Langsung ke konten utama

27. Peradilan Adat: Evolusi Hukum & Peradilan Adat Minangkabau

EVOLUSI HUKUM DAN PERADILAN ADAT MINANGKABAU


Hukum dan peradilan adat Minangkabau telah mengalami masa evolusi yang sangat panjang sampai pada hukum dan sistem peradilan yang dijalankan sekarang. Sejak zaman Kerajaan Pasumayan Koto Batu yang dipimpin oleh Sri Maharajo Dirajo  samapai zaman sekarang, proses penyelenggaraannya hukum dan peradilan adat Minangkabau telah mengalami perubahan dan penyempurnaan. Namun demikian, substansi nilai-nilai peradilan tersbut tidak berubah—bahukum ka raso jo pareso. Artinya, peradialan dalam penegakkan hukum adat dalam penyelenggaraannya didasarkan kepada kecerdasan perasaan yang seimbang dengan kecerdasan integensi/  rasional atau akal. Secara umum, perubahan dan perkembangan tersebut terlihat dalam tiga periode utama: 1) zaman sebelum masuknya agama Islam, 2) zaman setelah masuknya Islam, 3) zaman Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Pada zaman sebelum masuknya Islam, hukum dan peradilan di Minangkabau diselenggarakan oleh pemerintahan kesultanan/ kerajaan setangkat dengan adat. Pada zaman setelah masuknya Islam, hukum dan peradilan Minangkabau mengambil dasar syari’at Islam yang bersumber Kitabullah (al-Qur’an) dan Hadist. Dalam prakteknya (petitih orang Minangkabau) disebutkan: badasa ka anggo tanggo (berdasar ke anggo tanggo). Anggo tanggo itu sebanding dengan anggaran rumah tangga yang oleh orang Minang Anggo Tanggo itu adalah al-Qur’an itu.  Pada zaman Negara Kesatuan Republik Indoensia (NKRI), hukum dan peradilan adat Minangkabau tetap mengacu kepada hukum adat selama penyelenggaraannya tidak bertentangan dengan sistem hukum NKRI. Penyelenggaraanya didasarkan kepada undang, seperti disebut dalam petitih Minangkabau: baundang ka alua jo patuik (menjatuhkan hukum didasarkan kepada alur dan patut) yang pada perinsipnya memberikan perdamaian adat secara adil.


Pada zaman sebelum masuknya Islam, hukum dan peradilan Minangkabau berpusat pada raja sebagai penguasa tunggal (Sri Maharajo Dirajo). Pada masa ini ada empat periode berlakunya sistem hukum dan peradilan di Minangkabau: 1) Hukum Simumbang Jatuah, 2) Hukum Sigamak-Gamak, 3) Hukum Silamo-Lamo, dan 4) Hukum Tariak Baleh. Dalam salah satu Tambo diungkapkan:


Partamo banamo simumbang jatuah, hukum jatuah wajib dituruik i, takadia pantang disanggah, walau zalim wajib disambah, hukum putuih parentah jatuah”


Hukum yang diterapkan oleh Sri Maharajo Dirajo pada masa itu sangat keras dan otoriter. Semua keputusan raja adalah hukum yang tidak bisa dibantah dan tidak bisa ditawar-tawar; membantah titah dan keputusan raja adalah pelanggaan berat terhadap hukum adat—hukum  pancuang paralu putuih, hukum bunuah matilah badan, hukum buang jauahlah diri, hukum gantuang tinggilah bangkai, tak buliah dibandiang lai. Hukum ini diteruskan oleh Dt. Katumangguangan dan Dt. Bandaro Putiah di wilayah Kerajaan Bungo Satangkai di Sungai Tarap.


