[caption id="attachment_1451" align="alignleft" width="300"] Ilustrasi Gambar; http://politik.kompasiana.com/2014/03/25/wakil-rakyat-atau-wakil-partai-644138.html[/caption]
Telah lama terasa, namun berfikir terus kami hendak menyampaikannya. Takut kami ada orang yang kan tersinggung suok-kida.[1] Memanglah demikian adatnya, semanjak zaman dahulu, perkara pemilu sangatlah mudah menjadi penyebab persengketaan diantara kita di dalam kampung. Kawan dapat menjadi lawan dan lawanpun dapat pula menjadi kawan. Kamanakan durhaka kepada mamak dan orangtua dan sebaliknya mamak serta orangtua dapat saja menjadi otoriter memaksakan pilihannya kepada keluarga.
Beberapa bulan menjelang masa kampanye ditetapkan, telah tersiar di kampung kita perihal niat beberapa orang di kampung hendak memperjuangkan beberapa anak nagari agar dapat duduk sebagai anggota dewan. Paling tidak di tingkat kabupaten, begitulah kira-kira..
Terdengar oleh kami telah pula dibentuk sebuah tim yang beranggotakan beberapa orang dari berbagai golongan dalam nagari kita. Tujuannya ialah untuk memperjuangkan dan mengetuk hati orang kampung agar jangan golput[2], dipilih jualah hendaknya orang kampung kita. Kalau seandainya ada di luar kampung agar diupayakan agar tetap datang untuk memilih agar tercapai target suara.
Seorang kawan berpendapat “Senang hati kita mendengar ada keinginan dari beberapa orang tua-tua di kampung kita perihal hal ini. Namun sedih hati kami dibuatnya karena betapa begitu singkatnya fikiran orang kampung kita. Dalam pandangan orang kampung kita, menempatkan orang kampung kita dalam gedung dewan itu merupakan satu-satunya cara untuk membangun kampung. Tujuannya agar proyek pembangunan seperti pengaspalan jalan dapat ada di kampung kita..”
Kawan yang lain menimpali “Benar engku, kamipun sedih pula mendapati hal yang demikian. Kata mereka; coba tengok, entah berapa proyek yang telah dialihkan dari kampung kita. Memanglah sakit hati kita mendapat perlakuan yang tak adil serupa demikian. Namun mendempatkan orang kampung kita sebagai anggota dewan akan membuat kita sama pula seperti orang-orang yang telah mengalihkan proyek tersebut. Seperti kata orang, sebelum menampar orang lain itu tamparlah dahulu diri sendiri. Pabila sakit rasanya, maka jangan kerjakan..”
“Namun daripada itu engku-engku sekalian, kami berpandangan sangatlah sedih sekali melihat beberapa orang kampung kita mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Kalau kita-kita ini sayangkan akan diri mereka, maka hendaknya janganlah dipilih mereka itu. Sama namanya dengan merusak mereka-mereka itu..” kata salah seorang engku.
Ada pula yang berfikir berlainan “Bagaimana pula engku-engku ini! Bukankah demikian lebih baik, kalau tak ada orang kampung kita yang menjadi anggota dewan, alamat kampung kita ini takkan maju-maju. Coba engku-engku sekalian fikirkan baik-baik, nagari jiran kita memiliki seorang anak nagari yang duduk menjadi anggota dewan di tingkat propinsi dan tengoklah kampungnya diselesaikan olehnya. Dan terdengar pula oleh kami bahwa untuk pemilu ini, engku itu berjanji bahwa Nagari Kamang inilah yang akan dimajukannya apabila kembali terpilih nantinya..”
