Langsung ke konten utama

Kontroversi Kaum Paderi: Jika Bukan Karena Tuanku Nan Renceh

[caption id="" align="aligncenter" width="444"] Gambar: Jokowarino[/caption]

Tulisan ini ditulis oleh Dr. Suryadi, dosen dan peneliti pada Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit Leiden, Belanda.


Masyarakat Minangkabau masa lampau pernah merasakan pengalaman pahit akibat radikalisme agama. Di awal abad ke-19, demikian catatan sejarah, dekadensi moral masyarakat Minang sudah tahap lampu merah. Golongan ulama kemudian melancarkan gerakan kembali ke syariat, membasmi bid’ah dan khurafat. Mereka melakukannya dengan pendekatan persuasif melalui dakwah dan pengajian. Namun, kemudian muncullah seorang yang radikal dan militan di antara mereka: ia bersama pengikutnya memilih jalan kekerasan. Akibatnya, pertumpahan darah antara sesama orang Minangkabau tak terhindarkan, yang menorehkan lembaran hitam dalam sejarah Minangkabau. Siapa lagi ulama yang radikal itu kalau bukan Tuanku Nan Renceh.


Ingat nama Tuanku Nan Renceh, ingat pada Perang Paderi. Dialah panglima Paderi yang paling militan dan ditakuti. Sosoknya tidak sejelas namanya yang sudah begitu sering disebut dalam buku-buku sejarah. Tak banyak data historis mengenai dirinya. Hanya ada catatan-catatan fragmentris yang terserak di sana-sini. Tulisan ini mencoba merekonstruksi sosok Tuanku Nan Renceh berdasarkan berbagai catatan tersebut, baik yang berasal dari sumber asing (Belanda) maupun dari sumber pribumi sendiri.


Tuanku Nan Renceh berasal dari Kamang Ilia, Luhak Agam. Kurang jelas kapan persisnya ia dilahirkan, tapi pasti dalam paruh kedua tahun 1770-an.[1] Tak ada catatan historis mengenai masa mudanya. Namun, sedikit banyak dapat direkonstruksi melalui satu sumber pribumi, yaitu Surat Keterangan Syekh Jalaluddin (SKSJ) karangan Fakih Saghir, salah seorang ulama Paderi dari golongan moderat (lihat transliterasi SKSJ oleh E. Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir: Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: DBP, 2002).


Menurut SKSJ (yang ditulis sebelum tahun 1829), di masa remaja Tuanku Nan Renceh, di darek (pedalaman Minangkabau) muncul seorang lama berpengaruh, yaitu Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampat Angkat. Banyak orang belajar agama kepadanya, yang datang dari berbagai nagari di Minangkabau, termasuk pemuda (Tuanku) Nan Renceh. Murid-murid Tuanku Nan Tuo yang sebaya dengan Tuanku nan Renceh antara lain Fakih Saghir. Mangaraja Onggang Parlindungan dalam bukunya yang kontroversial, Tuanku Rao ([Djakarta]: Tandjung Pengharapan, [1964]:129) mengatakan bahwa Tuanku Nan Renceh juga belajar agama Islam ke Ulakan.


Tahun-tahun terakhir abad ke-18 Tuanku Nan Renceh sudah aktif berdakwah bersama sahabatnya, Fakih Saghir. Mereka “berhimpun…dalam masjid Kota Hambalau di Nagari Canduang Kota Lawas” (Kratz & Amir: 23). Mereka telah berdakwah selama empat tahun lamanya sebelum kemudian Haji Miskin (salah seorang pencetus Gerakan Paderi) pulang dari Mekah pada tahun 1803 (ibid.:25). Berarti, paling tidak Tuanku Nan Renceh, yang waktu itu masih seorang ulama muda, sudah aktif berdakwah sejak tahun 1799, beberapa tahun sebelum gerakan Paderi resmi dimulai oleh Haji Miskin, Haji Sumaniak, dan Haji Piobang.


Tampaknya bintang Tuanku Nan Renceh cepat bersinar, dan itu karena satu hal: sikapnya yang sangat radikal dan militan. Ia segera melibatkan diri sepenuh hati dan jiwa ke dalam Gerakan Paderi. Ini mungkin karena berita tentang Negeri Mekah yang didengarnya dari tiga haji yang baru pulang dari sana. Tak ada bukti bahwa Tuanku Nan Renceh pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci. Tapi sudah biasa terjadi dalam soal Islam bahwa pendengar jadi lebih fanatik daripada yang mengalami sendiri pergi ke Mekah.