Kedua—Hukum Sigamak-Gamak—dalah sistem hukum dan peradilan yang sudah mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Hukum yang diterapkan setelah zaman Suri Dirajo ini lebih fleksibel dari Hukum Simumbang Jatuah; hukum ini bersifat ganggam-gangam baro. Undang ini sebagain besar mengatur hal yang berkaitan dengan tata nagari ketika itu, tata cara manyambah dan berpakaian adat yang melahirkan Undang 100 Kurang Aso. Selain, itu Hukum Sigamak-Gamak tidak mengatur hak milik perorangan, sebagimana diungkapkan oleh salah satu Tambo:.


“Kaduo Si gamak-gamak. Kok ado karajo nan dikakok ataupun barang nan dibuek, basi capek nak dahulu, basi kuek nak mangabiah, mano nan tampak lah diambiak, mano nan ado dikarajoan, indak dikana awa jo akhia, raso pareso tak ditaruah, asa dapek lah manjadi, sabaiak-baiak pakarajoan, saelok-elok aka budi, hinggo mukaruah maso kini, baitu tasuo di tarambo


Hukuk Sigamak-Gamak yang sudah lebih fleksibel kemudian berevolusi menjadi Hukum Silamo-Lamo, yang lebih cenderung mangatur berdasarkan kekuatan dan kekuasaan seseorang. Walapun sudah lebih fleksibel dari Hukum Simumbang Jatuah, hukum ini lebih mirip dengan “hukum rimba”, sebagaiman diungkapkan oleh salah satu Tambo:


“Katigo Hukum Silamo-Lamo. Babana kapangka langan, batareh kaampu kaki, basasi kaujuang tapak, nan kareh makanan takiak, nan lunak makanan sudu, nan pandai batitih, nan lamah makanan rajiah. Kok ado batang nan malintang, dikarek dikabuang-kabuang, diputuih dikuduang tigo. Kok lai dahan nan mahambek dikupak dipatah duo, kok tampak rantiang kamangaik disakah dipalituakan, atau runciang nan kamancucuak ditukua dipumpum ujuang. Nan tinggi timpo manimpo, kok nan gadang endan maendan, kok panjang kabek mangabek, nan laweh saok manyaok”.


 Ketiga jenis hukum ini kemudian berkembangan dan berevolusi menjadi Hukum Tariak Baleh, yang telah mulai memperhatikan dan mempertimbangkan aspek keadilan—kok palu babaleh palu, nan tikam babaleh jo tikam, hutang ameh baia jo ameh, hutang padi baia jo padi, hutang kato baia jo kato. Hukum ini  merupakan cikal bakal lahirnya Undang-Undang Duo Puluah yang masih dipakai sampai sekarang.


Pada masa Dt. Katumanguangan, Dt. Parpatiah dan Sabatang dan seterusnya, bersamaan masuknya ajaran Islam, hukum adat Minangkabau telah menggunkan 4 (empat) sumber yang dijadikan rujukan huku:


1) Al-Qur’an,
2) Hadist Raulullah S.A.W,
3) Ijmak, dan
4) Qiyas.


Hukum ini kemudian semakin disempurnakan sehingga kemudian melahirkan Undang Duo Puluah yang telah sangat memperhatikan aspek kemanusiaan dan keadilan yang selaras dengan syari’at Islam. Undang ini dikateorikan atas dua: 1) Undang Tuduah Nan Bakatunggangan yang disebut juga dengan Undangn nan Duo Baleh, dan 2) Udang Cemoh nan Bakaadaan yang disebut juga dengan Undang Nan Salapan. (Dibahas pada Modul 2).


Pada masa Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum adat tidak mendapat tempat yang jelas dalam sistem kekuasaan kehakiman. Pada satu sisi, konstitusi negara Republik Indonesia, UUD 1945 Pasal 18b ayat (2), mengakui dan menghormati. keberadaan dan penerapan hukum adat, namun pada sisi lain Pasal 24 menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman dalakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.


Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak secara eksplisit mengatur tentang peradilan adat dan tata cara penyelesaian sengketa adat. Namun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 103 menyatakan bahwa salah satu kewenangan Desa Adat adalah  “penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah”; pada huruf e ditegaskan: “penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan


Dari perjalanan evolusi hukum adat Minangkabau yang diuraikan diatas, dapat ditarik simpulan bahwa hukum dan peradilan adat Minangkabau sebenarnya telah mencapai kesempunaannya setelah menyatu dengan Syari’at Islam yang ditandai dengan deklarasi Sumpah Satia Marapalam. Namun demikian, penerapannya pada zaman Negara Kesatuan Republik Indonesia belum terakomodasi secara secara jelas dalam sistem hukum Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Katam Kaji

[caption id="attachment_779" align="alignright" width="300"] Salah satu gambar yang kami dapat dari kampung[/caption] Terdengar oleh kami telah tiba pula musim Katam Kaji [1] di kampung kita. Pada hari Ahad yang dahulu (22 Juni 2013) kami dengar kalau orang di Surau Tapi yang ba arak-arak. [2] Kemudian pada hari Kamis yang lalu (27 Juni 2013) tiba pula giliran orang Joho dan sekarang hari Ahad (30 Juni 2013) merupakan tipak [3] orang Koto Panjang yang berarak-arak. Memanglah pada pekan-pekan ini merupakan pekan libur sekolah bagi anak-anak sekolah. Telah menerima rapor mereka. Memanglah serupa itu dari dahulu bahwa Katam Kaji dilaksanakan oleh orang kampung kita disaat libur sekolah. Namun ada juga yang berlainan, seperti orang Dalam Koto yang akan melaksanakan selepas Hari rayo Gadang [4] dan Orang Taluak yang kabarnya akan mengadakan selepas Hari Raya Haji . [5] Kami tak pula begitu jelas pertimbangan dari kedua kampung tersebut. Mungkin engku dan

29. Tata Upacara Adat Minangkabau: Upacara Batagak Pangulu

UPACARA BATAGAK PANGULU Salah satu upacara atau alek ( ceremony ) adat Minangkabau yang paling sakral yang mendapatkan perhatian dan perlakukan khsus adalah Batagak Pangulu atau ada juga yang menyebutnya Batagak Gala .  Upacara ini merupakan peristiwa pentasbihan dan pengambilan atau pengucapan sumpah serta janji seorang Pangulu pada saat ia diangkat dan dinobatkan sebagai pemimpin kaum yang bergelar Datuak. Upacara adat ini sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana firman Allah mengingatkan: Sesungguhnyan orang-orang yang menukar janji ( nya dengan Allah ) dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit maka mereka itu tidak mendapat bahagian dari ( pahala ) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kahirat dan tidak ( pula ) akan menyucikan mereka. Bagi mereka adalah azab yang pedih (QS:3:77). Pada bagian lain Allah juga mengingatkan: “ Dan janganlah kamu mengikuti orang yang selalu bersumpah, lagi yang hina ” (QS 6

Luak Gadang & Luak Kaciak

Luak , begitu sebagian orang Minang menyebutnya. Atau orang sekarang lebih mengenalnya dengan sebutan sumua atau sumur. Luak adalah sumber untuk mengambil air bagi sekalian orang, sebelum dikenalnya sistim penyaluran air oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) sekarang. Pada masa sekarang, hampir sekalian rumah di Kamang memiliki luak namun tidak demikian pada masa dahulu. Dahulu luak hanya dimiliki oleh sebagian keluarga dan itupun tidak berada di dekat rumah melainkan agak jauh dari rumah. sehingga menyebabkan untuk mengambil air orang-orang harus berjalan agak jauh. [caption id="attachment_749" align="alignleft" width="300"] Luak Gadang[/caption] Adalah Kampuang Lubuak sebuah kampung di Jorong Nan Tujuah di Kamang. Kampung ini memiliki luak kampung yang bernama Luak Gadang dan Luak Kaciak. Kedua luak ini memiliki kegunaan (fungsi) yang berbeda. Luak Gadang berguna untuk mencuci dan mandi sedangkan Luak Kaciak berguna untuk mengambil air minum