HAKIKAT DAN FALSAFAH TATA UPUACARA ADAT
Pada dasar upacara ada yang dalam bahasa Minangkabau disebut alek adalah ungkapan rasa syukur atas anugrah Allah S.A.W. Upacara-upacara tersebut terkait dengan berbagai keadaan yang dialami oleh anggota masyarakat sebagai sebuah siklus atau daur hidup yang sudah menjadi kententuan Allah S.W.T.
UPACARA KELAHIRAN
Upaca Kelahiran, dalam adat Minangkabau, tidak terlalu istimewa dibandingkan dengan Upaca Batagak Gala dan Upaca Perkawinan. Upacara kelahiran biasanya hanya melibatkan kelompok kecil, seperti kaum, dan suku, atau tetangga, tidak melibatkan masyarakat satu nagari. Dari sekian banyak rangkaian upacara adat kelahiran, ada beberapa yang paling menonjol dan sering dilakukan oleh masyarakat Minangkabau, antara lain: 1) Turun Mandi, 2) Aqiqah 3) Manjapuik Anak dan Maata Anak.
Turun Mandi (Bacungak) adalah upacara adat Minangkabau dalam rangka mensyukuri anugrah Allah atas kelahirian seorang bayi dalam sebuah keluarga Minangkabau. Bentuk upacara yang diselenggarakan setelah anak berusia 40 hari ini adalah memandikan bayi di sungai dengan prosesi khusus. Ini adalah momen pertama seorang banyi dibawa keluar rumah setelah kelahirannya untuk diperlihatkan ke masyarakat ramai. Upacara Turun Mandi untuk anak laki-laki biasanya dilakukan pada hari genap usia bayi, sedangkan untuk anak perempuan diselenggarakan pada hari ganjil usia bayi.
Walaupun berbeda-beda dari satu nagari dengan nagari lainnya, upacara ini pada umumnya diselenggarakan pada pagi hari menjelang siang. Bako membawa kain balapak sebagai pembalut bayi, dan kaluang maniak-maniak untuk dipasangkan ke bayi, serta peralatan mandi lainnya untuk digunakan pada saat memandikan bayi. Pada saat bako memandikan bayi, ia menghanyutkan tampang kelapa yang sudah bertunas untuk diambil oleh ibu si bayi yang membawa tanguak. Bibit kelapa tersebut kemudian dibawa pulang dan ditanam ditempat yang telah ditentukan sebelumnya. Keluarga ibu si bayi biasanya membawa batiah bareh untuk dibagikan kepada masyarakat (khususnya anak-anak) yang menghadiri upacara Turun Mandi tersebut. Ada peralatan lain yang sering melengkapi upacara Turun Mandi: kain sigi buruk untuk dijadikan obor dan palo nasi, namun ini hanya perlengkapan untuk upacara Turun Mandi. Sebelum masuknya Islam, palo nasi yang dilumuri dengan darah ayam ini diletakkan pada beberapa di tempat jalan menuju sungai dengan keyakinan untuk memberi makan jin dan roh halus.
Aqiqah adalah upacara adat Minangkabau yang merupakan pelaksanaan sunnah Raullah S.A.W:
“Semua anak bayi tergadai dengan aqiqahnya yang pada ketujuh disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya” (Shahih HR Abu Daud: 2838; Tirmizi 1552, Nasa’i:7/166, Ibnu Majah: 3165; Ahmad: 5/7-8, 17-18,22).
“Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkan semua gangguan darinya” (Shahih HR Bukhari:5472)
“Bayi laki-laki diaqiqah dengan dua ekor kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing” (Shahih HR Ahmad:2/31, 158,251; Titmizi:1513; Ibnu Majah: 3163).
dan masih banyak lagi hadist yang menjelaskan tentang aqiqah.
Aqiqah biasanya diselenggarakan pada saat anak berusia 7 hari, atau 14 hari atau 21, atau 40 hari; namun ada juga yang melakukan aqiqah sebelum anak menikah. Upacara aqiqah dimulai dengan pemberitahuan kepada masyarakat (tetangga, kerabat dekat dan jauh) bahwa sebuah keluarga ingin melangsungkan aqiqah anaknya. Satu hari sebelum acara dilaksanakan dilakukan penyembelihan 1 ekor kambing untuk anak perempuan dan 2 ekor kambing untuk anak laki-laki; kambing tidak boleh cacat atau sakit dan telah berusia 3 tahun.
Pada upacara aqiqah dilangsukan prosesi pemotongan rambut bayi (minimal 7 helai) dan pemberian nama untuk si bayi. Upaca yang dipimpin oleh pemuka agama (Ulama) ini dilanjutkan dengan makan bersama dan diakhiri dengan pembacaan do’a aqiqah sebagai pemohonan kepada Allah S.W.T agar anak menjadi anak sehat, shaleh/shalehah, mudah rezekinya, dan berbakti kepada orang tua, agama, dan bangsa. Pemotongan rambut ini ditafsirkan berkaitan dengan hadist diatas, “…dan hilangkan semua gangguan darinya”. Namun menaruh potongan rambut bayi diatas daun pisang yang penuh dengan bunga-bungaan, atau dimusukkan kedalam kelapa muda tidak kaitannya dengan nasib atau keberuntungan anak dikemudian hari.
Manjapuik jo Maanta Anak adalah tradisi adat Minangkabau yang memiliki nilai silaturahmim (jalinan kasih sayang), khsusnya dengan antara bako si bayi dengan anak pisanganya. Pada saat anak telah berusia 3 bulan, bako datang menjemput dan membawa bayi ke rumahnya. Biasanya dengan membawa kain balapak sebagai selimut bayi dan manik-manik dijadikan kalung bayi, sebagi ungkapan kasih sayang bako terhadap anak pisanganya. Bayi diinapkan di rumah bako 3 (tiga) hari untuk diperkenalkan dan didekatkan dengan keluarga bapak, khsusnya saudara-saudara perempuan bapak si bayi. Setelah tiga hari menginap di rumah bako, bayi diantarkan kembali oleh bako-nya ke rumah ibu sibayi.
Komentar
Posting Komentar