Batando (Hal-Ihwal)
[caption id="attachment_1644" align="alignleft" width="300"] Hamparan sawah di Joho[/caption]
Secara harfiah (bahasa) dapat diterjemahkan sebagai bertanda, yang berasal dari kata tanda dan diberi awalan ber-. Banyak orang Kamang yang memahaminya sebagai bertunangan dalam adat orang Indonesia lainnya. Namun sesungguhnya kedua perkara tersebut ialah berlainan pada hakikatnya.
Batando dalam Bahasa Minangkabau berasal dari kata tando yang diberi awal ba-. Batando maknanya ialah bahwa lelaki atau perempuan pada mata bathin bahwa mereka telah memiliki ikatan. Lalu engku dan encikpun bertanya “Bagaimana cara melihat tanda bathin itu tuanku?”
Tentulah tak dapat dilihat begitu saja dengan mata zahir, melainkan hendaklah dicari tahu dengan bertanya. Jadi jangan sembarang meminang anak orang, bertanyalah!! Itulah yang kurang di kita pada masa kini “Bertanya ialah tanda orang pandir!!” anggapan orang sekarang. Dan sebagian besar orang tak hendak dikatakan pandir.
Bertunangan ialah seorang lelaki dan perempuan bersua di hadapan keluarga. Kemudian mereka saling memasangkan cincin sebagai pertanda pengikat diri. Gunanya ialah sebagai penanda bahwa mereka sedang berada dalam ikatan dan sebentar lagi akan segera melangsungkan pernikahan. Ada juga kami lihat bahwa bukan sepasang kekasih ini yang saling memakaikan cincin melainkan ibunda mereka. Ibunda laki-laki memasangkan cincin ke jari calon menantunya, begitu pula sebaliknya.
Namun dalam adat kita di Minangkabau ini atau dalam hal ini ialah kita Orang Kamang. Batando ialah tanda pengikat hati kedua anak-kamanakan, yang dilambangkan dengan benda-benda yang dipertukarkan antara kedua keluarga. Pada beberapa nagari di Minangkabau, mereka saling mempertukarkan benda-benda pusaka milik keluarga pada saat batando ini.[1] Namun pada masa sekarang hal tersebut sudah mulai langka, kalau tak hendak kami katakan hilang.
Apa sebab? Sebab banyak diantara orang Minangkabau pada masa sekarang tidak memiliki benda pusaka. Karena habis dijual ataupun digadaikan..
Adapun kita di Kamang ini, telah lazim semenjak beberapa masa yang silam saling mempertukarkan cincin. Cincin itu dibeli - ada jua yang dibelikan oleh kerabat dekat serupa bako atau yang lainnya sebagau wujud tanda cinta kasih kepada anaknya - dan kemudian saling dipertukarkan oleh mamak-mamak kedua belah fihak. Cincin itulah yang kemudian dipakai oleh kedua kekasih ini. Namun kami tak pula tahu, semenjak kapan perkara ini berjalan di kampung kita. Karena di beberapa nagari di Minangkabau ini masih kedapatan ketika batando mereka saling menukarkan barang-barang pusaka keluarga. Di Nagari Kurai Bukittinggi masih dikerjakan orang, dimana salah seorang orang kampung kita yang menjadi urang sumando di sana pernah mengalaminya.
Begitulah batando itu engku dan encik..
[1] Pada beberapa nagari di Minangkabau, fihak perempuan biasanya menyerahkan kain songket kebesaran keluarga kepada fihak lelaki. Sedangkan fihak lelaki menyerahkan keris pusaka keluarga kepada fihak perempuan. Apabila menikah kelak, benda-benda ini kembali diserahkan kepada pemilik aslinya.
Komentar
Posting Komentar