SEBUAH KISAH DARI ALBUM TEMPO DOELOE
GAMBAR foto ini dibuat lebih kurang 63 tahun yang lalu berlokasi di kota Solok (Sumatera Barat). Ibu yang terlihat pada gambar bernama MARIAH, sedang berpose bersama tiga orang putera-puterinya di masa itu. Si Bapak dalam keluarga ini tidak sempat ikut bersama berpotret, karena fotografer datang untuk opname saat beliau lagi tournee ke daerah pedalaman dalam afdeeling Solok (sekarang kabupaten Solok). Kaharuddin, suami Mariah, pada masa itu mempunyai kedudukan sebagai “Onderdistrictshoofd” (camat) dengan pangkat Assisten Demang.
Sebelum Mariah dan Kaharuddin menikah dalam tahun 1926, masing-masingnya adalah si isteri tamatan Hollandsch Inlandsche School (HIS= SD 7 tahun) di Sigli Aceh dan sang suami tamatan Opleidings school voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA= Sekolah Pangreh-praja) di Fort de Kock (Bukittinggi). Oleh teman-teman beliau, Mariah dipanggilkan sehari-hari dengan nama kecil Mari tapi oleh suami tercinta dipanggilkan Iyah. Sebaga isteri pejabat pemerintahan di zaman kolonial Belanda dulu, orang-orang diluar lingkungan keluarga memanggilkan beliau dengan sebutan “rangkayo” atau di lingkungan yang berbahasa Belanda dipanggilkan “mevrouw Kahar”. Istilah “rangkayo” ini mulai menghilang di dalam masyarakat Minangkabau/Sumatera Barat sejak datangnya militer Jepang dan menguasai pemerintahan di Indonesia (1942-1945). Sampai dewasa ini dalam masa alam kemerdekaan Republik Indonesia, panggilan rangkayo untuk isteri-isteri pejabat di Minangkabau/Sumatera Barat boleh dikatakan tidak kedengaran lagi.
Sejak Kaharuddin memangku gelar Datuk Rangkayo Basa (1936) maka kedua-duanya suami isteri ini dipanggilkan rangkayo, Cuma untuk Kaharuddin banyak dipergunakan di lingkungan keluarga dengan “Rangkayo Basa”. Sejak zaman pemerintahan penjajahan Jepang, di Indonesia mulai dipakai panggilan “ibu” bagi isteri-isteri pejabat, maka Mariah sering juga dipanggilkan dengan sebutan “ibu datuk” atau “ibu Rangkayo Basa”.
Dengan mengalami aneka ragam suka-duka mengikuti perjalanan dan perembangan pemerintahan di zaman Hindia Belanda, zaman pemerintahan militer Jepang sampai ke perjuangan menegakkan dan mempertahankan Republik Indonesia, Ny. Kaharuddin atau ibu Datuk mempunyai pengalaman dan perjuangan sendiri sebagai seorang isteri ambtenaar, pegawai negeri/pejabat pamongpraja dan kepolisian. Sesuai dengan perkembangan kedudukan suami maka ibu Datuk, pernah menjadi isteri Asisten Demang, Asisten Wedana Polisi, Kepala Polisi Padang Luar Kota, Kepala Polisi Keresidenan Riau, Kepala Polisi Kota Padang, Kepala Polisi Provinsi Sumatera Tengah dan isteri Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat. Zaman orde lama Gubernur Kepala Daerah juga merangkap jabatan Ketua DPRD Gotong Royong, berarti ibu Datuk juga pernah menjadi Nyonya/Ibu Ketua DPRD-GR Sumbar (1958-1965).
Pada umurnya yang ke 72, Ny. Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa memperoleh penghargaan berupa pe-nyerahan Piagam dan Medali Melati dari Pimpinan Pusat Bhayangkari (organisasi isteri-isteri POLRI) karena kesetiaannya selalu mendampingi suami dalam perjuangan serta jasa-jasa dalam keikut-sertaan pembinaan persatuan/organisasi polisi pada masa-masa lampau dalam wilayah Sumatera Tengah. Piagam dan Medali tersebut diserahkan pada tanggal 19 Oktober 1983 mengambil tempat di Balai Pertemuan Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa di jl. Ir. Juanda (Lolong) Padang. Brigjen Pol. Purn. K. Dt. Rangkayo Basa meninggal 1 April 1981 dan tidak sempat menyaksikan penghargaan bagi isterinya.
Anak-anak yang terlihat pada foto, yang dipangku adalah Djohari dan putra yang berdiri adalah Adrin sedangkan puteri yang berdiri adalah Mariati. Ibu Mariah pada tanggal 11 November 1994 tahun ini berumur 83 tahun dan beralamat sekarang di jl. Tan Malaka no. 8 Padang, menghuni rumah sederhana yang telah menjadi pemukimannya sejak tahun 1950.
Adrin Kahar (Haluan Minggu, 27 November 1994)
Catatan:
Ibu Mariah telah meninggal dunia pada tanggal 9 Mei 2008 di Jakarta dalam usia 96 tahun.
Lihat lebih lanjut di: https://aswilblog.wordpress.com/category/adrin_kahar/page/2/
[…] Panggilan Rangkayo mulai menghilang dimasa Kolonial Jepang dan mungkin seiring dengan itu panggila…. Dimasa-masa tahun sembilan puluhan panggilan Tuan masih terdengar oleh kami yang acap dipandankan dengan Nyonya namun panggilan itu mulai menghilangkan digantikan dengan Bapak dan Ibu. […]
BalasHapus