[caption id="attachment_1607" align="alignleft" width="300"] Jorong Solok, dari arah Ladang Darek[/caption]
Telah lama terkenang namun baru kini tertuliskan, bermula dari pertemuan kami nan tak sengaja dengan beberapa orang peminat sejarah. Kami duduk diam mendengarkan pembicaraan mereka, sampai pada suatu ketika telinga kami tegak dibuatnya. Apa hal?
Ada satu pendapat mereka yang menarik minat kami yakni perihal sumber sejarah. Begini kira-kira perkataan salah seorang dari engku-engku ini "Memang benar segala sumber penulisan sejarah di negeri ini bersumber dari Sumber Belanda. Kenapa? Karena Orang Belanda telah mengamalkan dengan baik salah satu Tradisi Islam yakni Tradisi Menulis. Bukankah di negeri kita ini Tradisi Menulis baru mula ketika Islam telah berkembang dan mempengaruhi setiap sendi kehidupan kita?"
Terus terang kami tiada tahu apakah benar Orang Belanda mengamalkan warisan Peradaban Islam yakni Tradisi Menulis, kalau mereka - Orang Belanda - suka menulis memang benar. Namun kami pernah mendengar perihal tradisi menulis dalam kebudayaan Masyarakat Melayu bermula seiring dengan pengaruh Agama Islam yang semakin membumi dalam kehidupan masyarakat negeri-negeri Melayu. Maka dikenallah tulisan "Arab Melayu" kata orang kampung kami atau "Tulisan Jawi" kata sebagian orang Melayu.
Eloklah kita dengar lanjutan percakapan tersebut, kami tiada hendak membuat engku-engku bingung dengan segala kenangan kami. "Namun ada satu kesilapan yang selama ini berlaku di tengah-tengah para Ahli Sejarah (Sejarawan), para Penggiat Sejarah, atau Peminat Sejarah.." lanjut si engku sambil menggantung kalimatnya.
"Apakah itu engku, kami baru dengar dari engku ini?" tanya seorang engku.
"Engku-engku sekalian, apa pendapat engku perihal media di negeri ini?" tanya si engku. Suatu pertanyaan yang menurut kami tiada berhubungan dengan perkara yang sedang diperbincangkan. Namun kami hanya diam, takut salah kalau ikut pula menyela.
Salah seorang engku menjawab dengan malas "Media sekarang tidak objektif, berat sebelah, dan memiliki agenda tersendiri dalam pemberitaan mereka.."
"Benar sekali engku, terimakasih banyak. Adakah diantara engku-engku sekalian yang hendak menambahkan?" tanya si engku lagi.
"Media utama (mainstream) sekarang kebanyakan didominasi oleh media Sekuler engku.." jawab engku nan lain.
"Benar lagi engku, engku-engku sekalian. Maksud saya bertanya demikian ialah untuk lebih memudahkan engku-engku sekalian dalam memahami. Sesiapapun yang berminat dalam penelitian sejarah, mereka akan menyombongkan sumber-sumber berbahasa Belanda mereka. Bagi mereka sumber berbahasa Belanda nan ditulis oleh Orang Belanda ialah Sumber Primer, Utama, Tak Terbantahkan, dan Mest Dipercayai..." terang si engku.
"Tiada yang menyadari bahwa Belanda memiliki Sudut Pandang sendiri, Maksud, Tujuan atau Agenda tersendiri. Dan yang lebih utama, Orang Belanda itu Manusia juga, dan namanya manusia dapat saja silap dalam bersaksi, menulis, dan lain sebagainya.." lanjut si engku.
"Lalu apakah sumber Belanda itu mesti kita tolak saja engku..?" tanya seorang engku di sebelah kami.
"O.. tidak engku, tentu tidak. Ada namanya Kritik Sumber, kita pakai Sumber Belanda namun kita kritisi, kita bandingkan dengan sumber lain (non Belanda). Banyak jua orang kita yang menuliskan pengalamannya tersebut, atau rekaman peristiwa berupa tradisi lisan yang diturunkan turun temurun.." terang si engku.
Benar kata si engku yang entah siapa ini. Sumber Belanda dapat saja berkata "A" namun mesti kita kritisi, jangan karena sumber tersebut menguntungkan untuk penulisan sejarah kampung kita, lalu kita lahap sepuas-puasnya. Bisa saja satu sumber berkata lain, misalnya. Kita juga mesti mempertimbangkan sumber yang berkata "B", "C" dan lain sebagainya.
Telah lama terkenang namun baru kini tertuliskan, bermula dari pertemuan kami nan tak sengaja dengan beberapa orang peminat sejarah. Kami duduk diam mendengarkan pembicaraan mereka, sampai pada suatu ketika telinga kami tegak dibuatnya. Apa hal?
