“Di Taroesan orang jang beloem meloenasi padjagnja, dibawa kekantor poelisi dan diperiksa badannja Berapa sadja oeang jang kedapatan padanja diambil, katanja oentoek pembajar padjag.
Dikampoeng daerah Kalimantan banjak Ra’jat jang tidak sanggoep membajar padjagnja, dibeslah koepiah dan badjoenja, sehingga banjak jang meninggalkan kantor poelisi dengan tjelana pendek sadja.”
***
Laporan Fikiran Ra’jat: Madjallah-politik popoelér No. 13, 23 September 1932:13 [Kronik Indonesia] tentang nasib si pribumi yang belum melunasi pajaknya di tangan otoritas kolonial Hindia Belanda. Laporan di atas mencatat perlakuan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda terhadap rakyat pribumi yang tidak sanggup membayar pajak. Mereka diseret ke kantor polisi dan uang serta barang-barang yang masih ada pada mereka disita.
Di daerah lain (Kalimantan) keadaannya malah lebih parah lagi: setelah digiring ke kantor polisi, pakaian yang masih melekat di badan para penunggak’ pajak itu dipreteli oleh polisi, yang tampaknya menjadi kaki tangan penguasa, mirip dengan yang sekarang sedang terjadi di sebuah negeri entah berantah.
Berefleksi tentang tindakan opresif terhadap orang kecil yang tidak sanggup membayar pajak seperti ini, yang banyak dilaporkan dalam media yang terbit semasa, kita dapat memahami mengapa sering terjadi ‘pemberontakan pajak (belasting)’ terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. Bagaimana nasib pawa pajib pajak di zaman mardiko kini? Silakan para pembaca menjawab sendiri.
Suryadi – Leiden University, Belanda / Padang Ekspres, Minggu 23 April 2017
_________________________
Disalin dari Suryadi Sunuri; https://niadilova.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar