh masyarakat kita karena kesadaran dari setiap anggota masyarakat bahwa jika seorang yang berbuat maka yang lain akan ikut kena getahnya. Kendali sosial justeru sangat kuat pada masyarakat tradisional. Tidak seperti pada masyarakat moderen seperti layaknya sekarang. Oleh karena itu anak&kamanakan harus dididik dengan baik. Agar kelak jangan sampai membawa rebah melainkan akan dapat membanggakan kaum-keluarga.
Memang dari kebanyakan kasus murtadnya Orang Minangkabau, hampir sebagian besar dari mereka ialah para perantau. Hendaknya hal ini menjadi bahan pertimbangan bagi kita orang Kamang. Janganlah bersenang hati saja melepas anak-kamanakan kita pergi merantau. Tahukah kita dengan apa yang dikerjakannya di rantau orang sana duhai engku dan encik sekalian?
Sudahkah disiapkan dan cukup bekal untuk mereka dalam menempuh kehidupan yang fana ini? Telah banyak kejadian yang kami dapati, tatkala mereka pulang kampung teriba hati kita dibuatnya. Dikatakan mereka adat kita kolot, menghalang kepada kemajuan. Agama dan cara kita beragama terlalu keras dan kaku dan patut orang kampung hidup terkebelakang.
Sungguh jauh panggang dari pada api, berharap hendak mendapat madu namun sengatan yang diterima. Aduhai malangnya orang Kamang ini engku dan encik sekalian. Jauh dari Adat dan jauh pula dari Agama.
Berhati-hati pulalah kita dengan orang-orang yang mempertentangkan agama dengan adat. Dikatakan adat tak bersesuaian dengan agama, tujuan mereka ialah satu. Menjauhkan agama dari adat kita dan menjauhkan adat dari agama kita. Sehingga nantinya mereka dapat dengan mudah menyusupi adat kita dengan nilai-nilai Kekristenan. Sebab para murtadin ini selalu mengulang-ngulang pertanyaan "Apakah simbol-simbol adat itu sama dengan simbol-simbol agama??!"
Sekian dari kami duhai engku dan encik sekalian, semoga dapat menjadi bahan pemikiran bagi kita bersama..
Amin..[/caption]
Adakah engku dan encik tahu? Adakah engku dan encik faham? Dan adakah engku dan encik menyadari akan hal ini?
Ancaman ini sangatlah serius sekali terhadap negeri kita Minangkabau. Telah banyak rupanya orang Minangkabau yang bertukar kiblat. Namun semua itu didiamkan, diabaikan, dan tak dihiraukan oleh sebagian besar dari kita. Bukan karena engku dan encik tidak peduli dengan permasalahan ini melainkan karena ketakutan akan kenyataan yang dihadapi. Banyak jenis orang yang serupa ini untuk memilih hidup dalam dunia angan-angan.
Ada pula yang tak tahu malu tatkala dikabarkan kepadanya perihal Kristenisasi "Ah.. bukan kabar baru!"
Kalau memang bukan kabar baru dan engku serta encik telah lama tahu, lalu kenapa kabar tersebut tidak dikabarkan kepada dunsakan-dunsanak kita yang lain?
Atau mungkin enggan untuk terlalu banyak memikirkannya karena menganggap beban kehidupan saat ini sudah lebih banyak dan berat untuk difikirkan. Jangankan untuk memilkirkan orang lain atau bahkan Alam Minangkabau ini, memikirkan diri sendiri saja sudah tak tanggung peningnya kepala.
Kami fahami dan kamipun mengakui. Namun hendaknya sekecil apapun itu atau sedikit apapun itu, kepedulian yang kita tunjukkan dan perhatian yang kita berikan untuk masalah ini sangatlah berarti. Karena ancaman ini sungguh sangat nyata dan selalu mengancam kita dari waktu ke waktu. Dalam setiap tarikan nafas kita, ancaman (kristenisasi) ini selalu mengancam kita, keluarga, kaum-kerabat, nagari, dan Alam Minangkabau ini.
Bagaimana dengan kita di Nagari Kamang ini? adakah tahu? Adakah sadar? Adakah faham akan besarnya ancaman yang sedang kita hadapi ini?
Kami terkenang akan masa dahulu, telah bertahun-tahun kejadiannya. Tatkala itu kami sedang tegak-tegak di hadapan sebuah kedai di kampung kita. Berasama kami terdapat juga sekelompok pemuda yang sedang bagarah-garah[1] dengan kawan-kawan seusianya. Kemudian entah bagaimana asalnya, salah seorang dari mereka berkata “Adakah terdengar oleh engku perihal kejadian yang di L**ak B*s***g?”
“Apa itu engku?” tanya yang lain
“Sekelompok orang hendak mendirikan gereja di sana?” jawab si engku
“Lalu apa yang berlaku kemudiannya?” tanya yang lain
“Tentulah marah orang disana dan akhirnya tak jadi..” jawab si engku
Lalu salah seorang dari mereka menimpali “Ah..biarkan sajalah. Kenapa pula dilarang, itukan hak mereka. Sesuka mereka saja, yang penting mereka kan tidak mengganggu kita..”
