Adat Istiadat Kematian
Buruak ba-ambauan, elok baimbauan, mujua sapanjang hari, malang sakijok mato. Kata pepatah, kalau terjadi sesuatu kematian, maka penduduk buek arek di kampuang tersebut akan bersegera berdatangan, pertama untuk takziah, kedua untuk menjalankan tugas kewajiban masing-masing, mana yang harus pergi ke pekuburan untuk menggali kubur, mengerjakan kayu (untuk penutup lahat) dan yang perempuan mengambil air untuk mandi si mayat[1] dan sebagainya.
Maka dalam soal kematian ini, ada pula adat istiadatnya yang berlaku yang dilaksanakan oleh dan antara anak dengan bapak, ipar dengan bisan. Adat tersebut antara lain ialah mati anak bakalang bapak, mati bapak bakalang anak. Dasar dari pepatah ini dan pelaksanaannya bukan karena adat saja, malah juga karena berdasarkan agama, adat nan basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Kalau seorang anak mati/ meninggal dunia maka kewajiban dari si bapak untuk mengafaninya, dengan menyerahkan uang Rp. 500.- menurut adat,[2] kaganti kain nan sacabiak, papan nan sahalai, begitupun sebaliknya jika si bapak yang meninggal maka kewajiban si anak yang mengafani. Hal yang sama seperti di atas juga berlaku antara suami dengan istri dan sebaliknya.
Kalau ipar bisan, induak bako yang meninggal dunia, kewajibannya ialah membawa ayam dan beras bagi yang punya kewajiban untuk itu. Seperti meninggalnya sanak/ saudara dari istri, maka pihak kaum suami hanya wajib membawa ayam demikian pula sebaliknya bila fihak suami yang meninggal adat yang sama juga berlaku.
Kalau seorang Penghulu yang meninggal dunia atau ibu dari Penghulu maka selama 7 (tujuh) hari marawa dikibarkan, tanda berkabung. Dikibarkan siang dan malam.
Selanjutnya selain dari upacara penyerahan kapan dan sebagainya itu maka ada suatu acara yang diadakan di perkuburan sesudah mayat ditanamkan. Acara tersebut ialah memintakan rela dan maaf bagi yang meninggal dunia dan ucapan terima kasih kepada buek arek,[3] nan lain-lain fihak yang telah melakukan tugas masing-masing sampai si mayat di hantarkan ke tanah nan lambang.
_____________________________________________
Catatan Kaki:
[1] Zaman dahulu belum ada pompa air listrik, air diambil ke luak (sumur) yang terkadang letaknya jauh dari rumah atau batang aia (sungai).
[2] Nilai udang berdasarkan tahun 1980
[3] Orang Kampung
Komentar
Posting Komentar