Sebagaimana diungkapkan diatas bahwa prinsip penyelesaian perselisihan dalam adat MIangkabau adalah bajanjang-naik batanggo turun. Semua persengketaan harus diupayakan penyelesaiannya pada tingkat yang paling rendah, yakni rumah tangga—kok karuah dijaniahkan-kok kusuik disalaikan. Penyelesaian perselisihan tingkat rumah tangga biasanya hanya diselesaikan oleh tungganai rumah atau mamak rumah. Oleh karena itu, seorang laki-laki yang pasti menjadi mamak atau tungganai dituntut memiliki kepemimpinan yang kuat. Seorang mamak rumah yang arif akan merasa malu bila dia tidak mampu menyelesaikan perselihan dan pertikaian antara anak-kamanakannya.
Jika perdamaian tingkat rumah tanga tidak tercapai, maka langkah penyelesaian berikutnya adalah penyelesaian perselisihan tingkat kerapatan Niniak Mamak Saparuik. Sebelum melakukan proses penyelesaian perkara, Kerapatan Niniak Mamak Saparuik haus mengusut akar permasalahan dan peselisihan dari bawah (tungganai/ mamak rumah). Kerapatan Niniak Mamak Saparuik memanggil para pihak yang bertikai secara terpisah. Dari keterangan dari pihak-pihak yang bertikai, Kerapatan Ninial Mamak Saparuik menawarkan berbagai alternatif penyelesaian masalah secaa arif dan bijaksana—Bak manatiang minyak panuah—bak mahelo rambuik dalam tapuang; Rambuik indak putuih—Tapung indak taserak.
Bilamana penyelesaian petikaian tingkat Kerapatan Niniak Mamak Saparuik tidak juga menemukan kesepakatan perdamaian, maka pihak-pihak yang bertikai dan Niniak Mamak Saparuik bisa mengajukan penyelesaian perkara ke tingkat Kerapatan Niniak Mamak Sakaum atau Sasuku. Penyelesaian perselisihan pada tingkat suku/ kaum biasanya dilakukan oleh sebuah hakim ad hoc (tidak tetap) yang terdiri dari unsur Tungku Tigo Sajarangan (Niniak-Mamak, ‘Alim-Ulama, dan Cadiak-Pandai). Ketiga unsur ini harus independen, dan tidak memihak-Tibo di mato indak dipiciangkan-Tibo di dado indak dibusungkan-Tibo di paruk indak dikampihkan. Oleh karena itu, anggota hakim yang mengadili persengketaan dan perselisihan pada tingkat ini tidak memiliki hubungan dan kepentingan dengan para pihak.
Seandainya penyelesaian sengketa dan perselisihan pada tingkat kerapatan Niniak-Mamak sasuku/ sakaum masih belum membuahkan hasil perdamaian, maka penyelesain perselihan diajukan ke Kerapatan Nagari (sekarang dikenal sebagai Kerapatan Adat Nagari yang singkat dengan KAN). Penyeleseaian sengketa pada tingkat Nagari baru bisa dilakukan apabila masalah tersebut telah dilimpahkan oleh Pangulu Suku dan mamak kepalo warih ke Kerapatan Adat Nagari. Sebuah perkara baru diproses oleh hakim Kerapatan Adat Nagari bila telah memenuhi persyaratan yang disebut dengan rukun dakwa yaitu:
1) Ada Mudda’i (penggugat),
2) Ada Mudda’alaih (tergugat),
3) Ada Muda’fihi/ Mudda’ bihi (Objek yang disengketakan) dan
4) Ada pernyataan gugatan yang jelas.
Setelah persyaratan tersebut terpenuhi, maka Kerapatan Adat Nagari membentuk majelis hakim independen yang bersifat tidak tetap (ad hoc). Anggota majelis hakim ini terdiri dari unsur Tungku Tigo Sajarangan (Niniak-Mamak, ‘Alim-Ulama, dan Cadiak-Pandai). Untuk menghindari konflik kepentingan, maka anggota hakim yang akan menyelesaikan persengketaan tersebut tidak boleh memiliki hubungan dengan para pihak yang berperkara. Majelis hakim Kerapatan Adat Nagari yang menyelesaikan perselisihan secara objektif dan arif—Ditiliak duduak hukum adat, ateh bainah nan duo baleh. Sarintiak kudarat jo iradat, dikurasai soko mangko nyo jaleh.
