UPACARA PERNIKAHAN
Salah satu momen skaral dalam adat Minangkabau dan ajaran Islam adalah pernikahan. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia ciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendir, supaya kami cenderung dan merasa tenteran kepadanya, dan dijadikan diantara kamu rasa kasih sayang. Susungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS:30:21). Rasulullah S.A.W bersabda: “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu berkeluarga, hendaklah ia kawin karena ia dapat menundukan pandangan dan memelihara kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, berpuasalah, sebab ia dapat mengendalikanmu (HR Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Mas’ud)
Secara umum, upacara yang terkait dengan pernikahan di Minangkabau terdiri dari 6 (enam) tahapan:
1) Pinang-Maminang,
2) Batimbang Tando,
3) Malam Bainai,
4) Manjapuik Marapulai (Pernikahan),
5) Basandiang dan Pajamuan, dan
6) Manjalang.
Pada nagari-nagari tertentu praktek pelaksanaan upaca-upacara ini bervariasi—adai salingka nagari; namun secara keseluruhan wilayah adat Minangkabau tahapan upacara pernikahan atau perkawinan ini sama.
Pinang-Maminag dimulai dari pendekatan antara kedua keluarga yang hendak menyatukan hubungan keluarga mereka—maresek. Pada dasarnya, tahap ini merupakan usaha untuk mengetahui apakah kedua belah pihak benar-benar sepakat untuk menyatukan hubungan kekeluargaan mereka dalam bentuk pernikahan salah seorang anggota keluarga mereka. Jika tahap maresek ini menghasilkan kesepakatan yang positif, maka dilanjutkan dengan tahap peminangan (khitbah) oleh puhak keluarga perempuan (pada daerah/ nagari tertentu, pihak laki-laki yang meminang). Allah mengingatkan dalam surat al-Baqarah bahwa:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
walaa junaaha ‘alaykum fiimaa ‘arradhtum bihi min khithbati alnnisaa-i aw aknantum fii anfusikum ‘alimaallaahu annakum satadzkuruunahunna walaakin laa tuwaa‘iduuhunna sirran illaa an taquuluu qawlan ma’ruufan walaa ta’zimuu ‘uqdata alnnikaahi hattaa yablugha alkitaabu ajalahu wai‘lamuu annaallaaha ya’lamu maa fii anfusikum faihtsaruuhu wai‘lamuu anna allaaha ghafuurun haliimun
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS: 2:235).
Peminangnan merupakan sunnah Rasullullah S.A.W sebagai pernyataan keinginan untuk melangsungkan pernikahan. Rasulullah S.A.W bersabda: “Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridha agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah (dengan anak kalaian); jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan keruskan besar (HR at-Tarmidzi:1085).
Pada sebagian besar wilayah adat Minangkabau, peminangan biasanya dilakukan oleh keluarga pihak perempuan dengan berkunjung ke rumah pihak laki-laki untuk menyakinkan bahwa anak-kamanakan mereka berniat melakukan pernikahan. Walaupun dalam dalam tradisi Islam, peminangan pada umumnya dilakukan oleh laki-laki, namun tidak ada larangan peminangan dilakukan oleh pihak perempuan. Tujuan dari tahap peminangan ini adalah untuk mengetahui apakah wanita yang dipinang (mukhtubah) bersedia untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang meminangnya. Peminangan bisa dilakukan dengan menggunaka perantara, keluarga atau orang yang dipercaya, namun bisa juga dengan mengikutkan laki-laki yang meminang, sebagaiman disabdakan Rasulullah S.A.W:
“Apabila seorang diantara kalian ingin meminang seorang wanita, jika bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya, lakukanlah (HR Ahmad:III/334, 360; HR Abu Daud:2082; HR al-Hakim:II/165)
Batimbang Tando[1] yang merupakan tahap lanjutan dari tahap Pinang-Mamang adalah tahap pembuatan janji ikatan dari kedua belah pihak yang dibuktikan dengan tukar menukar cendera mata—Batimbang Tando. Tahap ini pada dasarnya masih dalam tahap Pinang-Maminang yang telah meningkat pada pendeklerasian peminangan, sehingga masyarakat tahu bahwa anak gadis mereka telah dipinang seseorang, dengan demikian tidak ada laki-laki lain yang boleh meminangnya. Ajaran Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain sebagaimaan diperingati Rasullah S.A.W:
“Nabi Shalallaahu ‘alihi wa sallam melarang seorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminang itu meninggalkannya atau mengizinkan (HR Buhari: 5142; HR Muslim: 1412).
