Minang Saisuak #177 – Empat Kepala Distrik Minangkabau “Studi Banding”
Di halaman pertama salah satu edisi BintangHindia terdapat foto yang kami turunkan dalam rubrikMinangsaisuak minggu ini. Foto itu mengabadikan empat pemimpin lokal Minangkabau yang diberi kesemparan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Sumatra Barat untuk melakukan ’studi banding’ ke Jawa.
Seperti dapat dibaca dalam caption foto ini, keempat tokoh ini adalah: 1) Datuak Batuah (Kepala Laras Tilatang)[1]; 2) Datuak Bandaro Panjang (Kepala Laras Banuhampu); 3) Datuak Kayo (Kepala Laras IV Koto), dan; 4) Mas Warido (Mantri Kopi Kelas 1 di Tilatang dan Wakil Laras Magek dan Salo)[2]. Yang terakhir ini adalah seorang Jawa, tapi dalam foto ini kelihatan dia juga memakai saluak, menandakan dia sudah begitu menyatu dengan budaya Minangkabau.
Keempat orang ini diutus Pemerintah ke Jawa dalam rangka “om meer kennis dan zij reeds bezitten op de doen van akker- en tuinbouw, ooft- en veeteelt, nijverheid, kunstnijverheid en nijverheidkunst, alles in het belang de bevolking” yang kurang lebih artinya: ‘untuk menambah pengetahuan mereka di bidang pertanian dan holtikultura, buah-buahan dan peternakan, dan barang-barang kerajinan dan industri seni, yang akan bermanfaat guna meningkatkan kesejahteraan penduduk’.
Sebuah artikel di halaman berikutnya (38-9) yang ditulis oleh A.R. yang berjudul ‘Oetoesan orang Minangkabau’ lebih menjelaskan konteks foto ini. Rupanya keempat utusan ini diutus ke Jawa untuk mempelajari cara-cara orang Jawa bertani, beternak, dan membuat barang-barang kerajinan (seperti batik, dll.). Diharapkan hal itu akan dapat pula ditiru oleh masyarakat Minangkabau yang dianggap belum semaju orang Jawa.
Inisiatif untuk mengutus keempat orang ini datang dari Asisten Residen L.C. Westenenk. Orang ini keras sifatnya tapi tujuannya baik: berusaha memajukan orang Minangkabau, antara lain dengan membuat pameran (tentonstelling) guna mempromosikan hasil kerajinan rakyat Minangkabau, membuat pasar malam (lih: Minangsaisuak 19-12-2010), mendirikan sekolah tukang di Bukittinggi dan sekolah tenun di Singkarak (lih: Minangsaisuak 5-1-2014), memajukan olah raga pacu kuda, dan lain sebagainya. Westenenk juga pernah mau mengirim Rohana Kudus ke Belanda tahun 1913 untuk mempromosikan barang kerajinan Koto Gadang, tapi batal berangkat karena tidak mendapat izin dari keluarganya.
Ongkos perjalanan Datuak Batuah dkk ke Jawa diambilkan Westenenk dari keuntungan yang diperoleh dari acara Pasar Malam di Fort de Kock (1906/7) dan sumbangan dari Direktur Escoponto Maatschappij J. Dinger.
Tidak diketahui apakah keempat orang itu pernah menulis laporan perjalanan mereka ke Jawa itu, tapi kemungkinan tidak karena budaya tulis di kalangan masyarakat kita, bahkan sampai sekarang pun, masih lemah. Ini beda, misalnya, dengan seorang bangsawan Jawa bernama Raden Arya Darmabrata yang pernah berkunjung ke Sumatra Barat dan menulis catatan perjalanannya Cariyos ing nagari Padhang (Batavia: Landsdrukkerij 1876).
Jadi, rupanya, budaya ’studi banding’ sudah lama dikenal dalam budaya politik kita. Tapi kita tidak tahu apakah kualitasnya makin baik atau justru sebaliknya.
Suryadi – Leiden, Belanda, (Sumber foto: BintangHindia Tahoen Kelima, Nomor 4, 1 Juni 1907:37) | Singgalang, Minggu, 1 Juni 2014
Lihat tulisan asli di blog: https://niadilova.wordpress.com/2014/06/02/minang-saisuak-177-empat-kepala-distrik-minangkabau-studi-banding/
_____________________________
Catatan Kaki oleh Tuanku Bajangguk Itam:
[1] Datuak Batuah ialah Kepala Laras Tilatang yang pada Perang Kamang 1908 memihak kepada Belanda. Tampaknya ia dikirim ke Jawa setahun sebelum Perang Kamang meletus pada 15 Juni 1908.
[2] Agus Warido ialah Mantri Kopi yang berkedudukan di Nagari Magek. Kepada dialah salah seorang penduduk berusaha membayar pajak yang menjadi provokasi sehingga meletusnya Perang Kamang.
Komentar
Posting Komentar