Urusan perkawinan atau pernikahan di Minangkabau ini telah lama menjadi urusan bersama atau kaum-kerabat. Mulai dari awal yakni pencarian jodoh hingga helat pernikahan, kesemuanya ditanggung oleh keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa dalam sudut pandang (perspektif) Kebudayaan Minangkabau mengajarkan bahwa tidak ada manusia yang hidup sendiri (sebatang kara). Bahkan tak jarang dalam urusan pernikahan ini, Si Upiak dan Si Buyuang tahu beres saja. Mereka bahkan tidak dibawa serta untuk merundingkan masalah pernikahan mereka ini. Mereka hanya ditanya ketika masa awal perjodohan “Sukakah engkau dengan Si Fulan/Fulanah anak Si Anu, Kamanakan Si Antun, itu sukunya, dan disana rumahnya..?”
Jika jawapan yang didapat ialah persetujuan, maka pernikahan akan segera diurus. Namun apabila jawapan yang diperoleh ialah sebaliknya, maka pembicaraan selesai disitu saja. Tidak ada paksaan dalam hal pernikahan terutama untuk perempuan. Pandangan orang banyak yang telah terbentuk dimana pernikahana secara tradisional ialah pernikahan "paksa", merupakan suatu anggapan sesat karena persentuhan dengan budaya luar. Sebab yang mereka dapati, pandangi, ataupun lihat pada non Minangkabau ialah Kawin Paksa. Maka terpatrilah hal yang demikian dibenak orang Minangkabau yang telah berjalan keluar.
Padahal perkara demikian tidak berlaku di Minangkabau, kalaupun ada berlaku maka itu ialah satu-satu saja dan termasuk ke daam salah satu bentuk perilaku yang menyimpang. Baik menyimpang dalam Adat terutama sekali menyimpang dalam Syara’.
Kenapa dikatakan menyimpang? Karena hal tersebut sama sekali tidak ada dalam pengajaran Adat dan Syari'at. Dalam keduanya, perkawinan itu mesti sekehendak kedua belah pihak (nan hendak dinikahkan) bukan kehendak orang tua, mamak, ataupun keluarga saja. Memang ada kelaziman masyarakat Minangkabau pada tempo beberapa puluh tahun nan silam, atau mungkin kini masih ada. Namun hal tersebut bukanlah pengajaran dalam Adat & Syari'at, walau para pelakunya acap menjadikan Adat & Syar'at sebagai dalih (Kambing Hitam)
Dalam Adat Minangkabau ada yang disebut dengan perkawinan pantang. Beberapa diantaranya yakni suatu perkawinan yang dilarang semisal kawin dengan saudara dalam jalur fihak ibu walau tidak bertentangan dalam Syara’. Kemudian menikah dengan orang sesuku, walau tidak ada hubungan darah atau kerabat.
Namun di Nagari Kamang, kawin sesuku ini dapat dibenarkan asalkan dilakukan antara satu suku yang berbeda pecahannya. Semisal orang Koto Sariak dengan Koto Rumah Tinggi dalam Suku Koto. Orang Jambak Kutia Anyia dengan Jambak Tan Kamang dalam Suku Jambak. Antara Orang Sikumbang Mansiang dengan Sikumbang dalam Suku Sikumbang. Dan antara orang Pisang dengan orang Chaniago dalam Suku Ampek Ibu. Yang kami sebutkan di atas hanyalah contoh saja..
Hal demikian berlaku karena mereka tidak berasal dari satu niniak yang sama dahulunya. Berbeda dengan Orang Bodi dan Chaniago yang dilarang sebab orang Chaniago berniniak ke orang Bodi selanjutnya antara Orang Simabua dan Payobada dimana orang Payobada berniniak ke orang Simabua. Keempat suku tersebut berada dalam suku Ampek Ibu.
Namun berlainan dengan keadaan sekarang, banyak pantangan dilanggar dengan dalih zaman telah berubah “Biasa itu pada masa sekarang..!!”
Banyak yang terpantang dahulunya menjadi lazim pada masa sekarang. Telah banyak pantangan dilanggar tanpa ada daya bagi Niniak Mamak di Balai (KAN) untuk menjatuhkan hukuman. Sebab kalau dihukum, melawan anak-kamanakan, atau karena ketidak tahuan anak-kamanakan perihal adat, mereka menjadi melazimkan segala pantangan tersebut.
Berbagai urutan atau jenjang dalam Menyelenggarakan Helat Pernikahanpun sudah tidak banyak yang dilakukan sebagai mana mestinya. Masa sekarang bahkan ada yang tidak menyelenggarakan batando melainkan langsung melompat ke Helat Pernikahan. Berbagai acara yang mengiringi dan mengakhir Helat Pernikahan inipun ada pula yang tidak sempurna dikerjakan sesuai dengan tuntunan adat.
Karena mereka telah melewati masa berpacaran maka tahapan mencari jodoh mulai jarang dikerjakan orang. Hanya sebagian kecil saja di kampung kita yang demikian itu dikerjakan orang. Bahkan ada pula Bapak yang menjadi mamak di rumah anaknya.[1] Banyak memang penyebabnya, tidak dapat disalahkan kepada satu fihak saja, melainkan semua fihak karena Pengetahuan Adat sudah mulai menipis, tempat bertanyapun sudah mulai jarang dan berkurang. Kalaupun ada tempat bertanya, terkadang menjadi tungkek mambao rabah pula. Serta kemauan untuk bertanyapun juga hapir hilang dalam diri anak nagari di Kamang ini tampaknya.
Dalam beberapa tulisan berikut akan kami coba memaparkan tahapan-tahapan dalam mencari jodoh hingga akhir. Kami mohonkan do’a kepada engku dan encik sekalian supaya usaha kami ini berhasil.
______________________
Catatan Kaki:
[1] Maksudnya ialah Bapak yang mengerjakan tugas-tugas Mamak. Mungkin karena sumandonya tidak faham, tidak hendak tahu, atau tidak becus dalam mengrus kamanakan. Atau dapat juga karena hubungan antara keluarga yang tiada mesra. Atau karena salah satu fihak ada yang manggadang sehingga fihak yang lain memilih menyrutkan sikap daripada nantinya akan menyebabkan kegaduhan dalam keluarga. Dan lain sebagainya.
Komentar
Posting Komentar