Langsung ke konten utama

Keluarga di Minang

[caption id="" align="aligncenter" width="605"] Gambar: http://visualheritageblog.blogspot.co.id[/caption]

Dahulu mungkin engku, rangkayo, serta encik sekalian acap mendengar orang tua-tua di kampung kita, apabila mereka bersua dengan orang di luar kampung, bertanya perihal nagari asal, suku, dan kemudian gelar. Apabila orang nan ditanya rupanya bersuku sama dengan mereka maka orang tua-tua di kampung kita akan berujar "Hah, kamanakan saya engku muda ini rupanya.."


Atau kalau tidak, semisal bersukukan sama dengan ayahanda mereka maka akan dijawab "Bako saya engku ini rupanya.."


Tak hanya di kampung, melainkan di rantaupun demikian pula. Kami pernah mendapat kisah dari salah seorang orang tua di kampung kita nan mengisahkan pengalamannya di rantau orang. Bersua dengan orang nan berlainan nagari namun sesuku maka orang itu menampung dirinya "Kamanakn saya engkau ini rupanya.." demikianlah. Padahal tiada memiliki hubungan darah.


Demikianlah tingginya silaturahim antara kita orang Minangkabau dahulunya, entahlah kini kami tiada faham benar. Berikut ini kami kisahkan perihal kesaksian salah seorang anak dari Kepala Laras di tahun 1910an, begini kisahnya:


Tetapi, ayah saya banyak menolong orang, mengakui mereka itu sebagai kamanakan beliau. Ini dapat saja terjadi di Minang sebab arti famili di Minang amat luas, tidak seperti orang Barat yang menganggap famili hanya ayah, ibu, dan anak saja. Paham itu tidak ada di Minang. Bagi mereka ada yang separuik (kelompok serahim, ditarik dalam silsilah sampai ke seorang nenek moyang perempuan yang mendiamisebuah rumah gadang), sepayung (kelompok matrilineal yang punya satu kepala kampung yang sama), sesuku (klan matrilineal yang punya satu nenek moyang perempuan pertama yang sama dalam satu nagari), dan belahan (sanak saudara yang sudah meninggalkan kampung halaman).


Melalui kata-kata ini mereka berkeluarga atau berfamili, biarpun daerahnya berbeda. Oleh karena itu, sukar untuk mengatakan bahwa seorang Minang punah (istilah untuk suatu keluarga tanpa anak perempuan dan karena itu tidak ada keturunan untuk menerima warisan suku), selalu saja ada kapak rambainya (sanak-saudara yang lebih jauh yang bisa melanjutkan).


Aman, Nostalgia Liau Andeh, 35


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Katam Kaji

[caption id="attachment_779" align="alignright" width="300"] Salah satu gambar yang kami dapat dari kampung[/caption] Terdengar oleh kami telah tiba pula musim Katam Kaji [1] di kampung kita. Pada hari Ahad yang dahulu (22 Juni 2013) kami dengar kalau orang di Surau Tapi yang ba arak-arak. [2] Kemudian pada hari Kamis yang lalu (27 Juni 2013) tiba pula giliran orang Joho dan sekarang hari Ahad (30 Juni 2013) merupakan tipak [3] orang Koto Panjang yang berarak-arak. Memanglah pada pekan-pekan ini merupakan pekan libur sekolah bagi anak-anak sekolah. Telah menerima rapor mereka. Memanglah serupa itu dari dahulu bahwa Katam Kaji dilaksanakan oleh orang kampung kita disaat libur sekolah. Namun ada juga yang berlainan, seperti orang Dalam Koto yang akan melaksanakan selepas Hari rayo Gadang [4] dan Orang Taluak yang kabarnya akan mengadakan selepas Hari Raya Haji . [5] Kami tak pula begitu jelas pertimbangan dari kedua kampung tersebut. Mungkin engku dan

29. Tata Upacara Adat Minangkabau: Upacara Batagak Pangulu

UPACARA BATAGAK PANGULU Salah satu upacara atau alek ( ceremony ) adat Minangkabau yang paling sakral yang mendapatkan perhatian dan perlakukan khsus adalah Batagak Pangulu atau ada juga yang menyebutnya Batagak Gala .  Upacara ini merupakan peristiwa pentasbihan dan pengambilan atau pengucapan sumpah serta janji seorang Pangulu pada saat ia diangkat dan dinobatkan sebagai pemimpin kaum yang bergelar Datuak. Upacara adat ini sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana firman Allah mengingatkan: Sesungguhnyan orang-orang yang menukar janji ( nya dengan Allah ) dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit maka mereka itu tidak mendapat bahagian dari ( pahala ) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kahirat dan tidak ( pula ) akan menyucikan mereka. Bagi mereka adalah azab yang pedih (QS:3:77). Pada bagian lain Allah juga mengingatkan: “ Dan janganlah kamu mengikuti orang yang selalu bersumpah, lagi yang hina ” (QS 6

Luak Gadang & Luak Kaciak

Luak , begitu sebagian orang Minang menyebutnya. Atau orang sekarang lebih mengenalnya dengan sebutan sumua atau sumur. Luak adalah sumber untuk mengambil air bagi sekalian orang, sebelum dikenalnya sistim penyaluran air oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) sekarang. Pada masa sekarang, hampir sekalian rumah di Kamang memiliki luak namun tidak demikian pada masa dahulu. Dahulu luak hanya dimiliki oleh sebagian keluarga dan itupun tidak berada di dekat rumah melainkan agak jauh dari rumah. sehingga menyebabkan untuk mengambil air orang-orang harus berjalan agak jauh. [caption id="attachment_749" align="alignleft" width="300"] Luak Gadang[/caption] Adalah Kampuang Lubuak sebuah kampung di Jorong Nan Tujuah di Kamang. Kampung ini memiliki luak kampung yang bernama Luak Gadang dan Luak Kaciak. Kedua luak ini memiliki kegunaan (fungsi) yang berbeda. Luak Gadang berguna untuk mencuci dan mandi sedangkan Luak Kaciak berguna untuk mengambil air minum