Babako-Babaki adalah sebuah rangkaian upacara adat perkawinan Minangkabau yang memuat nilai kebersamaan dan gotong royong. Upacara ini pada dasarnya adalah wujud tanggung jawab bako terhadap anak pisangnya yang akan segera menikah. Upacara ini dimulai dengan pemberitahuan dari pihak ibu keluarga calon mempelai perempuan kepada bako-nya bahwa anaknya sudah dipinang orang dan akan segera melangsungkan helat pernikahan. Pemberitahuan ini difahami arif oleh pihak bako sebagai permohonan bantuan moril dan materil untuk upacara perhelatan tersebut.
Prosesi upacara babako-babaki sebenarmya sederhana, namun sering dimeriahkan dengan berbagai acara kesenian dan arah-arakan. Bako mendatangi rumah ibu calon pengantin perempuan untuk menjemput calon pengantin perempuan (anak pisang) untuk dibawa kerumah bako-nya untuk menginap di rumah saudara perempuan ayahnya (bako). Pada kesempatan itu, pihak keluarga saudara perempuan ayah pengantin memberikan nasehat tentang bagaimana mengarungi kehudupan yang baru setelah berumah tangga. Kemudian, calon pengantin perempuan tersebut diarak oleh pihak bako-nya pulang ke rumah ibunya bersama rombongan keluarga bako-nya yang membawa berbagai dan menjujung berbagai barang keperluan rumah tangga. Momen ini biasanya diiringi dengan petunjukan kesenian tradisional sepanjang jalan sampai ke rumah ibunya. Di rumah ibunya, rombongan bako ini disambut pula dengan pentunjukan kesenian tradisional, seperti tari gelombang, pukulan rabana, dan lain-lain.
Barang-barang biasanya dibawa oleh rombongan bako adalah:
1) Sirih lengkap dalam carano yang merupakan kepala adat,
2) seperangkat pakaian wanita (baju, kain balapak, selendang sandal dan perhiasan emas,
3) nasi kuning singgang ayam,
4) bahan mentah untuk memasak pada acara perhelatan nanti (beras, kelapa, bumbu-bumbu,ayam yang masih hidup, kamibing, bahkan kerbau), dan
5) makanan yang telah masak seperti kue dan lauk-pauk.
Pada beberapa nagari tertentu, barang hantaran ini ada juga berupa bibit tanaman, seperti kelapa dan buah-buahan. Selain itu, ada juga yang membawa racikan air harum-haruman yang tebuat dari berbagai ragam bunga, sitawa-sidingin dan daun inai yang akan dipakai pada upacara Malam Bainai.
Malam Bainai dilakukan pada malam-malam setelah seorang wanita dipinang oleh seorang laki-laki dan telah diumumkan dengan upacara Batimbang Tando. Acara ini bertujuan untuk menjaga kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) bertemu bedua saja tanpa mahram. Rasullah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka janganlah sekali-kali menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai oleh mahramnya, sebab nanti yang menjadi orang ketiga adalah syeitan (HR Ahmad). Pada Malam Bainai dilakukan berbagai acara yang Setiap daerah (nagari) memiliki tradisi Malam Bainia masing-masing (adat salingka nagarii).
Pernikahan merupakan acara puncak dari rangkaian upaca pernikahan di Minangkabau. Acara ini adalah momen pengucapkan ijab-kabul seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita yang dilakukan menurut Syari’at Islam. Sebelum ijab-kabul dilangsungkan, acara didahului dengan serangkai prosesi penghormatan terhadap calon mempelai laki-laki dan keluarganya dengan acara Manjapuik Marapulai.
Basandian dan Pajamuan merupakan rangkain acara perkawinan setelah berlangsungnya akad nikah. Disamping bertujuan mengumumkan pernikahan anak-kamanakan, sebagaimana disunnahkan Rasulluah S.A.W (“umukan pernikahan (HR Ahmad:16130; Ibnu Hiban 4066)).
