Latar Belakang
Pada tahun 1803, tiga orang ulama pulang dari Mekah membawa paham baru yakni paham yang dibawa oleh Syeikh Muhammad bin Abdil Wahab. Paham ini mengembalikan ajaran Islam kepada aslinya yaitu kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Ketiga orang ulama itu ialah:
1. Haji Miskin dari Nagari Pandai Sikek di Luhak Agam, beliau mendapat perlawanan dari orang kampung di nagarinya sehingga beliau pun pindah ke Ampek Angkek.
2. Haji Muahammad Arif dari Nagari Sumaniak di Luhak Tanah Data, beliau inipun mendapat perlawanan pula dari orang kampung di nagarinya dan akhirnya pindah ke Nagari Lintau dan bergelarlah beliau dengan gelar “Tuanku Lintau”
3. Haji Abdurrahman dari Nagari Piobang Ldi uhak Limo Puluah Koto, beliau ini tiada mendapat perlawanan dari orang kampungnya sehingga beliau tetap dapat menetap di kampunya itu.
Lama kelamaan Haji Miskin mendapat kawan seperjuangan dari nagari-nagari di sekitar Luhak Agam, yakni:
1. Tuanku nan Renceh dari Bansa
2. Tuanku Bajangguk Hitam dari Taluak Kamang
3. Tuanku Pasia dari Pasia Kamang
4. Tuanku di Kubu Sanang
5. Tuanku di Ladang Laweh
6. Tuanku di Padang Lua
7. Tuanku di Galuang
8. Tuanku di Koto Ambalau
9. Tuanku di Lubuak Aua
10. Tuanku di Mansiangan
11. Tuanku di Cangkiang
12. Serta banyak lagi nan tak dapat dituliskan disini.
Karena hebatnya pembaharuan yang mereka jalankan sehingga sebagian dari mereka digelari oleh orang dengan gelar “Harimau nan Salapan”. Yang diangkat sebagai Imam Perang ialah Tuanku Mansiangan namun tiga orang tuanku yakni Tuanku Nan Renceh, Tuanku Bajangguk Hitam, dan Tuanku Pasia merupakan nan paling giat dan keras dalam melakukan pembaharuan. Hampir semua nagari ditaklukannya bahkan sampai ke Pasaman. Tiap nagari nan telah berhasil di rebut maka pada nagari itu ditanamlah seorang Tuan Kadhi dan seorang Imam.
Walaupun semua nagari telah taklul, namun ada jua nan tiada senang dengan gerakan Harimau nan Salapan ini. Mereka nan tiada senang itu ialah keturunan raja, bangsawan, sebagian besar para penghulu (datuk) terutama di Luhak Tanah Data. Datuk-datuk merasa kebebasan mereka tergaduh, pekerjaan mereka dihalangi, maka akhirnya meminta bantuan kepada kompeni (Belanda) untuk melawan Kaum Putih. Kompeni hendak menolong Kaum Adat ini dengan perjanjian apabila menang maka Kerajaan Minangkabau diserahkan kepada Kompeni. Para penghulu menyetujui persyaratan ini dengan pertimbangan mereka tiada memiliki kuasa untuk menyerahkan sejengkalpun tanah milik kamanakan mereka apatah ini tanah Minangkabau nan bertuah ini. Orang se Alam Minangakabau nan akan dihadapi oleh Kompeni ini. Jadi apabila menang kelak mereka dapat dengan mudah mengelak atas perjanjian dan telah dibuat dahulu. Namun sejarah berkata lain, nan memegang bedillah nan menghitam dan memutihkan bukan nan pandai bersilat lidah.
Pada suatu kali, Tuanku Lintau mengadakan pertemuan dengan bangsawan dan datuk-datuk itu, semua datuk-datuk itu menentang dengan keras. Ketika itu sangatlah marah Tuanku Lintau itu, kemudian datuk-datuk itu ditangkap dan ada pula nan kena bunuh. Oleh karena itulah para datuk itu meminta bantuan kepada Kompeni di Bandar Padang. Kompeni Belanda setelah mendapat mandat dari para datuk itu maka mulailah mereka menyerang nagari-nagari yang dipertahankan oleh Kaum Putih.
Belanda membuat sebuah benteng di Nagari Kurai yang kelak bernama Bukit Tinggi, nama benteng itu ialah Fort de Cock, didirikan di atas sebuah bukit nan bernama Bukit Jirek. Fort artinya benteng sedangkan de Cock ialah nama pemimpin angkatan perang Belanda untuk Hindia Belanda kala itu. Adapun di Batu Sangkar telah lebih dahulu dibuat Belanda sebuah benteng yang dinamai dengan Fort Vander Capellen.
Adapun benteng-bentang Kaum Putih ialah Gunung (di Padang Panjang), Pandai Sikek, Matua, Rawang, Andaleh, Ampek Angkek, Kamang, dan nan dikuasai terakhir oleh Belanda ialah Benteng di Bonjo yang dipertahankan oleh Peto Syarif atau Malin Basa atau bergelar terakhir Tuanku Imam Bonjo.
Setelah Belanda merebut Gunung, Pandai Sikek, dan Koto Laweh mereka dapat menangkap 13 (tiga belas) orang pemimpin Kaum Putih dan diberi hukuman gantung. Dalam ketiga belas orang pemimpin perang itu hanya dua orang saja yang bergelar “Tuanku” yakni Tuanku Mansiangan dan Tuanku Nan Gapuak sedangkan selebihnya bergelar “Datuak”. Jadi nyatalah disini bahwa tidak semua datuk-datuk itu nan memusuhi Kaum Putih melainkan sebahagian saja.
Diilhami sejarah ini maka timbullah keinginan untuk mengarang sebuah kisah yang akan dimainkan dalam Permainan Randai. Sebagai pengingat kepada kita semua, pelajaran bagi anak-kamanakan, dan sebagai penjaga agar marwah Minangkabau ini hendaknya dijaga jua. Serta menjadi pedoman dan pengajaran bagi generasi muda bahwa nenek moyang mereka telah berjuang mati-matian demi anak cucu dengan nama “Harimau nan Salapan”.
Komentar
Posting Komentar