[caption id="attachment_1452" align="alignright" width="267"] Ilustrasi Gambar; http://utusanriau.com/news/detail/15160/2013/05/12/caleg-2014,-didominasi-dari-kades[/caption]
Tersenyum kami mendengarnya, kawan yang lainpun ikut tersenyum “Oh.. orang dari partai merah itukah yang engku maksudkan!? Partai yang sangat terang sekali Anti Islamnya, dimana seluruh pimpinannya ditingkat pusat hampir dikuasai oleh orang kafir sepenuhnya. Dan kabarnya pula, apabila tampil sebagai pemenang di pemilihan presiden maka seorang pemuka dari Mazhab Syi’ah yang selama ini sangat keras suaranya dalam melecehkan agama kita akan diangkat menjadi Mentri Agama. Dan lagipula, partai ini banyak menampung orang-orang Anti Islam, apakah itu berasal dari kalangan umat Islam sendiri (JIL[3]), maupun para kaum kafirun..”
Si engku yang disanggah menjawab dengan dengan percaya diri “Ah.. itukan hanya ditingkat pusat saja. Lagipula apapula hubungannya?! Yang penting kampung kita selamat, pembangunan berjalan, segala fasilitas dibuat oleh pemerintah..!”
Kamipun terkejut mendengarnya “Astagfirullah engku, begitu singkatkah fikiran engku?! Hanya mementingkan diri sendiri saja, asal kampung kita selamat biarlah umat Islam di republik ini celaka!! Takkan ada berkahnya pembangunan yang engku maksudkan itu bagi kampung kita. Segala fasilitas yang dibangun akan mendatangkan celaka bagi anak nagari. Jalan yang dibangun akan menjadi memakan banyak korban, tengok sajalah sekarang! Begitu juga dengan fasilitas lainnya, takkan berguna, terbengkalai. Engku tengok saja salah satu fasilitas kesehatan di kampung kita yang antara ada dan tiada saja !!” jawab kami.
Si engkupun terdiam karena dipasamoan. Kemudian kawan yang lain menimpali “Kembali kita kepada perkara caleg yang akan diusungkan dari kalangan orang kampung kita. Adakah jaminan bahwa mereka akan memperjuangkan kampung kita? Adakah jaminan bahwa mereka takkan terperngaruh dengan berbagai perangai buruk yang menjadi tabiat orang-orang tersebut? Yang akan membuat kita malu jua apabila mereka melakukan berbagai tindakan tercela selama menjadi anggota dewan nantinya.Tak kasihankah kita-kita ini kepada mereka? Begitu besar harapan yang digantungkan, akankah sanggup mereka menunaikannya? Lagipula, sebagai Wakil Rakyat, bukan hanya kampung kita saja yang menjadi tanggungannya, melainkan sekalian masyarakat dari Daerah Pemilihan (Dapil) kita ini menjadi tanggungannya. Mereka harus adil, tidak hanya memperhatikan kampung kita saja, melainkan kampung orang lain mesti diperhatikan juga..”
“Seperti kata sebagian ulama “Jangan mengantungkan harapan kepada manusia, sebab akan mendatangkan kekecewaan. Namun gantungkanlah harapan hanya kepada Allah, Insya Allah takkan mendatangkan kekecewaan..” sambung salah seorang kawan.
“Dan begitu pula dengan calon dari partai merah tadi, katanya dalam pemilihan kali ini akan memperhatikan kampung kita. Bukankah sedari dahulu kampung kita dan beberapa kampung lainnya dalam Daerah Pemilihan kita ini juga menjadi tanggungannya. Jadi janji tersebut tak mesti digadang-gadangkan sebab sudah menjadi kewajibannya sedari dahulu. Kalau dijanjikannya, alamat takkan ditunaikannya itu..” tambah engku yang lain..
