Oleh: Dt Tan Tuah
Dimuat di Padang Ekspress, Jumat 15 Juni 2012
Memperingati perlawanan rakyat Kamang[1] yang dikenal dengan Pemberontakan Pajak le-104 jatuh pada 15 Juni 2012, penulis ingin menyegarkan kembali ingatan tentang peristiwa yang oleh Taufik Abdullah (2010) pandang sebagai awal bagi Era Kebangsaan Indonesia. Kesadaran anti penjajah yang tertanam kuat dalam diri Bung Hatta dipercaya, salah satunya, berawal dari peristiwa ini. Ketika Bung Hatta melihat “urang rantai” yang digiring lewat di depan rumah beliau, ketika itu inyiak[2] beliau berkata “Tu, urang Kamang nan mawalan Bulando..”[3]
Pengakuan Pemerintah Republik Indonesia terhadap peristiwa tersebut tertulis dalam lembaran sejarah secara resmi. Bukti pengakuan tersebut setidaknya telah diberikan dalam beberapa bentuk, seperti;
- Sambutan Meteri Pertahanan Chairul Saleh dalam peringatan Perang Kamang pada 15 Juni 1962 di Gedung Kesenian Jakarta
- Kunjungan Meteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan RI Jenderal Abdul Haris Nasution pada 15 Juni 1963 ke Kamang yang sekaligus meresmikan Tugu Peringatan Perang Kamang (di Simp. Pintu Koto) dan Makam Pahlawan.
Namun dengan berjalannya waktu serta terlewatinya berbagai peristiwa yang datang kemudian, maka pemahaman masyarakat (termasuk masyarakat Kamang sendiri) tentang peristiwa penting itupun memudar. Diantaranya kekeliruan atau kesalahpahaman dalam memahami nama tempat (toponomi) dan kurang mendalami letak serta kondisi geografis Nagari Kamang yang sebenarnya. Padahal, penderitaan rakyat Kamang sesudah peristiwa itu (Perang Kamang 1908) tidak kurang pula beratnya. Banyak keluarga yang terpaksa bercerai berai karena harus melarikan diri dari kampung halaman untuk mencari ketentraman hidup, sementara suasana di nagari juga menjadi semakin tak menentu.
Adalah Syech Muhammad Jamil Jambek (Nyiak Jambek) salah seorang ulama Kaum Muda di Bukit Tinggi yang selama bertahun-tahun datang berdakwah secara rutin ke Nagari Kamang[4] untuk membangkitkan motivasi dan memberi bimbingan rohani bagi masyarakat yang menanggung beban penderitaan dan trauma hebat akibat perang tersebut, terutama sekali bagi mereka yang memilih untuk tidak meninggalkan nagari.
Menurut tambo (sejarah) nagari, nama Kamang digunakan oleh penduduk yang datang pertama kali ke daerah ini yang merujuk pada nama batang pohon besar yang mereka dapati ketika baru sampai di nagari ini. Pohon tersebut berdaun lebat dan digunakan sebagai tempat berteduh oleh rombongan yang baru tiba tersebut.
Kisah lain menyebutkan kalau kata Kamang berasal dari pertanyaan kepala rombongan kepada anggotanya “Kamanga awak lai?” yang kemudian menjadi Kamang.
Rombongan pertama yang datang dari Nagari Minangkabau diduga berada pada masa kejayaan Kerajaan Pagaruyuang. Nagari Kamang memiliki batasan yang jelas dengan nagari disebelahnya. Batas tersebut dapat berupa sungai atau batasan alam lainnya (dalam hal ini; aur berduri, parit, perak raja).
Pada pandangan (pemahaman) masyarakat di nagari-nagari sekitar, yang dimaksud Kamang ialah nagari yang bernama Kamang Hilir sekarang. Adapun Kamang Mudiak pada masa dahulunya dikenal dengan nama Nagari Babukik.
Setelah meletusnya Perang Kamang, maka struktur pemerintahan berubah[5] dimana nama Nagari Kamang dilarang untuk digunakan dan digantikan dengan nama Nagari Aua Parumahan. Kelarasan Kamang dihapuskan dan dimasukkan ke dalam kelarasan Tilatang. Kemudian pada tahun 1914 Kamang dimasukkan ke dalam Onderdistrik Baso. Sementara itu Nagari Suayan dan Sungai Balantiak[6] dimasukkan ke dalam Afdeeling Limo Puluah Koto.
Meskipun Nagari Kamang dengan Nagari Suayan dan Nagari Sungai Balantiak dipisahkan oleh Bukit Barisan yang berlapis-lapis namun perhubungan dan pergaulan antar masyarakatnya sejak zaman dahulu sangat baik. Bahkan kekerabatan di dalam persukuanpun sangat erat (ba-balahan). Seperti yang diungkapkan sendiri oleh Tan Malaka bahwa beliau memiliki belahan (dari pihak ibu) dengan Dusun Simabua Jorong Dangau Baru.
Uraian ini dapat pula diisitilahkan sebagai “dakek buliah dikakok an, jauah buliah ditunjuak an” dengan memberikan data dan fakta di lapangan tentang kosa kata Kamang ataupun Nagari Kamang, sekaligus sebagai koreksi terhadap buku Pemberontakan Pajak 1908 Perang Kamang (Rusli Amran 1988) yang dalam beberapa penyebutan nama tempat (lokasi) kurang tepat. Sehingga telah mengaburkan peristiwa yang sebenarnya.