Acara ini juga merupakan ungkapan rasa syukur terhadap anugrah Allah S.W.T atas telaksananya acara pernikahan yang telah menghalalkan hubungan anak-kemanakan mereka sebagai suami-isteri. Namun demikian acara ini tidak boleh dinodai dengan praktek-praktek yang bertentangan dengan ajaran Islam. Rasulullah S.A.W bersabda: ”Perbedaan antara pesta halal dan haram adalah bernyanyi dan memukul rabana (dalam acara perkawinan) (HR Tirmizi). Namun ada hadist lain yang membolehkan menyelenggarakan pesta perkawinan dengan bernyayi-nyanyi asalkan tidak melanggar ajaran Islam
Rabi’ bintMu’awwadz berkata:
“Rasulullah S.A.W datang ketika pernikahan saya dilangsungkan, Beliau duduk disamping saya, sementara diluar terdengar budak-budak sedang memainkan rabana sambil memuji-muji dan menyebut-nyebut kebaikan orang tua kami yang terbunuh pada perang Badar. Salah satu dari mereka berkata: diantara kami ini ada Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari”. Rasulullah S.A.W bersabda:” Biarkan dia, dan katakan kepadanya apa yang seharusnya kamu katakan” (maksudnya bila ada nyanyian yang keluar dari ajaran Islam, budak-budak tersebut perlu diingatkan) (HR Buhari).
Dalam tradisi adat Minangkabau, acara ini dilakukan dengan berbagai bentuk, mulai dari yang sederhana (mendo’a saja), kenduri dengan membantai kambing, sapi atau kerbau, dan ada pula yang acara pesta besar-besaran. Bentuk acara ini tergatung pada kemampuan keluarga mempelai dan kesepakatan antara kedua belah pihak yang melangsungkan acara; ada yang melangsungkan acara pada pihak perempuan, ada penyelenggaraan acara pada pihak laki-laki, dan ada pula pada kedua belah pihak. Semua bentuk ini tidak diatur dalam adat, namun yang pasti adalah bahwa bentuk acara tersebut tidak melanggar syari’at Islam. Salah satu sunnah Rasullah S.A.W adalah melakukan Walimah (penjamuan/ resepsi.asulullah S.A.W bersabda: “Adakan walimah, walaupun hanya dengan seekor kambing (HR Buhari) Pada hadist lain diceritakan: “Pada satu pagi, Rasulullah sudah menjadi pengantin dengan Zainab bint Jahsy, lalu beliau mengundang para sahabat untuk makan-makan bersama, setelah itu mereka pulang (HR Buhari-Muslim)
Manjalang pada dasarnya adalah usaha untuk mempererat silaturrahim antara keluarga yang baru saja terbentuk dengan keluarga pihak laki-laki. Acara ini yang merupakan penutup dari rangkaian acara perkawinan di Minangkabau ini dilakukan dalam bentuk kunjungan oleh kedua pasangan suami-isteri baru ke rumah keluarga pihak suami. Dua rumah yang paling penting dikunjungi adalah rumah orang tua laki-laki dan rumah saudara perempuan ayah suami (Bako). Kunjungan ke rumah orang tua suami merupakan perwujudan dari rasa hormat kepada orang tua yang telah rela melepaskan anaknya dimiliki oleh seorang isteri dan keluarga pihak perempuan. Kunjungan ke rumah suadara perempuan ayah (bako) merupakan peruwujudan dari rasa hormat kepada garis keturunan suami yang mengikuti garis suku ibu. Walaupun seorang laki-laki yang sudah menikahi seorang perempuan adalah milik isterinya, namun di Minangkabau seorang laki-laki adalah Mamak didalam kaumnya yang mengayomi kamanakannya—Anak dipangku-Kamanakan dibimibiang.
Dalam tradisi Minangkabau, kunjungan (manjalang) ini disertai dengan membawa buah tangan—Bajalan babuah tangan-malenggang babuah batih; putiah kapeh buliah diliek-putiah hati bakaadan.
________________________
Catatan Kaki:
[1] Terkadang disamakan dengan “Bertunangan”
Komentar
Posting Komentar