Pada masa Kerajaan/ Kesulthanan Pagarruyuang, ketentuan Peradilan Nagari diatur sebagai berikut:
- 1) Peradilan Nagari bertugas menyelesai sengketa masyarakat dan memberi sangsi kepada anggota masyarakat yang melanggar Syara’, Undang Adat Minangkabau, Aturan Minangkabau dan Adat Salingka Nagari. Memberikan Ketetapan tentang Perangkat Nagari, Jorong dan Kampung yang melakukan pelanggaran hu .
- 2) Peradilan Nagari tak boleh ikut melaksanakan tugas Pemerintah Nagari dan Kerapatan Nagari.
- 3) Hakim-hakim pada Peradilan Nagari tidak boleh merangkap jabatan menjadi anggota Kerapatan Nagari, Perangkat Pemerintah Nagari dan atau Ketua, Manti (sekretaris), Bandaro (bendahara), Kerapatan Tungku Tigo Sajarangan (TTS) dan atau pada Kerapatan Lembaga Tungku Tigo Sajangan.
- 4) Hakim Peradilan Nagari harus memenuhi persyaratan; keilmuan, kepribadian, keadilan dan bersih diri.
- 5) Penyelesaian sengketa pelanggaran hukum, dilakukan dengan adanya laporan dari seseorang. Pemeriksaan dilakukan dengan memakai Undang Nan Tujuah, susua, siasek, usuik, pareso, undang nan dilangga, suri nan kadiuleh dan cupak nan ka diisi.
- 6). Penyelesaian sengketa perdata masyarakat Nagari dilakukan dengan gugat, jawab, perkuat gugat, ulang jawab, bukti, saksi, kesimpulan. Keputusan ditetapkan dengan berita acara proses penyelesaian.
Ketentuan mengenai Peradilan Nagari, saat ini telah diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 tahun 2018 tentang Nagari, khususnya Pasal 15, 16 dan 17. Pada Pasal 15 ayat (1) dijelaskan bahwa pada setiap Nagari, Karapatan Adat Nagari membentuk Peradilan Nagari sebagai lembaga penyelesaian sengketa masyarakat tertinggi di Nagari sesuai Adat Salingka Nagari. Pada ayat (2) ditegaskan bahwa sebelum sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh Peradilan Nagari, harus diselesaikan terlebih dahulu pada tingkat keluarga, paruik, kaum dan/atau suku secara bajanjang naiak batanggo turun. Ayat (3) mengatur bahwa Peradilan Nagari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas sebagai berikut:
- menyelesaikan sengketa sako dan pusako secara bajanjang naiak batanggo turun melalui proses mediasi;
- penyelesaian perkara ringan di nagari berdasarkan kesepakatan antara lembaga adat dengan penegak hukum;
- memberi sanksi adat kepada anggota masyarakat yang melanggar Hukum Adat sesuai dengan ketentuan Adat Salingka N
Pasal 16 Undang Udang Nagari mengatur tentang hakim yang menyelenggarakan Peradilan Nagari. Ayat (1) mengatur bahwa Peradilan Nagari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dipimpin oleh seorang Ketua dan dibantu oleh seorang Manti, dan beberapa orang Hakim. Pasal (2) mengatur bahwa Hakim Peradilan Nagari tidak boleh merangkap jabatan sebagai anggota Karapatan Adat Nagari dan Pemerintah Nagari. Sedangkan ayat (3) mengatur bahwa pedoman, susunan, pengangkatan dan pemberhentian, masa jabatan Hakim serta pembiayaan Peradilan Nagari diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota. Sedangkan Pasal 17 mengatur tentang meidasi yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan peraturan peraturan perundang undangan.
Komentar
Posting Komentar