[caption id="" align="aligncenter" width="1500"] Gambar: https://2.bp.blogspot.com/[/caption]Waktu memahat tunggak tua rumah untuk perempun itu, melainkan perempuan itulah yang mengaduduki tunggak tua itu, dan kepadanyalah tukang tua minta’ izin waktu mula mencatak, artinya mula memahat tunggak tua itu; karena perempuan itulah yang punya tunggak tua itu, sedang tonggak yang lain-lain, melainkan jadi tonggak turutan saja kepada tonggak tua itu, artinya tonggak tua itulah yang rumah dan siapa yang punya tonggak tua itulah yang punya rumah; dan walaupun laki-laki yang menebang kayunya atau yang membelinya; melainkan kedar menolong saja, maksudnya melainkan untuk perempuan juga; demikianlah pepanjang adat kita Alam Minangkabau, perempuanlah yang punya rumah, bukanlah sekali-kali laki-laki; dan anak perempuan atau binilah yang dibuatkan rumah; karena mereka itulah yang dimaksud dari bermula hendak membuat rumah, kecuali surau, lepau, kedai, atau toko tempat berniaga. [Datuk Sutan Maharaja, Pemimpin Koran Soeloeh Melajoe]
Kami yakin sudah menjadi pengetahuan kita semua bahwa rumah dan harta pusaka itu ialah berpulang kepada perempuan adapun gelar pusaka berpulang kepada laki-laki. Namun kami pernah mendengar ada beberapa orang nan berkata bahwa tanah itu merupakan haknya dari harta pusaka keluarganya. Orang yang menyebut itu baik laki-laki atapun perempuan.
Kami heran, karena kami pernah mendengar bahwa harta pusaka itu kepunyaan bersama, tak ada pembagian sepersekian untuk si anu dan sepersekian untuk si anun. Masing-masing anggota keluarga memiliki hak dan kewajiban yang sama hanya saja takarannya berbeda-beda. Karena adil itu tak mesti sama banyak.
Oleh karena itulah makanya dahulu orang Minang dan terutama sekali orang Kamang memberontak melawan Belanda pada tahun salapan (1908). Karena tidak ada hak milik pada harta pusaka, harta itu ialah kepunyaan bersama dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan bersama. Manalah mungkin menetapkan pajak perorangan kalau hartanya saja tak jelas?
"Harta pusaka itu memiliki kegunaan (fungsi) sebagai asuransi bagi orang sekarang.." demikianlah kata kawan kami "Makanya tak ada orang Minangkabau itu yang melarat. Kaya memang tidak tapi kalau melarat sampai berhari-hari tak makan itu hampir tak ditemui.."
Demikian pula akan halnya dengan rumah gadang, ianya sebagai perlambang kebesaran keluarga, marwah keluarga yang patut untuk dijaga dan dipelihara. Namun pada masa sekarang jumlah rumah gadang di kampung kita semakin berkurang. Kami faham, sangatlah mahal upah untuk membuat gonjong itu pada masa sekarang. Namunkan tak perlu tergesa-gesa, menabung untuk membeli oto sanggup masakan tak sanggup menabung untuk membuat gonjong rumah. Apalagi kalau kita ramai berdunsanak, asalkan dipersamakan selesailah ia itu.
Walau dibuat untuk perempuan, kaum lelakipun berhak pula akan rumah itu. Bukankah pada masa sekarang sudah lazim laki-laki tinggal di rumah, tak mesti bermalam di surau lagi.
Karena pemilik dari rumah gadang dan harta pusaka itulah makanya perempuan nan sudah menikah di Minangkabau ini dipanggil dengan sebutan "Rangkayo".
Komentar
Posting Komentar