Ada satu pendapat mereka yang menarik minat kami yakni perihal sumber sejarah. Begini kira-kira perkataan salah seorang dari engku-engku ini "Memang benar segala sumber penulisan sejarah di negeri ini bersumber dari Sumber Belanda. Kenapa? Karena Orang Belanda telah mengamalkan dengan baik salah satu Tradisi Islam yakni Tradisi Menulis. Bukankah di negeri kita ini Tradisi Menulis baru mula ketika Islam telah berkembang dan mempengaruhi setiap sendi kehidupan kita?"
Terus terang kami tiada tahu apakah benar Orang Belanda mengamalkan warisan Peradaban Islam yakni Tradisi Menulis, kalau mereka - Orang Belanda - suka menulis memang benar. Namun kami pernah mendengar perihal tradisi menulis dalam kebudayaan Masyarakat Melayu bermula seiring dengan pengaruh Agama Islam yang semakin membumi dalam kehidupan masyarakat negeri-negeri Melayu. Maka dikenallah tulisan "Arab Melayu" kata orang kampung kami atau "Tulisan Jawi" kata sebagian orang Melayu.
Eloklah kita dengar lanjutan percakapan tersebut, kami tiada hendak membuat engku-engku bingung dengan segala kenangan kami. "Namun ada satu kesilapan yang selama ini berlaku di tengah-tengah para Ahli Sejarah (Sejarawan), para Penggiat Sejarah, atau Peminat Sejarah.." lanjut si engku sambil menggantung kalimatnya.
"Apakah itu engku, kami baru dengar dari engku ini?" tanya seorang engku.
"Engku-engku sekalian, apa pendapat engku perihal media di negeri ini?" tanya si engku. Suatu pertanyaan yang menurut kami tiada berhubungan dengan perkara yang sedang diperbincangkan. Namun kami hanya diam, takut salah kalau ikut pula menyela.
Salah seorang engku menjawab dengan malas "Media sekarang tidak objektif, berat sebelah, dan memiliki agenda tersendiri dalam pemberitaan mereka.."
"Benar sekali engku, terimakasih banyak. Adakah diantara engku-engku sekalian yang hendak menambahkan?" tanya si engku lagi.
"Media utama (mainstream) sekarang kebanyakan didominasi oleh media Sekuler engku.." jawab engku nan lain.
"Benar lagi engku, engku-engku sekalian. Maksud saya bertanya demikian ialah untuk lebih memudahkan engku-engku sekalian dalam memahami. Sesiapapun yang berminat dalam penelitian sejarah, mereka akan menyombongkan sumber-sumber berbahasa Belanda mereka. Bagi mereka sumber berbahasa Belanda nan ditulis oleh Orang Belanda ialah Sumber Primer, Utama, Tak Terbantahkan, dan Mest Dipercayai..." terang si engku.
"Tiada yang menyadari bahwa Belanda memiliki Sudut Pandang sendiri, Maksud, Tujuan atau Agenda tersendiri. Dan yang lebih utama, Orang Belanda itu Manusia juga, dan namanya manusia dapat saja silap dalam bersaksi, menulis, dan lain sebagainya.." lanjut si engku.
"Lalu apakah sumber Belanda itu mesti kita tolak saja engku..?" tanya seorang engku di sebelah kami.
"O.. tidak engku, tentu tidak. Ada namanya Kritik Sumber, kita pakai Sumber Belanda namun kita kritisi, kita bandingkan dengan sumber lain (non Belanda). Banyak jua orang kita yang menuliskan pengalamannya tersebut, atau rekaman peristiwa berupa tradisi lisan yang diturunkan turun temurun.." terang si engku.
Benar kata si engku yang entah siapa ini. Sumber Belanda dapat saja berkata "A" namun mesti kita kritisi, jangan karena sumber tersebut menguntungkan untuk penulisan sejarah kampung kita, lalu kita lahap sepuas-puasnya. Bisa saja satu sumber berkata lain, misalnya. Kita juga mesti mempertimbangkan sumber yang berkata "B", "C" dan lain sebagainya.
Terimakasih engku,, ini adalah masukan bagi kami,, dalam hal ini kami mengumpulkan bahan sejarah saja tentang perang kamang,,, sumber belanda, sumber sumber lokal berusaha kami kumpulkan,, tulisan h.ahmad marzuki tentang syair perang kamang juga kami lampirkan,, dalam tulisan aslinya dinyatakan dalam tulisan arab melayu,, moga tim ahli dari kabupaten bisa membahas perang kamang dengan objektif..
BalasHapusSama-sama engku, tapi bagaimana dengan kesaksian Buya Hamka dalam buku beliau "Ayahku". Kami kira kesaksian dari buya patut untuk dijadikan bahan dalam membahas Perang Kamang. Walau hanya satu paragraf saja dalam buku beliau tersebut. Ditambah, buya bukanlah orang Kamang, jadi lebih objektif kesaksian beliau menurut kami.
BalasHapus