Tingkatan Adat Minangkabau (Adat Nan Ampek)
Adat yang berasal dari kata ‘adat (bahasa Arab) bermakna kebiasaan. Adat Minangkabau merupakan kebiasaan yang dipakai orang Minangkabau yang sudah ada sejak era Nabi-Nabi, karenanya mesti dijadikan pedoman. Adat yang dipakai di Minangkabau adalah peraturan yang betujuan mengamankan nagari, memajukan nagari, memperkaya nagari, memudahkan apa yang sulit, menghampirkan yang jauh, menghubungkan silaturrahmi satu sama lain, serta kesukaan dan kegembiraan anak nagari. Berdasarkan kekuatan mengikatnya, adat Minangkabau dibagi atas 4 (empat) tingkatan: 1) Adat Nan Sabana Adat, 2) Adat Nan Diadatkan, 3) Adat nan Teradat, dan 4) Adat Istiadat.
- Adat Nan Sabana Adat adalah aturan dan ketentuan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulnya, Muhammad SAW, kemudian disampikan oleh Rasul kepada umatnya serta diberi contoh teladan (hadist-hadist), dan diajarkan oleh guru kepada murid-muridnya. Ini dinamakan juga Adat Nan Sapanjang, Sara’ yang bersumber Kitabullah (al-Qur’an) yang disebut oleh orang Minangkabau dengan surek (surat ). Oleh karena itu, sumber adat Minangkabau ada yang tasurek (tersurat), al-Qur’an sebagai sumber syara’—Syara’ mangato adat mamakai, ada pula yang tidak bersumber dari yang tersurat, yakni Alam. Alam dihargai sebagai guru—Alam takambang jadi guru. Artinya, kalau sebuah ketentuan tidak secara eksplisit disebutkan dalam al-Qur’an, maka orang Minangkabau dengan segala kearifannyannya akan belajar pada Alam—surek indak hilang-guru indak mati. Selama orang Minangkabau padai membaca surek dan mengamalkannya, dan membaca fenomena alam dan mengamalkannya, selama itu pula adat Minangkabau tidak akan pernah kehilangan sumber utama—Ada Nan Sabana Adat.
Adat Nan Sabana Adat yang bersumber dari syara’ (bersumber Kitabullah) dan sumber alam adalah ketentuan baku dan tidak pernah berubah sepanjang masa—indak lakang dek paneh indak-indak lapuak dek hujan. Sumber ini dipakai sebagai timbangan yang baku (cupak usali) yang dijadikan pedoman untuk “mamapek jo manarah” (meluruskan) Cupak Buatan (hukum yang dibuat manusia). Sumber undang ini diungkapkan dalam kalimat pendek, lugas dan tegas yang bermakna luas, tidak multi tafsir.
Pendeknya Adat nan Sabana Adat adalah sapanjang Syara’ diturunkan Allah–surek (al-Qur’an) tak pernah hilang, dan fenomena alam (guru tak pernah mati), kato pusako (syara’, jurisprudensi) alat untuk mamapek dan manarah cupak buatan (kato kudian, adat nan diadatkan, hukum yang dibuat manusia). Tak lekang, tak lapuak, domain makrifat (landasan patuik jo mungkin).
- Adat Nan Diadatkan adalah aturan dan ketentuan yang mengatur masyarakat yang diwariskan dari perumus adat Minangkabau yaitu Dt. Katumanggungan dan Dt. Perpatih Nan Sabatang. Aturan dan ketentuan ini telah disepakati dan ditetapkan pada Sumpah Satia Marapalam. Adat Nan Diadatkan tidak boleh bertentangan dengan Adat Nan Sabana Adat karena Adat Nan Sabana Adat mengacu ke syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah S..A.W. Wujud dari Adat Nan Sabana dan Adat Nan Diadatkan adalah Cupak Nan Duo, Kato Nan Ampek, Undang Nan Ampek, dan Nagari Nan Ampek. Pengungkapannya dilafatkan dalam rangkaian kato (yaitu kalimat bersambung yang dalam maknanya) yaitu “kato kamudian” (kata kemudian), disebut juga dengan “petatah-petitih“. Ini disebut dengan “Adat Sabatang Panjang“ yang berlaku untuk seluruh alam Minangkabau. Ia merupkan ajaran Cupak Buatan yang telah dipapek atau ditarah dengan Cupak Usali yang dipakai sebagai hukum pokok untuk membuat hukum-hukum lebih lanjut di Alam Minangkabau yang menyangkut dengan interaksi manusia dengan manusia dan interaksi manusia dengan alam sekitarnya.