Kami tak dapat mengingat dengan baik bagaimana kelanjutan percakapan tersebut. Namun kami sangat terkejut mendengar jawapan dari Si Engku yang terakhir. Sungguh gawat sekali, sebab jawapan serupa itu tentulah berasal dari orang-orang yang sangat tipis keimanannya, tidak dalam pengetahuan agama dan adatnya, serta tidak memiliki kepedulian (sensitivitas) kepada Alam Minangkabau ini. Pertanda Si Engku ini tidak diajari dengan baik oleh kedua orang tua dan mamaknya.
Kami juga pernah mendengar kalau salah seorang orang kampung kita memiliki suami seorang kafir. Janganlah engku kejar kami dengan pertanyaan siapa dia? Dimana kampungnya? Dan lain sebagainya. Takutnya kalau salah maka kami telah jatuh ke fitnah.
Namun satu hal yang teringat oleh kami bahwa nama perempuan tersebut pada ranji kaumnya masih ada serta di bawah namanya terdapat nama anak-anaknya dengan memakai nama Latin layaknya nama-nama yang dipakai oleh orang Kristen. Kabar terakhir yang kami dapat ialah bahwa perempuan ini diketahui bahwa ia merantau di Pakan Baru dan memiliki suami seorang Batak.
Sungguh kami terpana, kalau memang benar demikian adanya.
Ada pula kabar lain yang dapat oleh kami. Bahwa ada seorang perempuan kampung kita yang merantau di salah satu kota di Jawa kalau kami tak salah nama kotanya ialah Pur*a*a**a. Bagaimana ini engku dan encik sekalian?
Engku dan encik sekalian, maafkan tanya kami ini, tapi “Sudah berapa orangkah orang Kamang yang murtad?”
Adakah engku dan encik tahu? Sudah adakah tindakan adat (sangsi) yang dijatuhkan kepada orang tersebut, keluarganya, kaumnya, datuknya, dan sukunya?
Bukankah orang seperti ini sepatutnya mendapat hukuman “BUANG” dari nagari. Keluarga dan kaumnya mendapat hukuman adat dari nagari. Begitu juga datuknya tak dibawa sehilir-semudik lagi dalam nagari. Atau malah “diruntuhkan” oleh KAN.
Jangan pula engku dan encik jawab “Yang salahkan seorang, kenapa orang sekaum dan sesuku pula yang mendapat hukum?!”
Engku dan encik sekalian, dalam tradisi masyarakat timur manapun tidak dikenal dengan “Konsep Individual”. Konsep serupa itu ialah milik masyarakat Barat. Oleh karena itulah segala macam produk Hukum Adat (tradisonal) pada masa dahulu sangat dipatuhi oleh masyarakat kita karena kesadaran dari setiap anggota masyarakat bahwa jika seorang yang berbuat maka yang lain akan ikut kena getahnya. Kendali sosial justeru sangat kuat pada masyarakat tradisional. Tidak seperti pada masyarakat moderen seperti layaknya sekarang. Oleh karena itu anak&kamanakan harus dididik dengan baik. Agar kelak jangan sampai membawa rebah melainkan akan dapat membanggakan kaum-keluarga.
Memang dari kebanyakan kasus murtadnya Orang Minangkabau, hampir sebagian besar dari mereka ialah para perantau. Hendaknya hal ini menjadi bahan pertimbangan bagi kita orang Kamang. Janganlah bersenang hati saja melepas anak-kamanakan kita pergi merantau. Tahukah kita dengan apa yang dikerjakannya di rantau orang sana duhai engku dan encik sekalian?
Sudahkah disiapkan dan cukup bekal untuk mereka dalam menempuh kehidupan yang fana ini? Telah banyak kejadian yang kami dapati, tatkala mereka pulang kampung teriba hati kita dibuatnya. Dikatakan mereka adat kita kolot, menghalang kepada kemajuan. Agama dan cara kita beragama terlalu keras dan kaku dan patut orang kampung hidup terkebelakang.
Sungguh jauh panggang dari pada api, berharap hendak mendapat madu namun sengatan yang diterima. Aduhai malangnya orang Kamang ini engku dan encik sekalian. Jauh dari Adat dan jauh pula dari Agama.
Berhati-hati pulalah kita dengan orang-orang yang mempertentangkan agama dengan adat. Dikatakan adat tak bersesuaian dengan agama, tujuan mereka ialah satu. Menjauhkan agama dari adat kita dan menjauhkan adat dari agama kita. Sehingga nantinya mereka dapat dengan mudah menyusupi adat kita dengan nilai-nilai Kekristenan. Sebab para murtadin ini selalu mengulang-ngulang pertanyaan "Apakah simbol-simbol adat itu sama dengan simbol-simbol agama??!"
Sekian dari kami duhai engku dan encik sekalian, semoga dapat menjadi bahan pemikiran bagi kita bersama..
Komentar
Posting Komentar