Di awal tahun 1820-an Tuanku Nan Renceh sudah menjadi salah seorang komandan perang Kaum Paderi yang menguasai lima nagari, yaitu Kamang, Bukik, Salo, Magek, dan Kota Baru.[2] Ia dan pasukannya sangat ditakuti: bila mereka menyerang suatu nagari dapat dipastikan bahwa nagari itu menderita. Tarup (lumbung padi) dan rumah dibakar, penduduk yang melawan dibunuh atau ditawan. Fakih Saghir dalam SKSJ menggambarkan aksi bengis pasukan Tuanku Nan Renceh ketika menyerang nagari Tilatang: “Maka sampailah habis nagari Tilatang dan banyaklah [orang] berpindah dalam nagari; dan sukar menghinggakan ribu laksa rampasan, dan orang terbunuh dan tertawan lalu kepada terjual, dan [wanita] dijadikannya gundi’nya [gundiknya]”. Yang melakukan perbuatan kejam itu kebanyakan pengikut Tuanku Nan Renceh dari Salo, Magek, dan Kota Baru, sehingga pihak lawan menghina mereka dengan istilah “kerbau yang tiga kandang” (Kratz & Amir: 37), sebab perbuatan mereka dianggap sudah sama dengan perilaku binatang.


Fakih Saghir menyebutkan bahwa Tuanku Nan Renceh “kecil tubuhnya” (Kratz & Amir: 24), yang memang bersesuaian dengan namanya (kata Minang renceh berarti kecil, lincah, dan bersemangat). H.A. Steijn Parvé dalam “De secte der Padaries in de Padangsche Bovenlanden” (Indisch Magazijn [selanjutnya IM]1, 1e Twaalftal, No.4:21-40) menyebutkan bahwa Tuanku Nan Renceh bertubuh kecil, kurus, bertabiat bringasan, dan memiliki sinar mata yang berapi-api—cerminan dari sifat radikal dan keras hatinya. Pakaiannya mungkin seperti pakaian kebanyakan pengikut Paderi, seperti yang dideskripsikan oleh P.J. Veth dalam “De Geschiedenis van Sumatra,” (De Gids 10e Jrg., Januarij: 1850, hal. 21), Thomas Stamford Raffles dalam Memoir of of the Life and the Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles editan Lady Sofia Raffles (Singapore: Oxford University Press, 1991 [reprinted ed.]: 349-50), atau sketsa visual oleh [E.] Francis dalam “Korte Beschrijving van het Nederlandsch Grondgebied ter Westkust Sumatra 1837” (Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië [selanjutnya TNI] 2-1, 1839: 28-45, 90-111, 131-154, hal. [141]): rambut dicukur, jenggot dipanjangkan, tasbih dan pedang selalu jadi ‘pakaian’, sorban dan jubah panjang hingga bawah lutut berwarna putih, membawa Al-Quran yang ditaruh dalam kantong merah yang digatungkan di leher (ini hanya khusus buat ulama/panglima Paderi) (lihat ilustrasi).


Tak ada riwayat apapun tentang keluarga Tuanku Nan Renceh. Nama kecilnya juga tidak diketahui. Hanya ada sedikit kisah tragis bahwa ia memulai jihadnya dengan cara sadis: ia menyuruh bunuh bibinya sendiri—menurut Mangaraja Onggang Parlindungan (op cit.:134) ibu Tuanku Nan Renceh sendiri yang bergelar “orang kaya” (urang kayo)—yang tidak mau mengikuti perintahnya berhenti makan sirih, yang dianggap kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam. Mayatnya tidak dikuburkan tapi dibuang ke hutan karena dianggap kafir (lihat: Muhamad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838), Djakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P. dan K., 1954:18-19; Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dan Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah 1784-1847, terj. Lilian D. Tedjasudhana. Jakarta INIS, 1992: 158). Dengan begitu, Tuanku Nan Renceh cepat mendapat pengikut dari mereka yang berjiwa militan.


Naskah SKSJ mencatat bahwa akhirnya Tuanku Nan Renceh memusuhi Tuanku Nan Tuo yang tetap memegang sikap moderat dalam memperjuangan cita-cita Gerakan Paderi. Tuanku Nan Tuo mengecam cara-cara di luar peri kemanusiaan yang dilakukan oleh Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya terhadap penduduk nagari-nagari yang mereka taklukkan. Tuanku Nan Renceh menghina ulama kharismatik yang dituakan di darek itu dengan menyebutnya sebagai “rahib tua” dan Fakih Saghir, sahabat dan bekas teman seperguruannya, digelarinya “Raja Kafir” dan “Raja Yazid” (Kratz & Amir: 41).