Termasuk pula kerancuan dalam penyebutan nama yang berawal pada tahun 1949. Pada tahun ini beberapa orang pribadi dengan mengatasnamakan “nagari” mengadakan kesepakatan di Dusun Anak Aia[7] Nagari Kamang dan membuat sebuah keputusan yang mengakibatkan dampak yang sangat tragis bagi Nagari Kamang. Keputusan itu ialah menambahkan kata “Hilia” dibelakang nama Kamang pada nama nagari dan mengubah nama Nagari Babukik menjadi Kamang Mudiak. Kemudian sebuah ngalau[8] yang biasa dikenal dengan nama Ngalau Durian diubah namanya menjadi Ngalau Kamang.
Begitu berartikah nama Kamang?
Mengubah sebuah nama yang sangat berperan dalam suatu peristiwa sejarah dapat mengaburkan, membelokkan, dan menyesatkan sebuah peristiwa sejarah dimaksud. Perlu dilakukannya penyelidikan mendalam mengenai hal ini, sebab saksi hidup di dalam Nagari Kamang satu per satu mulai meninggal sehingga semakin menyulitkan kita untuk melakukan penyelidikan sejarah.
Sewaktu perjalanan sejarah dapat dibelokkan, cermatilah dengan seksama penulisan buku sejarah yang tidak akurat seperti yang dilakukan oleh Rusli Amran dengan Pemberontakan Pajaknya. Rusli Amran bukanlah soerang sejarawan melainkan seorang diplomat dan memiliki ketertarikan kepada arisp-arsip kolonial yang berkaitan dengan tanah kelahirannya. Jadilah dia mengumpulkan nan terserak. Walau Rusli Amran telah berjanji untuk melakukan pengkajian ulang terhadap bukunya tersebut, namun hutangnya belum dapat dilunasi karena yang bersangkutan meninggal sebelum melakukan revisi terhadap karyanya tersebut.
Dari laporan Pemerintah Hindia Belanda menjelang akhir abad ke-18[9], Nagari Kamang digambarkan memiliki topografi relatif datar dan dilewati oleh sungai permanen. Yang menjadikan Kamang memiliki lahan persawahan yang luas dan sangat potensial. Wilayah ini dilingkungi oleh deretan perbukitan kapur yang hutannya terpelihara dengan baik. Pada bagian lain diceritakan bahwa daerah ini memiliki kekayaan dala hal tanaman komoditi utama pada masa itu yang hasilnya memberikan keuntungan yang cukup bagi masyarakatnya. Mata pencaharian utama penduduk Nagari Kamang ialah bertani, pengrajin, ataupun tukang kayu.
Dilihat dari ketinggian daerah ini, tampak seperti perkebunan tertutup karena pemukiman penduduk berada dibawah rindangnya pohon durian, manggis, kelapa, sagu/enau, bambu, dan bermacam pohon pisang. Juga tertutup kerimbunan pepohonan/kayu bernilai cukup tinggi. Kesuburan tanah dan keindahan alamnya, seperti kenampakan perbukitan hijau kebiru-biruan yang riuh dengan kicauan burung dan suara makhluk lainnya.
Semasa limau (jeruk) merupakan hasil pertanian utama Kabupaten Agam pada dasawarsa tahun 1980-an sampai dengan tahun 1990an, Limau Kamang merupakan andalan utama dan dicari oleh banyak orang. Perintis budi daya limau ini ialah H. Adnan St. Samiak memperoleh penghargaan Kalpataru dari Pemerintah.
Sebelum Limau Kamang dikenal orang, durian dan manggis Kamang telah lama dikenal oleh orang. Selain itu juga ada industri perabot kamang, pembuatan kerupuk kamang, serta berbagai hasil kerajinan lainnya.
Sebagai penutup naskah tentang Nagari Kamang yang dipublikasikan dalam rangka Peringatan Perang Kamang 2012 (juga atas permintaan tokoh masyarakat Haji Akhyar Khatib Malano) perlu pula disampaikan semoga tulisan yang disiapkan dengan bahan yang memadai ini memenuhi syarat untuk dapat dikatakan “alah dikapak-kapak lakek parmato, alah digarih makan pahek” dan baguno bagi masyarakat.
______________________________
Catatan Kaki:
[1] Yang dimaksud dengan Kamang disini ialah Kamang Hilir, sedangkan Kamang Mudiak aslinya bernama Babukik
[2] Kakek, Bung Hatta memanggil ayah ibunya dengan panggilan “Pak Gaek”
[3] Memoir Bung Hatta
[4] Dakwah Nyiak Jambek di Kamang merupakan usaha dari Garang Dt. Palindih yang setelah lepas dari penjara merasa sedih melihat keadaan mental orang Kamang yang terpuruk karena kalah dalam berperang.
[5] Perubahan struktur pemerintahan pada birokrasi kolonial terjadi pada tahun 1914 dimana jabatan Laras (yang mengepalai Kelarasan) dihapuskan dan diganti dengan Demang yang mengepalai sebuah Distrik serta Asisten Demang yang mengepalai Onderdistrik
[6] Sebelum Perang Kamang 1908, kedua nagari ini masuk ke dalam wilayah Kelarasan Kamang
[7] Dusun ini masuk dalam Nagari Kamang dan berada di perbatasan antara Nagari Kamang dengan Nagari Babukik.
[8] Gua, goa
[9] Christine Dobbin. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah. Sumatera Tengah 1784-1847. 1992
Komentar
Posting Komentar