[caption id="attachment_1575" align="alignleft" width="300"] Baju Kebesaran Penghulu yang Kaya akan Falsafah bagi Si Pemakainya.
Ilustrasi Gambar: Internet[/caption]
Sudah menjadi kelaziman di negeri kita, bahkan di beberapa nagari di Alam Minangkabau ini mungkin, bahwa apabila hendak meangkat seorang penghulu yang di Alam Minangkabau ini digelari dengan “datuk” maka pengangkatan tersebut akan mempertimbangkan perihal jatah siapa sekarang yang akan menjadi datuk. Hal tersebut akan berlaku apabila datuk tersebut dipalegakan[1] dari satu keluarga ke keluarga lainnya, dan terkadang hal ini melalui persengketaan pula.
Dalam Adat seorang Calon Penghulu disyaratkan sudah balig, namun pada beberapa kejadian ada jua seorang lelaki yang belum balig diangkat menjadi penghulu dengan alasan menyelamatkan gelar yang dilegakan karena belum ada lelaki balig dalam keluarga mereka. Bisa saja kelaurga tersebut memiliki anak perempuan lebih banyak dari anak lelaki.
Kemudian seorang penghulu yang hendak diangkat itu ialah seorang yang mengerti dan faham Hukum Adat dan Hukum Syari'at. Karena seorang penghulu itu ialah ahli adat, maksudnya faham seluruhnya perihal segala hukum ada terutama hukum adat yang berlaku di dalam nagarinya. Menguasai falsafah adat, tidak hanya mengetahui saja, tahu dengan nan tersirat, tidak hanya yang tersurat, seperti kata mamangan adat;
Nan tahu condong nan ka maimpok
Nan tahu lantiang ka manganai
Nan tahu ereang jo gendeang
Nan tahu jo baso-basi
Tahu jo bayang kato sampai
Alun takilek alah takalam
Salayang ikan dalam aia
Alah tantu jantan batinono
Demikianlah seorang Calon Penghulu haruslah arif dan bijaksana, orang yang telah mencapai derajat ini maka mereka akan tenang dalam pembawaan, sabar dalam menghadapi segala masalah yang dihadapi atau dihadapkan kepada mereka, tiada hendak mengacau dalam kaum apalagi nagari. Menjaga Marwah[2] Nagari (terutama keluarga/kaum/suku) karena sorang yang arif akan menjaga tatanan adat yang telah ada, memperjuangkan, dan menjadi pengawal jalannya adat dalam nagari. Kalau ada yang silap ditegur, kalau ada yang bengkok akan diluruskan, kalau ada yang menggaduh akan ditenangkan. Datuk bukan pencari masalah melainkan penyelesai masalah, seperti kata mamangan adat;
Nan tinggi tampak jauah
Nan gadang jolong basuo
Kayu gadang di tangah padang
Tampek balinduang kapanehan
Tampek bataduah kahujanan
Urekno tampek baselo
Batangno tampek basanda
Ka pai tampek batanyo
Pulang tampek babarito
Biang nan akan manambuakkan
Gantiang nan akan mamutuhkan
Tampek mangadu sasak sampik.
Demikianlah, seorang datuk hendaknya faham betul dengan adat terutama adat yang ada dalam nagarinya. Sama kiranya dengan seorang ulama yang semakin langka dalam nagari kita maka demikian pula dengan Sosok Seorang Penghulu Yang Sebenarnya, juga langka di nagari kita. Terkadang tiada berilmu dan faham ia akan hukum adat namun diangkat jua menjadi datuk, hal ini karena telah ia berjaya di rantau, tamatan universitas ternama, bekerja dirantau pada instansi terkemuka, menjadi pejabat, saudagar kaya, dan berbagai simbol-simbol duniawi lainnya, maka ia diusung oleh keluarga, kaum, serta sukunya untuk dijadkan datuk.
“Lalu bagaimana ini, dia tiada faham dengan adat..?” tanya orang
“Tenang saja, kan ada mamaknya..” bela yang meangkat. Akhirnya si datuk yang tinggi ilmunya karena belajar di universitas ternama, kaya, pejabat, ataupun saudagar itu diatur oleh keluarga dan mamaknya di kampung yang lebih faham ilmu adat. Apabila keluarga ataupun mamaknya telah tiada, maka faham sendirilah engku-engku akan jadi apa datuk-datuk itu.