“Ah.. seorang orang kampung kita sudah ada pula yang menjabat sebagai anggota dewa tapi tak terdengar apapun dari dia..” cemooh beberapa orang engku-engku
Kamipun menimpali “Engku-engku, kami dengar dari curaian orang tua-tua dahulu, kampung kita ini dahulunya ialah Basis dari Partai Masyumi. Karena itulah Kol. Dahlan Djambek hijrah ke Kamang dimasa PDRI dan PRRI dahulu. Dan kalaulah kita tak melupakan sejarah, Api Paderi mulai dipercikkan dari Kamang ini oleh Tuanku Nan Renceh. Bahkan Benteng Kamang merupakan Benteng terkuat yang sukar ditaklukan oleh Belanda. Tak malukah kita kepada inyiak-inyiak kita yang telah syahid memperjuangkan akidah kita di Kamang dan Minangkabau ini. Hanya demi “pembangunan” kita rela menjual agama kita, padahal kata “PEMBANGUNAN” tersebut masih dapat kita perdebatkan. Melihat dari segi fisik saja, tidak dari segi perubahan pola fikir dan perilaku. Tengoklah pembangunan yang digadang-gadangkan itu, rumah bagus, jalan mulus, akan tetapi akhlak hancur, Na’uzubillah”
Sambung kami “Dari dahulu kampung kita dikenal sangat kuat dari sisi keislaman, berbagai sekolah Islam didirikan di kampung kita oleh Inyiak-inyiak kita dahulunya. Muhammadiyahpun sangat kuat di Kamang ini, tengok sajalah Panti Asuhan di Ampang itu. Bukan kami penyokong salah satu partai politik yang menipu kita sebagai motor politik Kaum Muhammdiyah, padahal bukan. Namun yang hendak kami katakana, pelajarilah sejarah kampung kita, ingat-ingatlah siapa diri kita. Islam ialah harga mati, kalau tak ada yang memihak kepada Islam maka tak usah saja kita memilih..”
Semakin hangat percakapan kami perihal pemilu tahun ini, tak patut kiranya semua isi percakapan kami tersebut kami tuliskan. Takut engku dan encik akan tersinggung kepada kami, dan kami yakin tulisan kami yang ini saja sudah banyak yang menyinggung sebagian dari engku dan encik sekalian.
[1] Kanan-kiri
[2] Merupakan singkatan dari golongan putih yang berarti orang-orang yang tak menggunakan “hak pilihnya” dalam pemilu. Bagi para politisi, kelompok ini merupakan musuh besar karena merupakan salah satu penyebab berkurangnya suara untuk mereka. Oleh karena itu mereka sangat berjuang keras agar jangan hendaknya ada yang golput. Termasuk menggunakan Fatwa MUI yang telah dikeluarkan semenjak tahun 2009 yang dahulu.
[3] Jaringan Islam Liberal
Telah lama terasa, namun berfikir terus kami hendak menyampaikannya. Takut kami ada orang yang kan tersinggung suok-kida.[1] Memanglah demikian adatnya, semanjak zaman dahulu, perkara pemilu sangatlah mudah menjadi penyebab persengketaan diantara kita di dalam kampung. Kawan dapat menjadi lawan dan lawanpun dapat pula menjadi kawan. Kamanakan durhaka kepada mamak dan orangtua dan sebaliknya mamak serta orangtua dapat saja menjadi otoriter memaksakan pilihannya kepada keluarga.
Beberapa bulan menjelang masa kampanye ditetapkan, telah tersiar di kampung kita perihal niat beberapa orang di kampung hendak memperjuangkan beberapa anak nagari agar dapat duduk sebagai anggota dewan. Paling tidak di tingkat kabupaten, begitulah kira-kira..
Terdengar oleh kami telah pula dibentuk sebuah tim yang beranggotakan beberapa orang dari berbagai golongan dalam nagari kita. Tujuannya ialah untuk memperjuangkan dan mengetuk hati orang kampung agar jangan golput[2], dipilih jualah hendaknya orang kampung kita. Kalau seandainya ada di luar kampung agar diupayakan agar tetap datang untuk memilih agar tercapai target suara.
Seorang kawan berpendapat “Senang hati kita mendengar ada keinginan dari beberapa orang tua-tua di kampung kita perihal hal ini. Namun sedih hati kami dibuatnya karena betapa begitu singkatnya fikiran orang kampung kita. Dalam pandangan orang kampung kita, menempatkan orang kampung kita dalam gedung dewan itu merupakan satu-satunya cara untuk membangun kampung. Tujuannya agar proyek pembangunan seperti pengaspalan jalan dapat ada di kampung kita..”
