Langsung ke konten utama

Hari raya kini..

[caption id="attachment_2621" align="aligncenter" width="529"] Gambar: https://www.penamerdeka.com[/caption]

Duduk termenung di tengah rumah, memandangi lapiak[1] nan telah terkembang, permadani Persia, kata sang anak. Dikirim sebelum hari raya tiba dari rantau. Kue hari raya telah tersaji, kebanyakan merupakan kue nan dibeli oleh anak-anaknya. Maklumlah mereka semua sibuk bekerja, jadi tak sempat membuat kue dari tangan sendiri. Berlainan dahulu tatkala ia masih gadis, menjelang hari raya telah ramai saling pinjam-meminjami cetakan kue, membeli tepung ataupun menumbuk beras untuk jadi tepung, membeli telur ayam, dan kelengkapan lainnya.


Rumah Gadangnya telah lama dirobohkan, sudah tak sanggup lagi menopang isi rumah. Diganti dengan rumah dari batu layaknya dibuat orang sekarang. Salah seorang anaknya sempat mengusulkan agar diberi atap genteng serupa nan lazim didapatinya di rantau nan bertuah itu. Namun ia menolak "Atap seng lagi bagus.." pintanya lemah.


Rumahnya bagus, masing-masing bilik memiliki kamar mandi didalamnya, termasuk di bilik nan ditempatinya. Jadi tak usah cemas apabila malam-malam hendak ke jamban atau mengambil wudhu. Dapurnyapun bagus, bersih, dan mengkilap. Tak lagi memakai kayu sebagai bahan bakar karena kini zamannya gas. Lantainya keramik kualitas tinggi, dikirim dari rantau oleh anaknya, namun apabila malam dingin keramik membuat tulang kakinya ngilu. Maka dipakailah terompah dalam rumah, seumur-umur belum pernah ia memakai terompah dalam rumah.


Rumah bagus tapi tak bergonjong, takpula berkolong, "Untuk apa dibuat rumah bergonjong itu mak?" tanya salah seorang anaknya "Panjang pula ceritanya kalau bergonjong. Terlalu banyak rangkaian adat nan mesti diikuti dan diselenggarakan. Membuang-buang waktu saja, tak efektif kata orang sekarang. Kami-kami nan di rantau mana sempat pulang sekadar untuk menghadiri dan mengikuti acara adat nan tak jelas ujung pangkalnya itu.." ciloteh anak sulungnya


Demikianlah di Minangkabau kini, payah tersua rumah bergonjong kecuali di beberapa nagari.


Kenangannya kembali tatkala salah seorang anaknya berpitaruh[2] "Mak, kami pergi dahulu membawa anak-anak tamasya ke tempat pelancongan.." kata anak-anaknya "Mak yakin tak hendak ikut bersama kami..?" tanya mereka kembali.


"Tak, mak sudah tua, tak patut pergi bersiar-siar, apalagi di hari raya ini. Kalau ada orang ke rumah bagaimana?" jawabnya pasrah.


Demikianlah, pada hari raya, rumah banyak nan lengang. Sekalian orang lebih memilih pergi bertamasya ke tempat pelancongan nan semakin banyak jumlahnya. Berlainan dengan dahulu, dimana sibuk menziarahi para karib kerabat dan handai taulan memperpanjang silaturahim. Membawa bungkusan berisi lapek, kue, atau pisang hasil perak sebagai buah tangan. Sangat terpantang di Minangkabau itu bagi perempuan apabila bertandang tak membawa buah tangan. Sembari mengajari anak perihal hubungan kerabat diantara keluarga mereka, baik itu dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Orang-orang dahulu hapal nasabnya sampai ke buyut mereka, pertalian antar keluarga, dan panggilan pada masing-masing. Karena panggilan menentukan hubungan kerabat.


Berlainan dengan kini, banyak perempuan tak tahu malu nan melenggang saja ke rumah kerabat tak membawa apa-apa. Tak pula bermanis budi menolong meangkat pinggan apabila dijamu dengan makanan. O.. ya, kebanyakan orang sekarang tak hendak makan nasi di rumah kerabat mereka, lebih suka makan ketupat atau bubua samba[3]. Kalau tak ada kedua hidangan tersebut, mereka lebih senang mengudap kacang tujin dan kue hari raya lainnya.


Tak seorangpun tiba agaknya, orang telah mengaji-ngaji di surau pertanda waktu shalat akan segera tiba. Dalam hati ia maklum, sama dengan anak, menantu, dan cucunya, mereka tentulah lebih memilih beraya di tempat pelancongan. Bagi orang sekarang, ayah-bundanya ialah tempat pelancongan, karib-kerabatnya ialah tempat pelancongan, handai-taulannya ialah tempat pelancongan.