Namun yang lebih utama ialah seorang datuk haruslah faham akan makna tersurat atau tersirat dari ajaran Islam karena perangai seorang datuk haruslah mencerminkan dari inti ajaran Islam itu sendiri. Seperti kata Falsafah Adat Kita; Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Datuk semestinya ialah orang yang taat dan menjalankan ajaran Islam secara kaffah, tercermin dalam perangai tingkah laku dan ucapannya, tampak pada air mukanya yang jernih. Apabila seorang datuk berasal dari kalangan yang bukan Islam atau tidak mengamalkan ajaran Islam, atau mengingkari Tegaknya Hukum Syari’at. Maka alamat Nagari akan Gaduh.
Kedudukan seorang penghulu atau datuk dalam Adat dapat kita samakan dengan Ulama dalam Agama Islam agama kita. Ulama berarti orang yang faham ilmu agama, kalau tiada faham maka orang tersebut tidak patut disebut atu digelari dengan ulama. Hanya pandai membaca dan menulis huruf Arab, merdu suaranya ketika melantunkan ayat Al Qur’an atau ketika menjadi imam shalat, telah pandai pula memberikan ceramah bahkan khutbah, dan lain sebagainya. Namun derajat seorang ulama bukan diukur dari perkara-perkara yang demikian, bukan apa yang kami sebutkan di atas tidak penting bagi seorang ulama melainkan syart utamanya mesti faham akan makna hakikat dari ilmu agama, paham arti, makna, serta tafsiran dari ayat Al Qur’an, faham Hukum Fiqih yang mengatur segala peri kehidupan orang Islam ini. Bukan serupa orang-orang yang diundang tasasak ketika bulan puasa karena sedikitnya jumlah ulama di kampuang kita, sehingga asalkan telah pandai menjadi imam, pandai pula memberi ceramah agama maka telah disuruh menjadi mengaji di surau. Padahal apabila di takar, maka tak jauh kalah ilmu para jama’ah.
Demikianlah Datuk ialah Hakim, manalah mungkin seorang hakim diangkat yang belum balig atau seorang balig namun miskin Ilmu Adatnya akan menjadi tempat bersandar, mengadu, menyelesaikan, ataupun menjernihkan suatu perkara. Yang ada ialah akan memperkusut dan meperkeruh saja nantinya, akibatnya Gaduh dalam Nagari Kita.
Berabad-abad nan silam Nabi kita Muhammad Rasulullah pernah berwasiat; apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran dari perkara itu.
Han hal tersebut telah terbukti di nagari kita, bergaduh awak sesama awak dibuatnya.
Oleh karena itulah, sesuai dengan ajaran Islam, syarat untuk menjadi seorang datuk itu sangat ketat sekali. Selain telah balig, asal usulnyapun harus jelas, bahkan dikaji beberapa keturunan di atas dirinya. Benarkah dia berasal dari kaum itu dan suku itu? Bagaimana peri kehidupan diri dan keluarganya? Adakah mengamalkan ajaran Islam atau tidak? Adakah mengamalkan ajaran adat atau tidak?
Keturunan sangat perlu, yang dikaji pada pasal keturunan ini bukan hanya keaslian garis keturuna atau kebesaran nama yang telah ditorehkan oleh para pendahulunya melainkan juga dikaji pula seperti apa akhlak dari orang tua hingga generasi ke atasnya. Pernah atau tidak melakukan perbuatan yang sumbang dalam syarak dan adat? Atau melakukan perbuatan yang bertentengan dengan kedua hukum tersebut (Syara’ dan Adat) kalau ada maka ia tidak boleh diangkat menjadi datuk, walaupun dia kaya, berpendidikan (walaupun telah panjang pula gelar di belakang dan depan namanya, pernah pula tinggal lama di luar negeri), pejabat, dan lain sebagainya.
Demikianlah engku, rangkayo, serta encik sekalian. Kalau ada silap kami mohon maafkan, tegurlah dengan sopan serta santun, seperti kata mamangan adat; Nan Umua Alun Satahun Jaguang, Kok Darah Alun Satampuak Pinang. Salah dan khilaf kami mohon diluruskan, terlebih dahulu kami pohonkan maaf.
