SIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa limbago adat Minangkabau adalah wadah tempat berlangsungnya segala aktivitas dan proses adat Minangkabau yang tumbuh dari bahwah—mabusuik dari bumi—yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang orang Minangkabau dengan mengikuti garis suku ibu—Adaik pulai batingkek naik, maningga rueh jo bukunyo-Adaik manusia batingkek turun, maninggakan adat jo limbagoyo. Limbo adat Minangkabau tidak pernah dibuat oleh pemerintah manapun yang pernah memerintah di Minangkabau sejak masa pemerintahan “Kerajaan Adityawarman”, Kesulthanan Minangkabau, Pemerintahan Kolonial Belanda, dan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa Limbago Adat Minangkabau adalah wadah berlangsungnya urusan adat yang didasarkan pada garis suku ibu yang memiliki otoritas memegang sako jo pusako salingka kaum dan adat salingka nagari yang hak-hak tradisonalnya diakui dan dihormati oleh konstitusi negara (UUD 1945) khususnya Pasal 18b ayat (2).[1]
Secara umum, limbago adat Minangkabau dapat dikategorikan atas 2 (dua):
1) Limbago Kepemimpinan Adat, dan
2) Limbago Permusyawaratan Adat.
Limbago Kepemimpinan Adat mengacu ke wadah berlangsungnya urusan adat dalam kaum, suku, kampuang/ jorong dan nagari, yang dikenal dengan Urang Ampek (Pangulu, Manti, Malin dan Dubalang) dan Jinih dan Urang Jnih Nan Apek (Imam, Katik, Bilal dan Kadhi) yang membantu Malin secara fungsional dalam urusan agama (syari’at Islam). Limbago ini berfungsi dengan prinsip bajanjang naik-batanggo turun. Urusan adat dalam kaum didipimpin oleh Pangulu Kaum (Pangulu Andiko); urusan adat dalam suku dipimpin oleh Pangulu Suku; urusan adat dalam kampuang dipimpin oleh Pangulu Kampuang; dan urusan adat pada tingkat nagari dipimpin oleh Pangulu Pucuak. Semua pangulu pada setiap tingkat tersebut adalah pimpinan adat dalam kaumnya masing-masing yang bergelar Datuak. Hal yang sama berlaku pada Manti, Malin, dan Dubalang. Namun wadah fungsional yang bertanggung jawab dalam urusan Syari’at Islam yang dipimpin oleh Malin hanya bertugas di tingkat nagari.
Limbago Permusyawatan Adat mengacu ke wadah berlangsungnya musyawarah adat untuk membuat sebuah kesepakatan (mufakat). Berbeda dari wadah demokrasi modern, wadah yang disebut dengan Tigo Tungku Sajarangan (Niniak-Mamak, ‘Alim-Ulama, dan Cadiak Pandai) tidak merupakan representasi dan perwakilan dari kelompok-kelompok masyarakat dan kelompok kepentingan dalam masyarakat. Tigo Tungku Sajarangan adalah limbago yang mereprensetasikan, mewakili dan membawa aspirasi serta memperjuangkan kepentingan dan misi Minangkabau secara utuh dan menyeluruh. Niniak-Mamak tidak merepresntasikan dan membawa aspirasi kelompok pemangku adat dan Bundo Kanduang; ‘Alim-Ulama tidak membawa aspirasi kepentingan pemuka agama; dan Cadiak-Pandai tidak membawa aspirasi dan kepentingan para cendekiawan dan rang mudo. Keberadaan mereka dalam Limbago Tigo Tungku Sajarangan berlandaskan otoritas keilmuan, kepakaran dan ketauladanan mereka dalam tiga bidang utama kehiduapan masyarakat Minangkabau (Adat, Agama, dan bindang lain). Sehingga semua kata sepakat (mufakat) yang dihasilkan oleh Limbago Tigo Tungku Sajarangan tidak pernah dilakukan dengan pemungutan suara (voting).
Terkahir, dalam konteks adat sabatang panjang yang berlaku di seluruh wilayah adat Minangkabau, hirarkhi limbago adat mengacu ke lareh yang dianut oleh nagari tersebut. Sitem kepemimpinan dan permusyawaratan limbago yang berada dalam garis Lareh Koto Piliang menganut pendekatan otokrasi yang cenderung otoriter—manitiak dari ateh, mengikt aturan yang telah ditetapkan oleh pimpinan adat—Nan babarih nan balabeh dan Pangulu diangkat dari kamanakan dibawah daguak setelah pemegang sako wafat—Karambia tumbuah dimato. Sitem kepemimpinan dan permusyawarat yang berada dalam garis Lareh Bodi Canioago menerapkan pendekatan demokrasi yang cenderung akomodatif dan aspiratif—Kato surang dibuleki-Kato basamo kato mufakaik; Bulek ayia dek pambuluah-Bulek kato dek mufakaik; Pipiah nan indak basudiak-bulek nan indak basandiang; Putuih gayuang dek balabeh-Putuih kato dek mufakat; Takuruang makan kunci-Tapauik makan lantak. Sementara sitem kepemimpinan dan permusyawaratan limbago yang berada dalam garis Lareh Nan Panjang menganut kedua pendekatan sesuai situasi dan kondisi—Pisang sikalek-kalek hutan-Pisang batu nan bagatah; Bodi Caniago inyo bukan-Koto Piliang inyo antah.
______________________________________________
Catatan Kaki:
[1] Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Simak lebih lanjut di Brainly.co.id
Komentar
Posting Komentar