Perpecahan di kalangan pemimpin Paderi tak terelakkan: Tuanku Nan Renceh membentuk kelompok sendiri yang terkenal dengan sebutan “Harimau Nan Salapan” yang militan, yaitu Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galuang, Tuanku di Kota Hambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Bansa dan Tuanku Nan Renceh sendiri (Kratz & Amir: 39). Mereka memisahkan diri dari Tuanku Nan Tuo dan mencari patron (imam besar) yang baru, yaitu Tuanku di Mansiang. Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya pun beberapa kali berusaha membunuh Tuanku Nan Tuo. Ia menganggap mantan gurunya itu menghalang-halangi tujuannya dan terus-menerus mengeritik jalan radikal yang ditempuhnya bersama pengikutnya. Namun, seperti diceritakan Fakih Saghir dalam SKSJ, upaya pembunuhan itu gagal.


Seperti diuraikan oleh seorang penulis berinisial v.D.H. dalam artikelnya “Oorsprong der Padaries (Eene secte op de Westkust van Sumatra)” (TNI 1.I, 1838: 113-132), Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya yang militan kemudian menjadi lebih terkenal, meredupkan pamor kelompok moderat (Tuanku Nan Tuo dan pengikutnya). Dalam tahun 1820-an, pengikut golongan radikal itu makin banyak di Luhak Nan Tigo. Mereka mewajibkan kaum lelaki memelihara jenggot, yang mencukurnya didenda 2 suku [1 suku = 0,5 Gulden); memotong gigi didenda seekor kerbau; lutut terbuka didenda 2 suku; wanita yang tidak pakai burka didenda 3 suku; memukul anak didenda 2 suku; menjual/mengkonsumsi tembakau didenda 5 suku; memanjangkan kuku, jari dipotong; merentekan uang didenda 5 shilling; meninggalkan shalat pertama kali didenda 5 suku, jika mengulanginya dihukum mati (lihat: B.d., “De Padries op Sumatra”, IM 2e Twaalftal, No. 5&6, 1845 [1827]:167-180, hal.172).


Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya menjadi momok besar bagi masyarakat Minang waktu itu, khususnya Kaum Adat. Semakin meluasnya pengaruh faksi radikal Kaum Paderi yang dibidani oleh Tuanku Nan Renceh telah mendorong Kaum Adat minta bantuan kepada Belanda. Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek kepada Kompeni dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut “mengundang” sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815.


Namun saya tidak menemukan data sejarah yang menunjukkan bahwa Tuanku Nan Renceh pernah berhadapan langsung dengan Belanda di medan pertempuran. Dalam penyerangan ke Kamang pada 1822 Belanda hanya berhadapan dengan pasukan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Nan Gapuak. Catatan-catatan fragmentaris dalam dokumentasi Belanda terhadap Tuanku Nan Renceh lebih didasarkan atas cerita-cerita orang Minang sendiri, bukan dari pertemuan langsung dengan panglima Paderi itu. Harap dicatat bahwa apa yang terjadi di pedalaman Minangkabau tetap masih gelap bagi orang Eropa sampai akhirnya Thomas Stamford Raffles berkunjung ke Pagaruyung pada 16-30 Juli 1818. Sebelumnya, orang Inggris dan Belanda di pantai memang mendengar ada perseteruan antarsesama orang Minang di pedalaman, tapi mereka hanya dapat kabar berita dari para pedagang yang pergi ke pantai tanpa menyaksikan sendiri dengan mata-kepala mereka apa sesungguhnya yang terjadi di pedalaman. Mungkin karena itu pula sampai akhir hayatnya, sosok Tuanku Nan Renceh tetap lebih banyak mengandung misteri, sebab tak banyak sumber Belanda yang mencatatnya.


