PENDAHULUAN
Salah satu tata kehidupan yang diatur oleh adat Minangkabau adalah berbagai bentuk upacara yang dikaitkan dengan daur hidup seperti kelahiran, pernikahan, kematian dan pewarisan kepemimpinan adat (sako). Upacara-upacara yang sangat kental mewarnai adat Minangkabau ini telah berlangsung berabad-abad yang lalu, dan turun-temurun dari generasi ke generasi. Upacara-upacara ini merupakan kekayaan budaya yang menjadi warisan budaya tak-benda (intangible heritage) yang harus dilestarikan dan nilai-nilainya harus dikembangkan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pemajuan Kebudayaan menetapkan “adat istiadat” sebagai salah satu objek pemajuan kebudayaan. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penguatan Lembaga Adat dan Pelestarian Nilai Budaya Minangkabau, Pasal 12 ayat (1) dan (2) mengatur bahwa upacara daur hidup, upacara tradisional, dan pewarisan sako dan pusako sebagai nilai budaya Minangkabau yang harus dilestarikan.
Pada masa sebelum masuknya ajaran Islam, pelaksanaan upacara adat Minangkabau banyak dipengaruhi oleh dan diwarniai dengan praktik-praktik yang bernuansa kemusyrikan. Hal ini dapat dipahamai, karena adat dan kebudayaan Minangkabau sempat berinteraksi dengan kebudayaan bangsa Mee Nam (Proto-Melayu), Viet (Deutro-Melayu), Ptolemy (Yunani), Tamil dan Sangkerta, walaupun pada awalnya adat dan peradaban Minangkabau berasal dari ajaran Tauhid yang dianut oleh bangsa ‘Aad Atsani (kaum Nabi Huud) yang beriman kepada Allah Yang Mahasa Esa. Bangsa Mee Nam dan Viet membawa peradaban dan kebudayaan yang berbasis animisme yang sangat menghormati roh, sehingga berbagai upacara adat mereka lakukan untuk menghormati dan menyembah roh. Bangsa Tamil dan Sangsekerta datang ke Minangkabau dengan membawa kebudayaan dan peradaban yang berbasis Hidu-Budha, sehingga berbagai praktek adat Minangkabau sempat terkontaminasi oleh praktek-praktek ajaran Hindu-Budha seperti keyakinan bahwa roh dapat masuk ke benda hidup dan benda mati lain (tanassukhil arwah), dan keyakinan bahwa orang yang telah meninggal akan bangkit kembali dalam bentuk generasi baru (samsara atau reinkarnasi). Pengaruh ajaran yang tidak berbasis tauhid yang masuk kedalam peradaban dan kebudayaan Minangkabau pernaah diluruskan oleh bangsa Saba’ (kaum Nabi Sulaiman), dan Bani Himyar (bangsa Arab Yaman) yang beriman kepada Allah Yang Mahasa Esa.
Dengan masuknya agama Islam pada abad ke-7 M, semua pengaruh peradaban dan kebudayaan yang berbasis ajaran kemusyrikan tersebut akhirnya diluruskan. Semua praktek adat yang bertentangan dengan ajaran Islam secara perlahan dihilangkan dari praktek adat Minangkabau. Berbagai upacara adat yang bernuansa kemusyrikan diluruskan ke arah praktek upacara adat yang berbasis ajaran Islam. Puncak penyempurnaan tersebut adalah didkelerasikannya Sumpah Satie Marapalam oleh Limbago Adat Minangkabau—Tigo Tungku Sajarangan—yang terdiri dari Niniak-Mamak, ‘Alim-Ulama, dan Cadiak Pandai pada tahun 1403 M/ 804 H.
Dengan demikian tata upacara adat Minangkabau yang akan dibahas pada Modul ini adalah tata upacara yang berbasis Islam. Karena banyaknya upacara adat yang telah berkembang ditengah masyarakat Minangkabau, modul ini mengelompokkannya atas empat: 1) Upacara Kelahiran, 2) Upaca Penikahan, 3) Upaca Batagak Pangulu, dan 4) Upacara Kematian. Modul ini membahas tata upacara yang berlaku diseluruh wilayah adat Minangkabau (adat nan sebatang panjang) sehingga berbagai variasi yang berkembang di setiap nagari (adat salingka nagari) tidak dibahas.
Komentar
Posting Komentar