Kawan yang lain menimpali “Benar engku, kamipun sedih pula mendapati hal yang demikian. Kata mereka; coba tengok, entah berapa proyek yang telah dialihkan dari kampung kita. Memanglah sakit hati kita mendapat perlakuan yang tak adil serupa demikian. Namun mendempatkan orang kampung kita sebagai anggota dewan akan membuat kita sama pula seperti orang-orang yang telah mengalihkan proyek tersebut. Seperti kata orang, sebelum menampar orang lain itu tamparlah dahulu diri sendiri. Pabila sakit rasanya, maka jangan kerjakan..”
“Namun daripada itu engku-engku sekalian, kami berpandangan sangatlah sedih sekali melihat beberapa orang kampung kita mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Kalau kita-kita ini sayangkan akan diri mereka, maka hendaknya janganlah dipilih mereka itu. Sama namanya dengan merusak mereka-mereka itu..” kata salah seorang engku.
Ada pula yang berfikir berlainan “Bagaimana pula engku-engku ini! Bukankah demikian lebih baik, kalau tak ada orang kampung kita yang menjadi anggota dewan, alamat kampung kita ini takkan maju-maju. Coba engku-engku sekalian fikirkan baik-baik, nagari jiran kita memiliki seorang anak nagari yang duduk menjadi anggota dewan di tingkat propinsi dan tengoklah kampungnya diselesaikan olehnya. Dan terdengar pula oleh kami bahwa untuk pemilu ini, engku itu berjanji bahwa Nagari Kamang inilah yang akan dimajukannya apabila kembali terpilih nantinya..”
[caption id="attachment_1452" align="alignright" width="267"] Ilustrasi Gambar; http://utusanriau.com/news/detail/15160/2013/05/12/caleg-2014,-didominasi-dari-kades[/caption]
Tersenyum kami mendengarnya, kawan yang lainpun ikut tersenyum “Oh.. orang dari partai merah itukah yang engku maksudkan!? Partai yang sangat terang sekali Anti Islamnya, dimana seluruh pimpinannya ditingkat pusat hampir dikuasai oleh orang kafir sepenuhnya. Dan kabarnya pula, apabila tampil sebagai pemenang di pemilihan presiden maka seorang pemuka dari Mazhab Syi’ah yang selama ini sangat keras suaranya dalam melecehkan agama kita akan diangkat menjadi Mentri Agama. Dan lagipula, partai ini banyak menampung orang-orang Anti Islam, apakah itu berasal dari kalangan umat Islam sendiri (JIL[3]), maupun para kaum kafirun..”
Si engku yang disanggah menjawab dengan dengan percaya diri “Ah.. itukan hanya ditingkat pusat saja. Lagipula apapula hubungannya?! Yang penting kampung kita selamat, pembangunan berjalan, segala fasilitas dibuat oleh pemerintah..!”
Kamipun terkejut mendengarnya “Astagfirullah engku, begitu singkatkah fikiran engku?! Hanya mementingkan diri sendiri saja, asal kampung kita selamat biarlah umat Islam di republik ini celaka!! Takkan ada berkahnya pembangunan yang engku maksudkan itu bagi kampung kita. Segala fasilitas yang dibangun akan mendatangkan celaka bagi anak nagari. Jalan yang dibangun akan menjadi memakan banyak korban, tengok sajalah sekarang! Begitu juga dengan fasilitas lainnya, takkan berguna, terbengkalai. Engku tengok saja salah satu fasilitas kesehatan di kampung kita yang antara ada dan tiada saja !!” jawab kami.
Si engkupun terdiam karena dipasamoan. Kemudian kawan yang lain menimpali “Kembali kita kepada perkara caleg yang akan diusungkan dari kalangan orang kampung kita. Adakah jaminan bahwa mereka akan memperjuangkan kampung kita? Adakah jaminan bahwa mereka takkan terperngaruh dengan berbagai perangai buruk yang menjadi tabiat orang-orang tersebut? Yang akan membuat kita malu jua apabila mereka melakukan berbagai tindakan tercela selama menjadi anggota dewan nantinya.Tak kasihankah kita-kita ini kepada mereka? Begitu besar harapan yang digantungkan, akankah sanggup mereka menunaikannya? Lagipula, sebagai Wakil Rakyat, bukan hanya kampung kita saja yang menjadi tanggungannya, melainkan sekalian masyarakat dari Daerah Pemilihan (Dapil) kita ini menjadi tanggungannya. Mereka harus adil, tidak hanya memperhatikan kampung kita saja, melainkan kampung orang lain mesti diperhatikan juga..”
