Maota-ota dengan orang sekampung[1] memanglah dapat menjadi pengobat rindu dengan kampung halaman. Demikianlah nan berlaku pada kami, seorang engku yang merasa dekat dengan beberap orang pembuat kebijakan di Luhak Agam itupun berkisah bahwa pada zaman sekarang adat itu tiada perlu lagi karena negeri kita ini sudah banyak dihuni oleh orang asing.
"Dari di Bukik Tinggi usah ditanya sudah banyak tanahnya dimiliki oleh bukan orang Kurai demikian pula tanah-tanah di sekitar Bukik Tinggi itu semacam Gadut, Kubang Putiah, Ampek Angkek, Biaro, hingga ke Baso telah banyak nan dibeli oleh bukan anak nagari." demikian kisahnya.
"Benar engku, namun nan membeli kebanyakankan masih orang Minangkabau jua.." jawab kami
"Benar kata engku.." jawabnya dengan air muka berubah karena misinya hendak mempengaruhi kami sedikit terhambat "Nan hebat itu ialah Anak Nagari Kapau, ada peraturan di dalam nagari mereka bahwa tiada dibolehkan menjual tanah ke orang di luar nagari.." imbuhnya.
"Itu merupakan kebijakan nan bagus engku, alangkah baiknya semua nagari di Minangkabau menerapkan peraturan nan serupa. Akan selamatlah anak kamanakan kita nantinya.." jawab kami
"Benar, namun zaman telah berubah, kalau tak diberikan orang izin membeli tanah hendak dimanakah orang-orang itu akan tinggal?" tanyanya kesal.
"Telah menjadi aturan dalam adat kita, kearifan lokal kata orang sekarang. Apabila ada orang masuk ke dalam negeri kita maka hendaknya ia Mengisi Adat, malakok ke kaum nan ada di dalam nagari tersebut. Kalaupun ia bukan orang Minangkabau maka ia dapat pula menjadi orang Minangkabau dengan Mengisi Adat, tentunya dengan aturan dan tata cara berlainan dengan orang Minangkabau yang mengisi adat itu. Apabila telah demikian maka ia telah menjadi bagian dalam masyarakat suatu nagari, melekat padanya hak dan kewajiban sebagai anggota kaum, suku, dan anggota masyarakat suatu nagari.." terang kami.
Si engku acuh karena ia merupakan seorang teknokrat yang jemu dengan kehidupan beradat. Baginya adat itu menyusahkan dan tak cocok dengan kehidupan pada masa sekarang "Adat itu sudah tak cocok kita pakai pada masa sekarang, itulah hasil perundingan saya dengan datuk nan menjadi pengetua itu. Tak usah jauh-jauh, saya saja tiada kenal dengan orang nan tinggal di sebelah rumah saya. Saya ini telah lama hidup, telah banyak negeri yang saya kunjungi. Kalau hendak maju kita mesti berfikir di luar batas-batas negeri kita.."
"Benar kata engku, berfikir global namun bersikap lokal. Itulah kelebihan orang-orang hebat Minangkabau masa dahulu. Mereka menjadi besar dengan tetap memelihara jati diri mereka sebagai orang Minangkabau, bukan dengan cara menghilangkannya. Mereka bahkan tahu dan mendalami adat resam negeri kita. Berlainan dengan sekarang, tinggal di kampung namun tiada hendak tahu dengan adat.." jawab kami.
Si engku agaknya gemas karena kami tiada sependapat dengan dirinya. Karena sudah kehabisan akal maka mulai ia berkisah tentang pengalaman hidupnya, kuliahnya di salah satu perguruan tinggi ternama di Bandar Bandung, kontrak pekerjaannya dengan berbagai perusahaan besar, pendapatnya nan acap diminta oleh pembuat kebijakan, dan lain-lain sebagainya. Demikianlah si engku nan gelasnya telah penuh, merasa dirinya hebat, dan telah kehilangan jati dirinya sebagai orang Minangkabau.
_________________________
Catatan Kaki:
[1] Sekampung tak mesti sama-sama berasal dari Kamang saja, sebab dalam pandangan orang yang Kamang itu ialah yang termasuk Kecamatan Tilatang Kamang lama (sebelum pemekaran). Terlebih lagi, kalau di rantau apabila sama-sama dari Luhak Agam dipandang kita masih satu kampung jua.
Komentar
Posting Komentar