[1] Digilir dari satu keluarga ke keluarga lain dalam satu kaum, misalnya Dt. Nan Labiah yang dijabat oleh keluarga A dalam Suku J misalnya maka apabila datuk tersebut meinggal gelar datuk akan dilegakan kepada keluarga B yang masih berada dalam satu kaum dari suku J tersebut.
[2] Harga diri, nama baik
Ilustrasi Gambar: Internet[/caption]
Sudah menjadi kelaziman di negeri kita, bahkan di beberapa nagari di Alam Minangkabau ini mungkin, bahwa apabila hendak meangkat seorang penghulu yang di Alam Minangkabau ini digelari dengan “datuk” maka pengangkatan tersebut akan mempertimbangkan perihal jatah siapa sekarang yang akan menjadi datuk. Hal tersebut akan berlaku apabila datuk tersebut dipalegakan[1] dari satu keluarga ke keluarga lainnya, dan terkadang hal ini melalui persengketaan pula.
Dalam Adat seorang Calon Penghulu disyaratkan sudah balig, namun pada beberapa kejadian ada jua seorang lelaki yang belum balig diangkat menjadi penghulu dengan alasan menyelamatkan gelar yang dilegakan karena belum ada lelaki balig dalam keluarga mereka. Bisa saja kelaurga tersebut memiliki anak perempuan lebih banyak dari anak lelaki.
Kemudian seorang penghulu yang hendak diangkat itu ialah seorang yang mengerti dan faham Hukum Adat dan Hukum Syari'at. Karena seorang penghulu itu ialah ahli adat, maksudnya faham seluruhnya perihal segala hukum ada terutama hukum adat yang berlaku di dalam nagarinya. Menguasai falsafah adat, tidak hanya mengetahui saja, tahu dengan nan tersirat, tidak hanya yang tersurat, seperti kata mamangan adat;
Nan tahu condong nan ka maimpok
Nan tahu lantiang ka manganai
Nan tahu ereang jo gendeang
Nan tahu jo baso-basi
Tahu jo bayang kato sampai
Alun takilek alah takalam
Salayang ikan dalam aia
Alah tantu jantan batinono
Demikianlah seorang Calon Penghulu haruslah arif dan bijaksana, orang yang telah mencapai derajat ini maka mereka akan tenang dalam pembawaan, sabar dalam menghadapi segala masalah yang dihadapi atau dihadapkan kepada mereka, tiada hendak mengacau dalam kaum apalagi nagari. Menjaga Marwah[2] Nagari (terutama keluarga/kaum/suku) karena sorang yang arif akan menjaga tatanan adat yang telah ada, memperjuangkan, dan menjadi pengawal jalannya adat dalam nagari. Kalau ada yang silap ditegur, kalau ada yang bengkok akan diluruskan, kalau ada yang menggaduh akan ditenangkan. Datuk bukan pencari masalah melainkan penyelesai masalah, seperti kata mamangan adat;
Nan tinggi tampak jauah
Nan gadang jolong basuo
Kayu gadang di tangah padang
Tampek balinduang kapanehan
Tampek bataduah kahujanan
Urekno tampek baselo
Batangno tampek basanda
Ka pai tampek batanyo
Pulang tampek babarito
Biang nan akan manambuakkan
Gantiang nan akan mamutuhkan
Tampek mangadu sasak sampik.
Demikianlah, seorang datuk hendaknya faham betul dengan adat terutama adat yang ada dalam nagarinya. Sama kiranya dengan seorang ulama yang semakin langka dalam nagari kita maka demikian pula dengan Sosok Seorang Penghulu Yang Sebenarnya, juga langka di nagari kita. Terkadang tiada berilmu dan faham ia akan hukum adat namun diangkat jua menjadi datuk, hal ini karena telah ia berjaya di rantau, tamatan universitas ternama, bekerja dirantau pada instansi terkemuka, menjadi pejabat, saudagar kaya, dan berbagai simbol-simbol duniawi lainnya, maka ia diusung oleh keluarga, kaum, serta sukunya untuk dijadkan datuk.
