Beberapa masa nan silam sampai kabar ke telinga kami bahwa pihak pemerintah di negeri kita berkeinginan untuk mengajukan para pemimpin kita pada Perang Kamang sebagai Pahlawan Nasional. Berita baik tentunya, terbuka jua jalan yang selama ini dicari-cari untuk dapat mengajukan M.Saleh Dt. Rajo Pangulu sebagai Pahlawan Nasional.
Agaknya dunsanak kita nan di mudiak bergerak cepat, telah lama tampak oleh kami postingan jerih payah mereka. Banyak bersua sumber-sumber dari Belanda oleh mereka perihal Haji Abdul Manan ini. Dan sejauh yang kami ketahui dari fesbuk, berkas-berkas dari mereka telah disampaikan kepada pihak Kecamatan, dan telah pula diterima.
Kami yakin, di kampung kita pastilah sedang keras usaha kita hendak melakukan nan serupa. Telah terbayang oleh kami kini serupa apa kiranya bayangan keadaan tersebut.
Namun berkenankah engku, rangkayo, serta encik sekalian mendengar kisah kami? Maaf engku, rangkayo, serta encik sekalian, “membaca” maksud kami.
Sekitar setahun nan silam, tempat kerja kami kedatangan salah seorang pejabat, ada urusan kerja dia ke kantor kami. Tatkala sedang duduk-duduk berehat sambil makan tengah hari, terdengar oleh kami pejabat ini berdebat dengan salah seorang rekannya. Isi perdebatan mereka ialah seputar “Pahlawan Nasional”. Kebetulan pula ketika itu baru lepas peringatan salah satu hari besar nasional.
Si pejabat berpendapat bahwa gelar Pahlawan Nasional itu tiada berguna karena pada kenyataan yang didapat sekarang banyak orang yang tak tahu dengan pahlawan nasional “Taroklah tahu dengan namanya, namun mereka tiada faham dengan sejarah diri Si Pahlawan Nasional serta apa cita-cita yang diperjuangkannya..” demikianlah kata Si Pejabat “Pahlawan Nasional itu gunanya untuk diletakkan gambarnya pada uang kertas saja..”
Kami tersenyum saja mendengarnya, Si Pejabat tersenyum pula kepada kami, kemudian dia melanjutkan “Serta kalau saya coba kenang kembali, bagi sebagian kalangan gelar Pahlawan Nasional itu ialah untuk memuaskan egonya, ego kedaerahan, kesukuan, atau lain sebagainya..” terus terang kami menjadi tersinggung dengan yang ini.
“Engku..” kata kami mencoba menjawab “Keadaan demikian dikarenakan pendidikan akan sejarah bangsa serta para pahlawan dan apa yang mereka cita-citakan itu nan tiada..” terang kami “Apalagi pada masa sekarang, pendidikan ilmu alam lebih diutamakan dari ilmu kemasyarakatan..” tambah kami.
“Benar engku..” jawabnya tersenyum lebar “Namun bagaimana tanggapan engku mengenai pendapat saya nan terakhir..” tanyanya masih dengan senyuman lebar nan memikat itu. Kami yakin, pastilah karena janggut kami ini makanya Si Pejabat tak begitu kejam bertanya kepada kami.
Kami hanya tersenyum mendapat pertanyaan tersebut, dan sebaiknya kisah ini kami tutup sampai disini. Bagaimana kiranya pendapat engku, rangkayo, serta encik sekalian?
Agaknya dunsanak kita nan di mudiak bergerak cepat, telah lama tampak oleh kami postingan jerih payah mereka. Banyak bersua sumber-sumber dari Belanda oleh mereka perihal Haji Abdul Manan ini. Dan sejauh yang kami ketahui dari fesbuk, berkas-berkas dari mereka telah disampaikan kepada pihak Kecamatan, dan telah pula diterima.
Kami yakin, di kampung kita pastilah sedang keras usaha kita hendak melakukan nan serupa. Telah terbayang oleh kami kini serupa apa kiranya bayangan keadaan tersebut.
Namun berkenankah engku, rangkayo, serta encik sekalian mendengar kisah kami? Maaf engku, rangkayo, serta encik sekalian, “membaca” maksud kami.
Sekitar setahun nan silam, tempat kerja kami kedatangan salah seorang pejabat, ada urusan kerja dia ke kantor kami. Tatkala sedang duduk-duduk berehat sambil makan tengah hari, terdengar oleh kami pejabat ini berdebat dengan salah seorang rekannya. Isi perdebatan mereka ialah seputar “Pahlawan Nasional”. Kebetulan pula ketika itu baru lepas peringatan salah satu hari besar nasional.
Si pejabat berpendapat bahwa gelar Pahlawan Nasional itu tiada berguna karena pada kenyataan yang didapat sekarang banyak orang yang tak tahu dengan pahlawan nasional “Taroklah tahu dengan namanya, namun mereka tiada faham dengan sejarah diri Si Pahlawan Nasional serta apa cita-cita yang diperjuangkannya..” demikianlah kata Si Pejabat “Pahlawan Nasional itu gunanya untuk diletakkan gambarnya pada uang kertas saja..”
Kami tersenyum saja mendengarnya, Si Pejabat tersenyum pula kepada kami, kemudian dia melanjutkan “Serta kalau saya coba kenang kembali, bagi sebagian kalangan gelar Pahlawan Nasional itu ialah untuk memuaskan egonya, ego kedaerahan, kesukuan, atau lain sebagainya..” terus terang kami menjadi tersinggung dengan yang ini.
“Engku..” kata kami mencoba menjawab “Keadaan demikian dikarenakan pendidikan akan sejarah bangsa serta para pahlawan dan apa yang mereka cita-citakan itu nan tiada..” terang kami “Apalagi pada masa sekarang, pendidikan ilmu alam lebih diutamakan dari ilmu kemasyarakatan..” tambah kami.
“Benar engku..” jawabnya tersenyum lebar “Namun bagaimana tanggapan engku mengenai pendapat saya nan terakhir..” tanyanya masih dengan senyuman lebar nan memikat itu. Kami yakin, pastilah karena janggut kami ini makanya Si Pejabat tak begitu kejam bertanya kepada kami.
Kami hanya tersenyum mendapat pertanyaan tersebut, dan sebaiknya kisah ini kami tutup sampai disini. Bagaimana kiranya pendapat engku, rangkayo, serta encik sekalian?
Komentar
Posting Komentar