[caption id="attachment_1439" align="alignleft" width="300"] Ibu-ibu memakai seledang apabila menghadiri acara beradat di kampung kita. Kampia tak pernah lupa di tangan.[/caption]
Semasa cuti beberapa masa yang dahulu, kami mendapat kesempatan untuk menziarahi kampung. Kepulangan kami ini bertepatan pula dengan beberapa helat (kenduri) di kampung kita. Beberapa orang terlihat oleh kami berkopiah dengan kain sarung terlipat yang dilingkarkan di leher. Atau ada juga yang menyepitkan kain sarung tersebut di onda yang dibawanya. Bagi yang perempuan memakai baju kurung sambil membawa kampia yang berisikan siriah langkok.
Ya.. engku dan encik sekalian, mereka ialah orang-orang yang bertugas maimbau urang[1], terdiri atas seorang lelaki dan seorang perempuan. Mereka bukan pasangan suami-isteri, melainkan saudara sesuku. Terkadang antara etek dengan anak atau mamak dengan kamanakan. Pada masa sekarang, mereka menggunakan onda sebagai sarana transportasi dalam menziarahi rumah masing-masing dari orang kampong yang hendak diimbau.
Menarik perhatian kami, tatakala kami mendapati salah seorang kawan kami pergi berkeliling kampung. Dari atas onda dia menyapa kami, tak sempat berhenti sejenak sekadar bertukar kabar. Kami faham, dia sedang sibuk mengejar target. Dalam sehari ini, semua orang harus sudah tuntas diimbau oleh mereka.
Tatkala hari baralek[2] tiba maka akan ramai orang-orang berjalanan di kampung kita. Yang paling menyolok ialah kaum ibu, mereka biasanya berjalan berombongan sambil beriringan. Memakai baju kurung sambil menjinjing kampia berisi beras.
Menarik hati kami untuk mengisahkan suatu kejadian yang kami dapati semasa di kampung. Tatkala hendak berangkat pergi baralek, salah seorang etek kami kena tegur oleh maktuo kami “Kenapa engkau tak memakai selendang..!?”
Dengan acuh etek kami menjawab “Taklah kak, penat awak membawanya..”
Betapa kami melihat berubah air muka maktuo kami tersebut, geram sangat agaknya beliau ini “Selendang nan sehelai itu, yang beratnya tak pula sampai setengah beberapa ons sudah penat bagi engkau untuk membawanya. Tapi itu tas berisi segala macam peralatan untuk bersolek, pelastik berisi beragam macam rupa belanjaan yang engkau beli di swalayan, tak penat bagi engkau untuk membawanya..!!”
Cercaan makto kami tersebut mendapat tanggapan dari etek kami. Beliau langsung balik kanan, masuk ke dalam rumah dan beberapa saat kemudian keluar sambil mendengkol dengan selendang melingkar di bahunya.
“Hah.. kalau serupa itu kan rancak tampaknya itu..” seru maktuo kami sambil tersenyum memuji.
Selepas kepergian mereka, nenek kami berujar “Begitulah orang sekarang, tak peduli dan tak hendak mempelajari perihal adat-resam di kampung kita. Selendang itu wajib hukumnya dibawa oleh setiap perempuan yang sudah menikah di kampung kita. Hanya perempuan yang masih gadis sajalah yang tak perlu memakai selendang. Itula pembedanya, antara perempuan yang sudah bersuami dengan yang masih gadis. Hal itu sangat diperhatikan dan menjadi perhatian bagi orang kampung kita pada masa dahulu. Sekarang saja yang sudah berubah, tak hendak mau tahu saja kebanyakan orang kampung kita ini..”
Begitulah curaian singkat dari neneknda kami di rumah gadang lapuk kami di kampong nan teramat kami rindukan. Sambil mengunyah sirih yang membuat bibir dan giginya memerah beliau memandang jauh ke jalanan kampung. Kekerasan hati neneknda kami ini terpahat jelas pada roman mukanya, kalau bukan maktuo kami yang memberi ajar kepada etek kami, tentulah neneknda kami inilah yang akan manyinyiak kepada anak perempuannya itu.
Rumah gadang kami yang sudah lapuk dan hampir roboh inipun masih ada berkat kegigihan dari neneknda kami “Ini ialah marwah keluarga, marwah kaum, marwah suku, marwah nagari, MARWAH MINANGKABAU..!!!” ujar nenenda kami pada suatu ketika tatkala beberapa mamak kami serta disokong oleh beberapa orang etek dan maktuo mengajukan usulan kepada nenek untuk merobohkan rumah gadang pusaka keluarga dan menggantikannya dengan rumah baru (rumah batu) yang lebih bagus dan permanen, namun tidak bergonjong.
Kalaulah pada masa itu usulan yang diajukan oleh mamak kami ialah memperbaiki atau menukar rumah gadang dengan bangunan rumah gadang baru, tentulah neneknda kami akan setuju. Namun sungguh sedih hati kami, rupanya Alam Fikiran para mamak, maktuo, dan etek kami tak sampai ke sana. Bagi mereka rumah batu yang tak bergonjong ialah pertanda kemoderenan. Kami sendiri menjadi heran dibuatnya, apakah yang moderen itu sebenarnya? Apa hakikat dari moderen? Tahukah engku dan encik sekalian..?
“Tengoklah di kamu di kampung kita pada masa sekarang! Rumah gadang sudah hampir habis, banyak orang yang tak berotak merobohkan rumah gadang pusaka keluarga mereka dan menukarnya dengan rumah baru yang tak ada tanda-tanda beradat sama sekali…!!” cercaan nenek kami pada suatu ketika..