Pendeknya, Adat Nan Diadatkan adalah Peraturan Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih nan Sabatang yang diwariskan. Cupak Usali, Kato Dahulu (batapatan), Cupak Nan duo, Kato Nan Ampek, Undang Nan Ampek, Nagari Nan Ampek.
- Adat Nan Taradat adalah peraturan yang terpakai di dalam satu Luak, satu lareh, dan/ atau satu nagari. Artinya Adat Nan Diadatkan bagian Adat Salingka Nagari yang disebut juga dengan Adat Sabatang Batuang. Adat Salingka Nagari atau Adat Sabatang Batuang ini terdiri dari Adat Nan Teradatkan dan Adat Istiadat. Ketentuan atau aturan ini dipakai di Luak Nan Tigo atau di lareh atau dalam suatu nagari. Dengan demikian Adat Nan Teradat bisa berbeda dari satu nagari ke nagari lainnya—Lain lubuk lain ikan - lain padang lain belalang - lain nagari lain adat; Cupak nan sapanjang (sabatang) batuang - adat nan sapanjang jalan; dimano batang taguliang -disinan candawan tumbuah; dimano bumi dipijak - disitu langik dijujung; dimana rantiang dipatah - disitu ayia disawuak. Pada zaman sekarang wujud Adan Nan Teradat bisa berupa peraturan daerah (perda) dan peraturan nagari (perna) serta hasil musyawarah mufakat/ peraturan yang disepakati oleh kerapatan adat. Aturan ini dibiasakan di nagari yang pemakainya secara berbeda, tetapi ranah ma’rifat (landasan patuik jo mungkin) dan hakekat (landasan budi) tidak berubah.
Adat Nan Taradat adalah kato kudian (kato mufakat, kato bertuah), cupak buatan, seperti kebijakan publik (UUD, UU, PP, Perpres/ Kepres/ Inpres, Permen/ Kepmen, Perda, Pergub/ kepgub, Perbup/Kepbup-wako, pernag/ perwana/ kepwana, kep KAN dll.).
C. Adat Istiadat adalah kebiasaan nagari setempat yang merupakan ketentuan yang membolehkan kesukaan dan kegembiraan dan permainan anak muda-muda yang sebenarnya tak disukai oleh Adat Nan Sabana Adat. Oleh karena itu, Adat Istiadat ini disebut juga sebagai adat jahiliyah. Pada masa sebelum Sumpah Marapalam, banyak permaian anak nagari seperti menyabuang ayam, berjudi, minum arak (miras), badusun bagalanggang dan lain-lain dianggap sebagai adat. Namun, kemudian kebiasaan ini sudah dimusnahkan, ditiadakan dan tidak boleh dipakai lagi di ranah dan rantau Minangkabau. Permainan yang boleh dipertahankan adalah permaian, kesukaan, dan kegembiraan yang tidak bertentangan dengan Adat Nan Sabana Adat.
Setiap nagari memiliki langgam atau corak adat istiadat-nya masing-masing yang disebut dengan Adat nan Salingka Nagari. Perubahan kebiasaannya berjalan seiring dengan perubahan dan kemajuan yang disebut dengan “peradaban“. Pengungkapan Adat Istiadat dilafatkan dalam pahatan kato (yaitu ungkapan kalimat bersambung yang dalam maknanya) dalam bentuk petatah-petitih yang disebut “ kato bacari “. Kebiasaan tersebut dibiasakan di nagari tertentu, dan bisa berbeda dari satu nagari dengan nagari yang lain.
Secara ringkas dapat dikitakan bahwa Adat Istiadat adalah kato bacari, cupak buatan, disukai dan menggembirakan nan mudo dikambangkan dari adat nan tiga di atas. Adat Istiadat bersifat dinamis tapi tidak melanggar tiga tingkatan adat diatasnya—sakali ayia gadang sakali tapian baranjak.
Komentar
Posting Komentar