“Lalu bagaimana ini, dia tiada faham dengan adat..?” tanya orang
“Tenang saja, kan ada mamaknya..” bela yang meangkat. Akhirnya si datuk yang tinggi ilmunya karena belajar di universitas ternama, kaya, pejabat, ataupun saudagar itu diatur oleh keluarga dan mamaknya di kampung yang lebih faham ilmu adat. Apabila keluarga ataupun mamaknya telah tiada, maka faham sendirilah engku-engku akan jadi apa datuk-datuk itu.
Namun yang lebih utama ialah seorang datuk haruslah faham akan makna tersurat atau tersirat dari ajaran Islam karena perangai seorang datuk haruslah mencerminkan dari inti ajaran Islam itu sendiri. Seperti kata Falsafah Adat Kita; Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Datuk semestinya ialah orang yang taat dan menjalankan ajaran Islam secara kaffah, tercermin dalam perangai tingkah laku dan ucapannya, tampak pada air mukanya yang jernih. Apabila seorang datuk berasal dari kalangan yang bukan Islam atau tidak mengamalkan ajaran Islam, atau mengingkari Tegaknya Hukum Syari’at. Maka alamat Nagari akan Gaduh.
Kedudukan seorang penghulu atau datuk dalam Adat dapat kita samakan dengan Ulama dalam Agama Islam agama kita. Ulama berarti orang yang faham ilmu agama, kalau tiada faham maka orang tersebut tidak patut disebut atu digelari dengan ulama. Hanya pandai membaca dan menulis huruf Arab, merdu suaranya ketika melantunkan ayat Al Qur’an atau ketika menjadi imam shalat, telah pandai pula memberikan ceramah bahkan khutbah, dan lain sebagainya. Namun derajat seorang ulama bukan diukur dari perkara-perkara yang demikian, bukan apa yang kami sebutkan di atas tidak penting bagi seorang ulama melainkan syart utamanya mesti faham akan makna hakikat dari ilmu agama, paham arti, makna, serta tafsiran dari ayat Al Qur’an, faham Hukum Fiqih yang mengatur segala peri kehidupan orang Islam ini. Bukan serupa orang-orang yang diundang tasasak ketika bulan puasa karena sedikitnya jumlah ulama di kampuang kita, sehingga asalkan telah pandai menjadi imam, pandai pula memberi ceramah agama maka telah disuruh menjadi mengaji di surau. Padahal apabila di takar, maka tak jauh kalah ilmu para jama’ah.
Demikianlah Datuk ialah Hakim, manalah mungkin seorang hakim diangkat yang belum balig atau seorang balig namun miskin Ilmu Adatnya akan menjadi tempat bersandar, mengadu, menyelesaikan, ataupun menjernihkan suatu perkara. Yang ada ialah akan memperkusut dan meperkeruh saja nantinya, akibatnya Gaduh dalam Nagari Kita.
Berabad-abad nan silam Nabi kita Muhammad Rasulullah pernah berwasiat; apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran dari perkara itu.
Han hal tersebut telah terbukti di nagari kita, bergaduh awak sesama awak dibuatnya.
Oleh karena itulah, sesuai dengan ajaran Islam, syarat untuk menjadi seorang datuk itu sangat ketat sekali. Selain telah balig, asal usulnyapun harus jelas, bahkan dikaji beberapa keturunan di atas dirinya. Benarkah dia berasal dari kaum itu dan suku itu? Bagaimana peri kehidupan diri dan keluarganya? Adakah mengamalkan ajaran Islam atau tidak? Adakah mengamalkan ajaran adat atau tidak?
Keturunan sangat perlu, yang dikaji pada pasal keturunan ini bukan hanya keaslian garis keturuna atau kebesaran nama yang telah ditorehkan oleh para pendahulunya melainkan juga dikaji pula seperti apa akhlak dari orang tua hingga generasi ke atasnya. Pernah atau tidak melakukan perbuatan yang sumbang dalam syarak dan adat? Atau melakukan perbuatan yang bertentengan dengan kedua hukum tersebut (Syara’ dan Adat) kalau ada maka ia tidak boleh diangkat menjadi datuk, walaupun dia kaya, berpendidikan (walaupun telah panjang pula gelar di belakang dan depan namanya, pernah pula tinggal lama di luar negeri), pejabat, dan lain sebagainya.