Berlainan dengan orang dahulu, wajarlah kalau raso jo pareso semakin hilang. Tak hanya pada diri nan muda-muda, orang nan telah tua berumur lebih setengah abadpun masih banyak nan tak pandai menenggang rasa.


Memandang ia ke jendela, ramai orang berlalu lalang di labuh, namun tak seorangpun nan menziarahi kerabat mereka. Tujuan mereka nan berjalan itu ialah tempat pelancongan, objek wisata kata orang sekarang. Nanti akan dipamerkan gambar-gambar pesiar mereka pada makhluk nan bernama media sosial.


_____________________________


Catatan Kaki:


[1] Tikar
[2] Pamitan
[3] Lontong

Komentar

  1. Reblogged this on Bukit Tinggi Salingka Agam Heritage and commented:
    Hari raya, masanya bersilaturahmi ke objek wisata..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Katam Kaji

[caption id="attachment_779" align="alignright" width="300"] Salah satu gambar yang kami dapat dari kampung[/caption] Terdengar oleh kami telah tiba pula musim Katam Kaji [1] di kampung kita. Pada hari Ahad yang dahulu (22 Juni 2013) kami dengar kalau orang di Surau Tapi yang ba arak-arak. [2] Kemudian pada hari Kamis yang lalu (27 Juni 2013) tiba pula giliran orang Joho dan sekarang hari Ahad (30 Juni 2013) merupakan tipak [3] orang Koto Panjang yang berarak-arak. Memanglah pada pekan-pekan ini merupakan pekan libur sekolah bagi anak-anak sekolah. Telah menerima rapor mereka. Memanglah serupa itu dari dahulu bahwa Katam Kaji dilaksanakan oleh orang kampung kita disaat libur sekolah. Namun ada juga yang berlainan, seperti orang Dalam Koto yang akan melaksanakan selepas Hari rayo Gadang [4] dan Orang Taluak yang kabarnya akan mengadakan selepas Hari Raya Haji . [5] Kami tak pula begitu jelas pertimbangan dari kedua kampung tersebut. Mungkin engku dan

29. Tata Upacara Adat Minangkabau: Upacara Batagak Pangulu

UPACARA BATAGAK PANGULU Salah satu upacara atau alek ( ceremony ) adat Minangkabau yang paling sakral yang mendapatkan perhatian dan perlakukan khsus adalah Batagak Pangulu atau ada juga yang menyebutnya Batagak Gala .  Upacara ini merupakan peristiwa pentasbihan dan pengambilan atau pengucapan sumpah serta janji seorang Pangulu pada saat ia diangkat dan dinobatkan sebagai pemimpin kaum yang bergelar Datuak. Upacara adat ini sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana firman Allah mengingatkan: Sesungguhnyan orang-orang yang menukar janji ( nya dengan Allah ) dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit maka mereka itu tidak mendapat bahagian dari ( pahala ) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kahirat dan tidak ( pula ) akan menyucikan mereka. Bagi mereka adalah azab yang pedih (QS:3:77). Pada bagian lain Allah juga mengingatkan: “ Dan janganlah kamu mengikuti orang yang selalu bersumpah, lagi yang hina ” (QS 6

Luak Gadang & Luak Kaciak

Luak , begitu sebagian orang Minang menyebutnya. Atau orang sekarang lebih mengenalnya dengan sebutan sumua atau sumur. Luak adalah sumber untuk mengambil air bagi sekalian orang, sebelum dikenalnya sistim penyaluran air oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) sekarang. Pada masa sekarang, hampir sekalian rumah di Kamang memiliki luak namun tidak demikian pada masa dahulu. Dahulu luak hanya dimiliki oleh sebagian keluarga dan itupun tidak berada di dekat rumah melainkan agak jauh dari rumah. sehingga menyebabkan untuk mengambil air orang-orang harus berjalan agak jauh. [caption id="attachment_749" align="alignleft" width="300"] Luak Gadang[/caption] Adalah Kampuang Lubuak sebuah kampung di Jorong Nan Tujuah di Kamang. Kampung ini memiliki luak kampung yang bernama Luak Gadang dan Luak Kaciak. Kedua luak ini memiliki kegunaan (fungsi) yang berbeda. Luak Gadang berguna untuk mencuci dan mandi sedangkan Luak Kaciak berguna untuk mengambil air minum