[Vigelius] dalam “Fragmenten eener beschrijving van Sumatra’s Westkust.” (TNI 13.II, Afl.7, 1851: 7-16, hal.11) dan E. Francis dalam Herinneringen uit den levensloop van een ‘Indish’ Ambtenaar van 1815 tot 1851, Vol.3 (Batavia: H.M. van Dorp, 1859, hal. 73) mengatakan bahwa Tuanku Nan Renceh wafat tahun 1832 di ‘Medjang’, sebuah desa dalam wilayah Laras Bukit, Luhak Agam (mungkin yang dimaksud adalah desa Mejan di Kamang). Menurut Naskah Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh wafat karena sakit: “Kemudian daripada itu maka tersebut pula perkataan [berita; Suryadi] Tuanku Nan Renceh dapat sakit. Dengan takdir Allah taala tidak berapa lamanya dalam sakit itu dan berpulanglah [ia] ke rahmatullah adanya” (Naskah hal.58 dalam Sjafnir Aboe Nain [tansliterator], Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2004, hal. 48). Pada tahun wafatnya Tuanku Nan Renceh, pusat Gerakan Paderi sudah pindah ke Bonjol, dengan pemimpin utamanya Tuanku Imam Bonjol, salah seorang panglima Paderi yang ‘dibesarkan’ oleh Tuanku Nan Renceh sendiri.


Tahun-tahun berikutnya Benteng Bonjol dikepung Belanda, hingga akhirnya jatuh pada 17 Agustus 1837. Sumber-sumber pertama (bronnen) yang mencatat pengepungan itu pada tahun-tahun terakhir sebelum Bonjol jatuh dapat dibaca dalam karya Gerke Teitler, Het einde Padri Oorlog: het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: een bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi. Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; sebuah publikasi sumber]. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2004). Di dalam buku itu antara lain terdapat “Journaal van de expeditie naar Padang onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden door de Majoor Sous-Chief van den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis” (hal.59-183). Dalam laporan itu dicatat pergerakan harian pasukan Belanda mendekati bonjol. Laporan itu dihiasi dengan banyak sketsa mengenai sistem pertahanan Kaum Paderi.


Sulit untuk dibantah bahwa sepak terjang golongan radikal dalam Kaum Paderi yang dibidani Tuanku Nan Renceh telah semakin memperkuat keinginan Kaum Adat untuk minta bantuan kepada Belanda, karena mereka betul-betul merasa dihinakan oleh orang-orang yang masih satu suku bangsa dengan mereka sendiri.


Tuanku Nan Renceh adalah sosok kontroversial: seorang penganjur agama Islam tapi dalam melakukan misinya sudah melewati dogma-dogma Islam sendiri. Tangannya terlalu banyak berlumur darah sudara-saudaranya sendiri sesama orang Minang. Masih untung kekeliruan ini akhirnya disadari oleh Tuanku Imam Bonjol, ulama Paderi penerus Tuanku Nan Renceh (lihat Sjafnir Aboe Nain, op cit., hal. 39, Naskah). Jika Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya tidak bersikap radikal, mungkin jalan sejarah Minangkabau (Perang Paderi) akan jadi lain.


Masa lalu tak akan kembali. Tapi “jangan sekali-kali melupakan sejarah”, kata almarhum Presiden Sukarno. Untuk konteks kekinian masyarakat kita, kisah Tuanku Nan Renceh patut menjadi cermin sejarah bagi generasi Minangkabau dan generasi Indonesia pada umumnya, baik kini maupun masa depan, terutama bagi mereka yang tangannya menggenggam kekuasaan, yang tak sadar apa akibatnya jika dengan sikap radikal dan taklid menjadikan agama sebagai komoditas politik.


———————-
Suryadi, dosen dan peneliti pada Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit Leiden, Belanda (homepage:http://www.indonesisch.leidenuniv.nls.suryadi@let.leidenuniv.nl)
http://naskahkuno.blogspot.com/2007/11/kontroversi-kaum-paderi-jika-bukan.html 16.11.07


Tulisan ini dimuat di: https://niadilova.wordpress.com/2007/11/16/kontroversi-kaum-paderi-jika-bukan-karena-tuanku-nan-renceh/


============================================


Catatan Tuanku Bajangguk Itam:




  1. Dalam tulisan ini disebutkan kalau Tuanku Nan Renceh dari Kamang Ilia

  2. Ada lima nagari dibawa kekuasaan Tuanku Nan Renceh yakni Nagari Kamang, Bukik, Magek, Salo, dan Koto Baru. Bukik adalah nama salah satu Jorong di Kamang Mudiak sekarang dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa benarlah nan sebenar Kamang itu ialah Kamang Hilir sekarang.

  3. Tulisan ini kebanyakan mengambil sumber dari sumber-sumber Belanda yang saat itu sedang berperang dengan Paderi dan sangat benci akan golongan putih ini. Akan halnya kita dalam pergaulan apabila hendak mengetahui kebaikan seseorang maka tanyailah kawannya namun apabila hendak mengetahui keburukannya maka tanyailah lawannya. Dan lagipula pihak Belanda yang menulis laporan – dan laporan tersebut menjadi sumber bagi tulisan ini – mengaku tidak pernah bertemu langsung dengan Tuanku Nan Renceh.