Demikianlah engku, rangkayo, serta encik sekalian. Kalau ada silap kami mohon maafkan, tegurlah dengan sopan serta santun, seperti kata mamangan adat; Nan Umua Alun Satahun Jaguang, Kok Darah Alun Satampuak Pinang. Salah dan khilaf kami mohon diluruskan, terlebih dahulu kami pohonkan maaf.
[1] Digilir dari satu keluarga ke keluarga lain dalam satu kaum, misalnya Dt. Nan Labiah yang dijabat oleh keluarga A dalam Suku J misalnya maka apabila datuk tersebut meinggal gelar datuk akan dilegakan kepada keluarga B yang masih berada dalam satu kaum dari suku J tersebut.
[2] Harga diri, nama baik
Ada satu hal dalam adat kita yang kami rasa tidak sejalan dengan syarak, yaitu ketika baralek perkawinan, pasambahan antara ninik mamak keluarga laki-laki dan perempuan terlalu lama, apalagi kalau ada hidangan pinyaram dalam pinggan gadang yang kurang atau terbalik letaknya atau galeh yang tidak saroman ragi dalam sajamba (menurut kami hal yang dapat dimaafkan segera), pasambahan berlangsung sampai menggilas sembahyang asyar bahkan ada yang baru selesai setelah melewati waktu sembahyang magrib. Ada lagi kejadian yang lebih menyedihkan, tersebab kurang lengkap mengisi kampia mintuo, menantu dilarang pulang oleh mamaknya, padahal ijab kabul telah berlangsung, mereka telah sah suami-istri. Bahkan gara-gara kampia itu juga sampai berpuluh tahun orang tua kedua belah pihak tidak basapoan. Mohon ini jadi perhatian kita semuanya.
BalasHapusPasambahan yang rangkayo maksudkan agaknya jarang berlaku pada majelis perkawinan sebab di rumah fihak lelaki semasa akan melepas dan menjemput orang-orang naik ke rumah selepas Shalat Ashar, bahkan ketika maimbau urang telah disampaikan ketika ditanya "bila masanya?" lalu dijawab oleh yang maimbau "selepas ashar tuan/akak.."
BalasHapusperihal adat galeh yang saragi dan pinyaram yang kurang hal demikian bukan tanpa maksud apa-apa, janganlah rangkayo pertentangkan dengan Hukum Syara' karena ianya berlainan. Adat itu pertanda kehalusan budi, pekerti, serta raso jo pareso. Orang Yang Tiada beradat ialah orang yang gersang hidupnya, kasar sifat (ucapan maupun tingkah laku). Atau dalam bahasa orang moderen Orang Beradat itu ialah Orang Beradab.
Oleh karena tiada faham dengan adat, maka segala perkara dipermudah oleh orang sekarang akibatnya Raso jo Pareso menjadi tiada. Bukankah Syara' sendiri mengajarkan kita untuk memiliki Budi Bahasa Yang Tinggi.
Perihal kasus tak bersapaan selama bertahun-tahun, itu ialah permasalahan yang berlaku pada satu kasus saja, janganlah hendaknya rangkayo menjeneralisir. Hal tersebut bergantung pada kerpibadian keluarga masing-masing, komunikasi juga berpengaruh. Perkara yang demikian juga dialami setiap keluarga kami rasa, bahkan kami ada jua merasakan namun cara mengatasinya berbeda sehingga tidak berlarut-larut.
Tiada Mengerti dengan Adat makanya Tiada Faham dengan Adat, karena Tiada Faham silap dalam mengerjakan, apabila terjadi kesalah-fahaman maka dengan cepat menyalahkan Adat. Samalah kiranya dengan orang-orang Fasiq dan Munafiq di dunia Islam saat ini. Karena tiada Mengerti Islam maka Ia tiada Faham Akan Islam, karena Tiada Faham dengan Islam maka apabila terjadi masalah cepat-cepat ia menyalahkan Islam.
kami harap kebijaksaan dari kita semua dalam menyikapi permasalahan ini.
Terima Kasih Rangkayo..