Semasa cuti beberapa masa yang dahulu, kami mendapat kesempatan untuk menziarahi kampung. Kepulangan kami ini bertepatan pula dengan beberapa helat (kenduri) di kampung kita. Beberapa orang terlihat oleh kami berkopiah dengan kain sarung terlipat yang dilingkarkan di leher. Atau ada juga yang menyepitkan kain sarung tersebut di onda yang dibawanya. Bagi yang perempuan memakai baju kurung sambil membawa kampia yang berisikan siriah langkok.
Ya.. engku dan encik sekalian, mereka ialah orang-orang yang bertugas maimbau urang[1], terdiri atas seorang lelaki dan seorang perempuan. Mereka bukan pasangan suami-isteri, melainkan saudara sesuku. Terkadang antara etek dengan anak atau mamak dengan kamanakan. Pada masa sekarang, mereka menggunakan onda sebagai sarana transportasi dalam menziarahi rumah masing-masing dari orang kampong yang hendak diimbau.
Menarik perhatian kami, tatakala kami mendapati salah seorang kawan kami pergi berkeliling kampung. Dari atas onda dia menyapa kami, tak sempat berhenti sejenak sekadar bertukar kabar. Kami faham, dia sedang sibuk mengejar target. Dalam sehari ini, semua orang harus sudah tuntas diimbau oleh mereka.
Tatkala hari baralek[2] tiba maka akan ramai orang-orang berjalanan di kampung kita. Yang paling menyolok ialah kaum ibu, mereka biasanya berjalan berombongan sambil beriringan. Memakai baju kurung sambil menjinjing kampia berisi beras.
Menarik hati kami untuk mengisahkan suatu kejadian yang kami dapati semasa di kampung. Tatkala hendak berangkat pergi baralek, salah seorang etek kami kena tegur oleh maktuo kami “Kenapa engkau tak memakai selendang..!?”
Dengan acuh etek kami menjawab “Taklah kak, penat awak membawanya..”
Betapa kami melihat berubah air muka maktuo kami tersebut, geram sangat agaknya beliau ini “Selendang nan sehelai itu, yang beratnya tak pula sampai setengah beberapa ons sudah penat bagi engkau untuk membawanya. Tapi itu tas berisi segala macam peralatan untuk bersolek, pelastik berisi beragam macam rupa belanjaan yang engkau beli di swalayan, tak penat bagi engkau untuk membawanya..!!”
Cercaan makto kami tersebut mendapat tanggapan dari etek kami. Beliau langsung balik kanan, masuk ke dalam rumah dan beberapa saat kemudian keluar sambil mendengkol dengan selendang melingkar di bahunya.
“Hah.. kalau serupa itu kan rancak tampaknya itu..” seru maktuo kami sambil tersenyum memuji.
Selepas kepergian mereka, nenek kami berujar “Begitulah orang sekarang, tak peduli dan tak hendak mempelajari perihal adat-resam di kampung kita. Selendang itu wajib hukumnya dibawa oleh setiap perempuan yang sudah menikah di kampung kita. Hanya perempuan yang masih gadis sajalah yang tak perlu memakai selendang. Itula pembedanya, antara perempuan yang sudah bersuami dengan yang masih gadis. Hal itu sangat diperhatikan dan menjadi perhatian bagi orang kampung kita pada masa dahulu. Sekarang saja yang sudah berubah, tak hendak mau tahu saja kebanyakan orang kampung kita ini..”
Begitulah curaian singkat dari neneknda kami di rumah gadang lapuk kami di kampong nan teramat kami rindukan. Sambil mengunyah sirih yang membuat bibir dan giginya memerah beliau memandang jauh ke jalanan kampung. Kekerasan hati neneknda kami ini terpahat jelas pada roman mukanya, kalau bukan maktuo kami yang memberi ajar kepada etek kami, tentulah neneknda kami inilah yang akan manyinyiak kepada anak perempuannya itu.
Rumah gadang kami yang sudah lapuk dan hampir roboh inipun masih ada berkat kegigihan dari neneknda kami “Ini ialah marwah keluarga, marwah kaum, marwah suku, marwah nagari, MARWAH MINANGKABAU..!!!” ujar nenenda kami pada suatu ketika tatkala beberapa mamak kami serta disokong oleh beberapa orang etek dan maktuo mengajukan usulan kepada nenek untuk merobohkan rumah gadang pusaka keluarga dan menggantikannya dengan rumah baru (rumah batu) yang lebih bagus dan permanen, namun tidak bergonjong.
Kalaulah pada masa itu usulan yang diajukan oleh mamak kami ialah memperbaiki atau menukar rumah gadang dengan bangunan rumah gadang baru, tentulah neneknda kami akan setuju. Namun sungguh sedih hati kami, rupanya Alam Fikiran para mamak, maktuo, dan etek kami tak sampai ke sana. Bagi mereka rumah batu yang tak bergonjong ialah pertanda kemoderenan. Kami sendiri menjadi heran dibuatnya, apakah yang moderen itu sebenarnya? Apa hakikat dari moderen? Tahukah engku dan encik sekalian..?
“Tengoklah di kamu di kampung kita pada masa sekarang! Rumah gadang sudah hampir habis, banyak orang yang tak berotak merobohkan rumah gadang pusaka keluarga mereka dan menukarnya dengan rumah baru yang tak ada tanda-tanda beradat sama sekali…!!” cercaan nenek kami pada suatu ketika..
Komentar
Posting Komentar