Pada Hari Rayo Anam ini perkenankan kami membawa engku, rangkayo, serta encik sekalian menyilau masa dahulu. Tentang gambaran kehidupan surau pada masa dahulu yang sudah tiada didapati lagi pada masa sekarang. Dalam kenangan Nur Sutan Iskandar yang merupakan salah seorang pujangga di negeri kita, beliau mencoba melukiskan tentang kenangannya tatkala memasuki kehidupan surau.
Pasa suatu hari Jum'at disaat beliau belum lagi berumur enam tahun, selepas shalat Magarib datanglah seorang tuanku ke rumah orang tuanya. "Selepas dijamu dengan makan dan minum, ayah saya menyerahkan saya kepada tuanku agar diajarkan mengaji Al Qur'an. Sambil mengucapkan kata penyerahan itu, ayah memberikan sebuah cambuk dari lidi daun kelapa yang terpilin tiga ke tangan tuanku, akan pemukul saya, kalau saya tak menurut perintah atau nakal.."
Pada masa sekarang manalah hendak seorang ayah menyerahkan lidi guna memukul anaknya apabila nakal kepada guru mengaji. Sebenarnya hal tersebut merupakan permasalahan kepada kedua belah pihak. Baik orang tua maupun guru, karena pada masa sekarang amatlah payah bagi kita menemukan seorang guru yang benar-benar mendidik dan tahu takar menakar dalam memarahi anak muridnya. Bukan asal cela yang menimbulkan rasa sakit hati pada anak dan orang tuanya dan bukan pula asal tampar serupa menghantam orang ketika berkelahi.
Dalam kenangan beliau, Nur St. Iskandar menggambarkan keadaan surau tempat ia mengaji dahulu. Surau itu terdiri dari ruangan bersegi besar dengan dua kamar pada bagian pucuk (di tengah-tengah ialah mihrab). Satu kamar untuk buku-buku dan bahan-bahan pelajaran dan satu lagi untuk tempat tidur guru. Pada malam ketika tidur lampu dipadamkan, anak lelaki tidur ditikar dan dijajarkan ke dinding dalam kelompok-kelompok.
Dalam kenangannya M. Radjab menggambarkan bahwa dalam satu surau terdapat 12-20 orang anak lelaki beserta orang tua (inyiak-inyiak) yang kemungkinan sudah kematian isteri. Hal ini apabila kita tengok pada kritikan Buya Hamka tentang penggambarannya mengenai lelaki Minangkabau dimana semasa muda dipaksa bekerja guna memberikan yang terbaik untuk keluarga namun setelah tua tercampak ke surau buruk karena tiada nan hendak mengemasi.
Dalam penggembarannya M. Radjab mengatakan bahwa di kampung halamannya Sumpur anak-anak bersekolah dari pukul delapan hingga pukul satu, kemudian bebas bermain hingga petang. Sebelum magrib mereka bersiap-siap seperti mandi dan makan di rumah ibu mereka untuk pergi ke surau begitu waktu magrib masuk. Ba'da magrib mereka mengaji belajar Al Qur'an hingga masuk waktu Isya.
Lepas itu para kanak-kanak akan membujuk lelaki dewasa untuk bercerita mengenai dunia orang dewasa atau mendengarkan cerita-cerita dari para perantau yang pulang kampung. Suatu cerita tentang negeri nun jauh disana yang menerbitkan rasa hendak merantau pula dalam hati sanubari kanak-kanak tersebut.
Bagaimanakah keadaan surau di kampung kita pada masa dahulunya? Berkenankah engku-engku mengisahkan dan menuliskannya kepada kami. Sangat besar pengharapan kami agar engku-engku berkenan menuslikannya sebagai pertinggal dan pengajaran bagi generasi kemudian nan tiada pernah mengecapknya. Melainkan mendengar cerita yang tak utuh perihal surau.
Komentar
Posting Komentar