  4. Islam di Minangkabah akan serupa dengan Islam yang berlaku di Jawa apabila tidak terjadi Gerakan Paderi dan Perang Paderi. Dan tentu saja Muhammadiyah takkan kuat disini. Di negeri Melayu lainnya di Pulau Sumatera banyak nan menganut paham dari NU.


____________________________


Catatan Kaki:


[1] Kami meralat dari teks asli yang berangka 1870-an, kami berpendapat kesalahan ketik karena Gerakan Paderi berlasung antara tahun 1803-1821 dan Perang Paderi berlasung antara 1821-1838. Banyak orang menyamakan Perang Paderi dengan Gerakan Paderi, sesungguhnya kedua hal tersebut berbeda. Gerakan Paderi antara Ulama dengan Kaum Adat. Adapun Perang Paderi antara Ulama + Kaum Adat melawan Belanda (Tuanku Bajangguk Itam)


[2] Mungkin Maksudnya Nagari Koto Baru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Katam Kaji

[caption id="attachment_779" align="alignright" width="300"] Salah satu gambar yang kami dapat dari kampung[/caption] Terdengar oleh kami telah tiba pula musim Katam Kaji [1] di kampung kita. Pada hari Ahad yang dahulu (22 Juni 2013) kami dengar kalau orang di Surau Tapi yang ba arak-arak. [2] Kemudian pada hari Kamis yang lalu (27 Juni 2013) tiba pula giliran orang Joho dan sekarang hari Ahad (30 Juni 2013) merupakan tipak [3] orang Koto Panjang yang berarak-arak. Memanglah pada pekan-pekan ini merupakan pekan libur sekolah bagi anak-anak sekolah. Telah menerima rapor mereka. Memanglah serupa itu dari dahulu bahwa Katam Kaji dilaksanakan oleh orang kampung kita disaat libur sekolah. Namun ada juga yang berlainan, seperti orang Dalam Koto yang akan melaksanakan selepas Hari rayo Gadang [4] dan Orang Taluak yang kabarnya akan mengadakan selepas Hari Raya Haji . [5] Kami tak pula begitu jelas pertimbangan dari kedua kampung tersebut. Mungkin engku dan

29. Tata Upacara Adat Minangkabau: Upacara Batagak Pangulu

UPACARA BATAGAK PANGULU Salah satu upacara atau alek ( ceremony ) adat Minangkabau yang paling sakral yang mendapatkan perhatian dan perlakukan khsus adalah Batagak Pangulu atau ada juga yang menyebutnya Batagak Gala .  Upacara ini merupakan peristiwa pentasbihan dan pengambilan atau pengucapan sumpah serta janji seorang Pangulu pada saat ia diangkat dan dinobatkan sebagai pemimpin kaum yang bergelar Datuak. Upacara adat ini sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana firman Allah mengingatkan: Sesungguhnyan orang-orang yang menukar janji ( nya dengan Allah ) dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit maka mereka itu tidak mendapat bahagian dari ( pahala ) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kahirat dan tidak ( pula ) akan menyucikan mereka. Bagi mereka adalah azab yang pedih (QS:3:77). Pada bagian lain Allah juga mengingatkan: “ Dan janganlah kamu mengikuti orang yang selalu bersumpah, lagi yang hina ” (QS 6

Luak Gadang & Luak Kaciak

Luak , begitu sebagian orang Minang menyebutnya. Atau orang sekarang lebih mengenalnya dengan sebutan sumua atau sumur. Luak adalah sumber untuk mengambil air bagi sekalian orang, sebelum dikenalnya sistim penyaluran air oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) sekarang. Pada masa sekarang, hampir sekalian rumah di Kamang memiliki luak namun tidak demikian pada masa dahulu. Dahulu luak hanya dimiliki oleh sebagian keluarga dan itupun tidak berada di dekat rumah melainkan agak jauh dari rumah. sehingga menyebabkan untuk mengambil air orang-orang harus berjalan agak jauh. [caption id="attachment_749" align="alignleft" width="300"] Luak Gadang[/caption] Adalah Kampuang Lubuak sebuah kampung di Jorong Nan Tujuah di Kamang. Kampung ini memiliki luak kampung yang bernama Luak Gadang dan Luak Kaciak. Kedua luak ini memiliki kegunaan (fungsi) yang berbeda. Luak Gadang berguna untuk mencuci dan mandi sedangkan Luak Kaciak berguna untuk mengambil air minum