"Mak, yah.. kami berangkat dahulu.." anak-anaknya berpitaruh[1] hendak berangkat. Hari ini orang-orang di kampung mengadakan acara bersama antara perantau dan orang kampung. Pagi ini, anak, menantu, dan cucu hendak pergi mengikuti acara tersebut.
"Ya, elok-eloklah kalian. Tunjukkan pada anak-anak kalian itu dimana rumah kerabat kita dan ajari mereka nama-nama kampung kita.." seru sang ayah.
Sembari melenggang di halaman, anaknya mengiayakan "Bagaimana mereka hendak megajari nama-nama kampung kita. Mereka saja sudah banyak nan lupa.." seru isterinya.
Sang suami tak menanggapi, berjalan ke dalam bilik, berganti pakaian dan kemudian berjalan menuju belakang rumah "Hah.. hendak kemana tuan itu?" tanya isterinya gemas. Sebenarnya ia sudah tahu dengan melihat pakaian nan dikenakan suaminya.
"Limau di perak belakang sudah lama tak ditengok.." jawab suaminya sambil lalu.
"Padahal baru sehari sebelum raya, limau di perak belakang disilau.." gerutu isterinya pasrah.
Raya kali ini orang semakin sedikit saja datang ke rumah, konon kabarnya banyak penyebabnya "Mungkin karena orang-orang ini keletihan sehabis menonton pertandingan piala dunia mak.." jawab anak bungsunya yang juga pencandu bola.
Di malam takbiran, disaat orang melakukan takbir keliling, anak bungsunya memilih menonton pertandingan pembukaan Piala Dunia "Menyesal tak pergi takbiran.." katanya "Kalah Arab.." jawabnya tanpa ditanya.
Kini, di kampungnya orang mengadakaan berbagai acara antara perantau dan orang kampung semenjak raya kedua. Dia curiga, ini juga salah satu penyebab orang lengang beraya ke rumahnya. "Astagfirullahal'azym.." ia beristigfar dalam hati, tak boleh berprasangka serupa ini pada hari nan fitri.
Musim telah berganti dan zamanpun telah berubah "Bukan zaman nan berubah, tapi manusia itulah nan berubah.." kisah suaminya "Demikianlah wasiat Saidina Ali.."
"Zaman kini ialah zaman hura-hura, pesong ke sini, pesong kesana, baondoh ke hilir, baondoh pula ke mudik.." kisah jirannya menjelang hari raya nan silam sepulang sembahyang subuh di surau.
Masa ia masih muda dahulu, sepekan tak cukup waktunya untuk menziarahi segenap karib-kerabat, serta handai taulan. Bahkan bagi kerabat yang amat dekat hubungannya yang tak sempat diziarahi pada hari raya pertama dan kedua maka akan diziarahi pada Hari Rayo Anam. Limpiang dan lapek dibuat tiap hari karena merupakan buah tangan nan mesti dibawa. Malu terasa apabila tak ada membawa, apalagi ke rumah kerabat dekat.
Namun kini,.? tak ada yang dapat disalahkan. Karena ini merupakan kesalahan dirinya, suami, dan orang tua-tua lainnya. Anak tak mendapat pengajaran, kamanakan apalagi. Begitu bangga tatkala mendengar anak atau kamanakan mendapat kuliah di perguruan tinggi ternama, senang hati tatkala mendengar mereka telah diterima bekerja di perusahaan besar bergaji besar pula. Melambung perasaan itu tatkala anak-anaknya menyuruh ia dan suami pergi naik haji, uang usah dirisaukan.
Namun ia dan suami terlupa satu hal, pengajaran adat dan agama telah terkesampingkan. Jiwa anak-anaknya gersang dipenuhi oleh nafsu duniawi. Apabila diberi ingat, maka anak-anaknya nan telah bersekolah tinggi itu akan dengan mudah menjawab sembari mematahkan "Adat lapuak dek hujan, lakang dek paneh mak.." kata mereka.
"Adat itu menyusahkan dan membuat repot, terlalu banyak aturan nan menghambat kemajuan. Mak tengok saja orang di kampung, usah kami mak jadikan contoh, banyak diantara mereka nan tak memakai adat dalam keseharian.." timpal anaknya nan lain.
"Karena itulah kekacauan menimpa Minangkabau ini, karena orang Minangkabau yang di rantau apalagi nan di kampung telah menanggalkan adat sebagai pakaian mereka.." jawab suaminya geram. Anak-anaknya terdiam tak menjawab "Banyak perempuan Minangkabau masa kini nan lebih suka memakai sarawa dari pada baju kurung. Lebih nikmat tempe dari pada randang.." tambah suaminya mengajari.
Hanya iman di dada saja nan membuat ia dapat bertahan. Dimasa tua, dirinya dan suamilah yang diajari serta diatur oleh anak-anak. Itulah hukum alam.
______________________________
Catatan Kaki:
[1] pamitan
Komentar
Posting Komentar