TIGO TUNGKU SAJARANGAN
Dalam sistem adat Minangkabau, Tungku Tigo Sajarangan pada hakikatnya adalah wadah (limbago) permusyawaratan, bukan lembaga perwakilan. Unsur yang ada didalam limbago merupakan representasi semua masyarakat Minangkabau bukan mewakili kelompok-kelompok dan kepentingan tertentu. Limbago Tigo Tungku Sajarangan mengemban amanah dan membawa aspirasi, kepentingan dan misi masyarakat Minangkabau secara keseluruhan.Tigo Tungku Sajarangan adalah wadah (limbago) permuysrawatan masyarakat Miangkabau. Secara harfiah, “tungku” merujuk pada sebuah perkakas memasak tradisional, terbuat dari batu yang keras sebanyak tiga buah, yang diatur dengan posisi yang berbentuk segi tiga. Batu-batu ini harus berukuran sama sehingga bejana memasak (periuk atau kuali, atau yang lain) yang diletakkan di atasnya tidak miring. Di sela-sela tungku tersebut, kayu bakar disilang-silangkan sehingga udara untuk kebutuhan menyalakan api dapat bersirkulasi secara sempurna—dima kayu basilang, disinan api nyalo, disitu pulo nasi masak.
Seperti namanya (Tingo Tungku Sajarangan), wadah ini berisi 3 (tiga) kelompok yang merepresentasi masyarakat Miangkabau berdasarkan otoritas kepakaran. Kelompok pertama adalah Niniak-Mamak yang merupakan representasi masyarakat Minangkabau yang memiliki otoritas kepakaran dalam hal adat. Kelompok kedua adalah ‘Alim- Ulama yang merepresentasikan masyarakat Minangkabau yang memiliki otoritas dalam hal Syariat Islam. Sedangakan kelompok ketiga adalah Cadiak-Pandai yang merupakan representasi dari masyarakat Minangkabau yang memiliki otoritas dalam berbagai bidang ilmu lain.
Dengan demikian, jelas bahwa setiap elemen dari tigo tungku tersebut (Niniak-Mamak, Alim-Ulama, dan Cadiak-Pandai) harus mewakili kepentingan masyarakat Minangkabau secara utuh dan menyeluruh, bukan kelompok-kelompok kepentingan dan ideologi tertentu. Oleh karena itu, orang yang diberikan amanah untuk bermusyawarah untuk menghasilkan sebuah kesepakatan (mufakat) dalam berbagai persoalan di Minangkabau adalah orang yang memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas dan mendalam, pengalaman yang cukup dan mumpuni dan ketauladanan yang teruji dalam tiga hal tersebut (adat, agama, dan pengetahuan lain).
Niniak-Mamak adalah salah unsur dari Tungku Tigo Sajarangan yang memiliki otoritas dalam hal adat. Dia tidak hanya pemegang sako—pemangku jabatan Pangulu dalam sukunya—yang bergelar Datuak, tapi juga memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas dan mendalam dalam hal adat. Ia bukan saja tempat bersandar anak-kamanakan, tapi juga sebagai rujukan untuk semua urusan adat.
Bak baringin di tangah koto
Ureknyo tampek baselo-Batangnyo tampek basanda
Dahannyo tampek bagantuang-Daunnyo tampek bataduah
Ka pai tampek batanyo-Ka pulang tampek babarito
‘Alim-Ulama adalah unsur Tungku Tigo Sajarangan yang memiliki otoritas dalam hal agama atau Syariat Islam. Dia tidak hanya sebagai pemberi fatwa agama yang mencerahkan ummat, tapi juga sebagai panutan masyarakat Miniangkabau dalam pengamalan ajaran Islam—suluah bendang dalam ngari . Kata ‘Alim yang berasal dari Bahasa Arab, bermakna memiliki ilmu yang luas dan mendalam, khusunya dalam hal agama Islam. Surat al-Fathir menjelaskan ciri seorang yang dikatakan ulama adalah orang yang takut kepada Allah—“Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah diantara hamba-Nya hanyalah ulama (QS:35:28). Dengan demikian orang yang dimkasud dengan ‘Alim-Ulama yang menjadi unsur dari Tungku Tigo Sajarangan adalah orang yang tidak hanya memiliki ilmu yang luas dan mendalam saja, tapi juga memiliki rasa takut kepada Allah. Ia hanya bersandar, bergantung dan patuh pada ketentuan Allah (tali syara’) yang tertuang dalam Al-Qu’an dan penjelasan Rasulullah S.A.W (Hadist). Dengan demikian, sebagai unsur dari Tungku Tigo Sajarangan, Alim-Ulama merupakan rujukan syara’.
Ikutan lahie jo batin
Tampek batanyo halal jo haram, sarato nan sah jo na bata
Suluah bendang dalam nagari
Panyuluahan anak jo kamanakan
Panarang jalan di dunia-panyuluah jalan ka akhiraik
Cadiak-Padai adalah unsur Tigo Tungko Sajarangan yang memiliki otoritas dalam berbagai bidang ilmu, sehingga ia dapat memberikan masukan, pertimbangan dan fatwa secara arif dan bijak sana. Dia tidak hanya memiliki ilmu yang luas dan mendalam, tapi juga juga memiliki kearifan dan kecendekiawanan. Seperti pada sebuah biduk, cadiak berperan memberikan keseimbangan pada biduk ketika berlayar dan dihantam gelombang laut. Sedangkan pandai adalah ketrampilan dan kepiawaian dalam memecahkan semua permasalahan dalam masyarakat. Sehingga, bersama Niniak-Mamak dan ‘Alim-Ulama, dia merupakan petahanan Minangkabau yang melindungi Minangkabau dari berbagai terpaan dan hantaman badai persoalan.
Cadiak pandai pagaran kokoh
Pagaran Korong jo kampuang
Pagaran adaik jo ugamo
Pagaran anak jo kamanakan
Pamaga balai jo musajik
Pamaga sawah jo ladang
Pamaga budi nak jan hilang
Pamaga malu nak jan tumbuah
Dengan demikian jelas dapat difahami bahwa didalam Limbago Tungku Tigo Sajarangan, setiap unsur (Niniak-Mamak, ‘Alim-Ulama dan Cadiak-Pandai) tidak merepresentasikan dan tidak pula mewakili kelompok manapun. Niniak-Mamak bukan unsur yang mewakili dan membawa aspirasi kelompok Pangulu dan Bundo Kanduang; ‘Alim-Ulama bukan unsur yang mewakili dan membawa aspirasi kelompok pemuka agama; dan Cadiak-Padai bukan unsur yang mewakili dan membawa aspirasi kelompok cendikiawan dan kalangan pemuda (rang mudo). Mereka secara kolektif atau bersama (sajarangan) mewakili dan membawa aspirasi masyarakat Miangkabau secara keseluruhan. Sehingga dalam musyawarah Tigo Tungku Sajaran tidak dikenal penyaluran aspirasi dan perjuangan kepentingan kelompok. Mereka berada dalam Limbago Tungku Tigo Sajarangan karena otoritasnya dalam bidang masing-masing.
Komentar
Posting Komentar