“Seperti kata sebagian ulama “Jangan mengantungkan harapan kepada manusia, sebab akan mendatangkan kekecewaan. Namun gantungkanlah harapan hanya kepada Allah, Insya Allah takkan mendatangkan kekecewaan..” sambung salah seorang kawan.
“Dan begitu pula dengan calon dari partai merah tadi, katanya dalam pemilihan kali ini akan memperhatikan kampung kita. Bukankah sedari dahulu kampung kita dan beberapa kampung lainnya dalam Daerah Pemilihan kita ini juga menjadi tanggungannya. Jadi janji tersebut tak mesti digadang-gadangkan sebab sudah menjadi kewajibannya sedari dahulu. Kalau dijanjikannya, alamat takkan ditunaikannya itu..” tambah engku yang lain..
“Ah.. seorang orang kampung kita sudah ada pula yang menjabat sebagai anggota dewa tapi tak terdengar apapun dari dia..” cemooh beberapa orang engku-engku
Kamipun menimpali “Engku-engku, kami dengar dari curaian orang tua-tua dahulu, kampung kita ini dahulunya ialah Basis dari Partai Masyumi. Karena itulah Kol. Dahlan Djambek hijrah ke Kamang dimasa PDRI dan PRRI dahulu. Dan kalaulah kita tak melupakan sejarah, Api Paderi mulai dipercikkan dari Kamang ini oleh Tuanku Nan Renceh. Bahkan Benteng Kamang merupakan Benteng terkuat yang sukar ditaklukan oleh Belanda. Tak malukah kita kepada inyiak-inyiak kita yang telah syahid memperjuangkan akidah kita di Kamang dan Minangkabau ini. Hanya demi “pembangunan” kita rela menjual agama kita, padahal kata “PEMBANGUNAN” tersebut masih dapat kita perdebatkan. Melihat dari segi fisik saja, tidak dari segi perubahan pola fikir dan perilaku. Tengoklah pembangunan yang digadang-gadangkan itu, rumah bagus, jalan mulus, akan tetapi akhlak hancur, Na’uzubillah”
Sambung kami “Dari dahulu kampung kita dikenal sangat kuat dari sisi keislaman, berbagai sekolah Islam didirikan di kampung kita oleh Inyiak-inyiak kita dahulunya. Muhammadiyahpun sangat kuat di Kamang ini, tengok sajalah Panti Asuhan di Ampang itu. Bukan kami penyokong salah satu partai politik yang menipu kita sebagai motor politik Kaum Muhammdiyah, padahal bukan. Namun yang hendak kami katakana, pelajarilah sejarah kampung kita, ingat-ingatlah siapa diri kita. Islam ialah harga mati, kalau tak ada yang memihak kepada Islam maka tak usah saja kita memilih..”
Semakin hangat percakapan kami perihal pemilu tahun ini, tak patut kiranya semua isi percakapan kami tersebut kami tuliskan. Takut engku dan encik akan tersinggung kepada kami, dan kami yakin tulisan kami yang ini saja sudah banyak yang menyinggung sebagian dari engku dan encik sekalian.
[1] Kanan-kiri
[2] Merupakan singkatan dari golongan putih yang berarti orang-orang yang tak menggunakan “hak pilihnya” dalam pemilu. Bagi para politisi, kelompok ini merupakan musuh besar karena merupakan salah satu penyebab berkurangnya suara untuk mereka. Oleh karena itu mereka sangat berjuang keras agar jangan hendaknya ada yang golput. Termasuk menggunakan Fatwa MUI yang telah dikeluarkan semenjak tahun 2009 yang dahulu.
[3] Jaringan Islam Liberal
Komentar
Posting Komentar