Kejayaan Masyarakat Hukum Adat di Minangkabau di samping hasil bumi yang melimpah juga adatnya yang secara sempurna berintegrasi dengan Islam dan teruji mampu mengatur tertib sosialnya. Hasil bumi yang melimpah di samping emas, kampher dan lada (merica) menarik perhatian dunia. Kerajaan Singhasari di bawah pemerintahan Raja Kartanegara dalam versi sejarah kolonial berniat menguasai Minangkabau setelah menaklukan Sriwijaya dan Jambi, karena ingin merebut emas dan hasil bumi. Disebutkan Wismarupa Kumara membawa pasukan Singhasari melakukan ekspansi menyisir wilyah Dharmasraya. Namun dalam perjalanan, pasukannya dihadang antar Sijunjung dengan Dharmasraya, sekitar Tanah Badantuang sekarang dan dihabisi di Padang Sibusuk, sehingga mayat membusuk tidak terkuburkan menjadi bagian monografi Padang Sibusuk Nagari Langgam Nan Tujuah Koto Piliang itu. Peristiwa itu disebut Ekspedisi Pa-Malayu I, tahun 1275 M.
Dalam fakta sejarah di Dharmasraya, perintah Kartanegara untuk datang ke Minangkabau Timur di Kerajaan Melayu Sumatera (Swarnabhumi) di Dharmaraya, justru bukan untuk melakukan penaklukan, tetapi hendak mengantar patung Amoghapasa yang pada tahun 1286 ditempatkan di Padang Roco Siguntur – Dharmasraya. Patung itu sebagai hadiah dari Kartenegara kepada kepada Srimat Tribhuanaraja Mauliwarmadewa raja Kerajaan Melayu Swarnabhumi di Dharmasraya yang sedang naik daun. Ketika itu Sriwijaya yang sejak awal mengintegrasikan Dharmasraya dan Jambi sejak awal berdirinya 650 M, mengalami proses keruntuhanya akibat serang raja Chola dari India tahun 1025 dan bubar tahun 1377. Sejak akhir abad ke-13 seluruh kekuasaan Sriwijaya termasuk Jambi dengan seluruh aset kerajaan dipindahkan kembali ke Dharmasraya seperti semula berdiri abad ke-4 M. Karena Dharmasraya maju, maka hadiah Kartanegari berupa Amoghapasa tadi “ada udang di balik batu”. Sebenarnya Kartanegara ingin meminta bantuan Kerajaan Melayu Swarnabhumi di Dharmasraya dalam menghadapi agresi Mongol dari Cina yang hendak penaklukan Singasari di Jawa.
Kartanegara kemudian mengutus Mahesa Anabrang dan Wismarupa Kumara ke Dharmasraya. Mahesa yang karena ketokohanya mirip Adwaya Brahman atau Adwayawarman yakni ayah dari Adityawarman, disebut tadi hendak menaklukan Kerajaan Melayu Dharmasraya atas perintah Kartanegara, justru terjerat strategi kawin politik bagi perluasan kerabat Minangkabau. Artinya kedatangan Mahesa menjadi kunjungan persahabatan yang kemudian terjerat cinta gadis di sana, buktinya Dharmasrya merestui dua gadis cantiknya dibawa Mahesa ke Singosari menyusul hadiah patung Amoghapasa. Dua gadis itu Dara Jingga dan Dara Petak. Lebih irosnis lagi sampai di Singasari Raja Kartanegara yang mengutusnya tadi didapati sudah tewas, bahkan Singasari sudah dimusnah Raja Kediri Jayakatwang melalui pemberontakannya. Namun nasib Jayakatwang tak lebih baik, karena menggunting dalam lipatan ia sendiri tewas pula dibunuh tentara Mongol.
Adalah Raden Wijaya yang merupakan menantu Kertanegara memanfaatkan prajurit Mongol untuk menumpas pemberontakan Jayakatwang. Setelah pemberontakan berhasil ditumpas, Raden Wijaya berbalik arah mengusir Mongol dan mendirikan Kerajaan Mapahit pada tahun1293. Raden Wijaya mempersunting Dara Petak adik Dara Jingga dan Dara Jingga sendiri dinikahi ayah Adityawarman yakni Adwayawarman.
Pada tahun 1343 M, Maharaja Majapahit ketiga (1328-1351) Dyah Gitarja (Tribhuwana Wiayajatunggadewi putri Raden Wijaya dan Gayatri) memerintahkan Adityawarman untuk menaklukan Nusantara bagian Barat yang dikenal juga dengan Ekspedisi Pa-Melayu II. Setelah menaklukan Bali, Adityawarman yang dibantu oleh Gajah Mada pada tahun 1345, justru Adityawarman pulang ke Dharmasraya dan menjadi Raja di Kerajaan Melayu Sumatera itu. Kemudian memindahkan Kerajaan ke Saruaso dengan menggabungkan beberapa kerajaan lama (Bungo Setangkai dan Dusun Tuo) kemudian menamakan kerajaan itu dengan nama Kerajaan Malayapura pada tahun 1347, oleh Majapahit disebut menaklukkan Minangkabau. Kemudian Adityawarman mengkonsolidasi wilayah sampai ke Kesulthanan Kuntu Darussalam (sekarang di wilayah Riau) dan Kerajaan Aru Barumun (sekarang di wilayah Sumatera Utara).
Sekembalinya dari Kuntu dan Aru Barumun, Adityawarman dipandang arogan dan kejam serta tak disukai rakyat Minangkabau yang sudah memeluk Islam. Oleh karena itu ia dicegat di sebuah sungai dan dibawa ke meja perundingan. Perundingan itu disebut oleh Asbir Dt. Mangkuto dengan Perjanjian Shahifah Atar (Perjanjian Bukit Atar) di Tanah Datar. Inti dari perjanjian tersebut adalah Niniak Mamak Minangkabau memberikan kewenangan kepada Adityawarman untuk menjadi Sri Maharaja Diraja hanya berkuasa di wilayah rantau Minangkabau. Sedangkan Nagari diatur oleh Masyarakat Hukum Adat dipimpin oleh penghulu. Adityawarman sebagai raja tidak boleh memasuki nagari tampa seizin penghulu. Sejak itulah Luhak bapangulu- Rantau Barajo.
Bagi Adityawarman pembatasan kekuasaan rajo hanya untuk rantau, bisa diterimanya, yang penting ia dapat menjadi Sri Maharaja Diraja. Tidak lama Kerajaan Malayapura di Saruaso dirubah menjadi Kerajaan Minangkabau dipusatkan di Ulak Tanjuang Bungo, kawasan Kerajaan Bukik Batu Patah dahulu, sekarang dikenal Pagaruyuang. Sistem pemerintahannya kombinasi sistem Majapahit dan sistem Kerajaan Melayu.
Komentar
Posting Komentar